Soul Awakening : Struggle of Heroes

ReygantaraHafidz
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1

Seorang anak laki - laki berusia 17 tahun berdiri di puncak bukit kecil berumput di dataran tanah kerajaan Garda Besi, pada tanah subur di bawah sandal kulit Gladiator miliknya; memandang ke arah utara, beralih memandang ke arah matahari terbit. Sejauh mata memandang dilihatnya bukit - bukit hijau yang melingkar, menurun dan mendaki ibarat punuk unta dalam lembah dan puncak. Cahaya jingga matahari berpendaran dalam kabut pagi, membuatnya tampak berkilauan, memancarkan cahaya keajaiban seperti apa yang sedang di rasakan oleh anak itu. Ia jarang bangun sepagi ini atau pergi sejauh ini dari rumah - dan tak pernah merasakan sesuatu seperti sekarang - karena itu akan memancing kemarahan ayahnya. Namun sekarang ia tidak peduli. Hari ini ia mengabaikan jutaan aturan yang menekannya selama 17 tahun terakhir, ini hari yang jauh berbeda, ini adalah hari perubahan bagi takdirnya.

Anak itu adalah Lucius dari klan Linfordous yang mendiami Provinsi Selatan Kerajaan Barat, atau lebih dikenal dengan Lucius - si bungsu dari empat bersaudara, yang di didik oleh Ayahnya untuk menjadi Blacksmith yang handal. Blacksmith merupakan orang yang pandai atau Tukang besi atau pandai besi, adalah orang yang pekerjaannya membuat alat-alat dari besi atau baja. Pekerjaannya membuat alat - alat dari besi dan baja, seperti alat - alat persenjataan: pedang, tombak, perisai, tameng, dan juga zirah - zirah kerajaan, yang juga merupakan salah satu tokoh penting di semua Kerajaan. Lucius dan kakak - kakaknya di didik oleh ayah nya untuk menjadi seorang Blacksmith yang handal, agar bisa menjadi Blacksmith terbaik di semua Kerajaan. Telah terjaga sepanjang malam demi datangnya hari ini. Ia tampak kacau balau, matanya muram, menunggu, mengharap pagi segera datang. Hari seperti saat ini hanya tiba sekali dalam beberapa tahun, dan jika ia melewatkannya maka ia akan terjebak di desa ini, terpenjara memelihara besi dan menempa pedang di umur yang masih muda, mencium aroma besi dan bara hingga akhir hidupnya. Itu adalah hal yang tidak ia inginkan.

Hari wajib Militer. Ini adalah hari dimana para utusan dari berbagai Kerajaan mendatangi daerah - daerah untuk merekrut pemuda - pemudi terbaik untuk bergabung, dan akan di didik untuk menjadi seseorang yang kuat, dan akan di pilih oleh salah satu Kerajaan untuk menjadi bagian dari Legiun Kerajaan. Selama hidupnya, Lucius tak pernah memimpikan apapun. Untuknya, hidup berarti satu hal: Bergabung dengan Kesatuan Perak, kesatuan elit satria Kerajaan, yang mengenakan baju zirah terbaik dan prajurit terpilih dari semua wilayah di dua Kerajaan. Dan tak seorang pun dapat bergabung dengan Kesatuan Perak tanpa bergabung lebih dahulu dengan Legiun, bahkan seorang anak dari Kerajaan terkenal pun tidak dapat menjadi Kesatuan Perak tanpa bergabung dengan Legiun terlebih dahulu.

Hari wajib Militer adalah pengecualian, karena pada hari itu yang hanya terjadi sekali dalam beberapa tahun ini, jumlah Legiun berkurang dan orang - orang utusan Kerajaan mendatangi daerah - daerah untuk mencari anggota baru. Semua orang tahu hanya sedikit warga desa yang akan terpilih dan jumlah yang dapat bergabung dengan Legiun akan menjadi lebih sedikit lagi.

Lucius telah memperhitungkannya sejak awal dan memperhatikan semua gerakan. Ia tahu bahwa utusan Kerajaan harus melalui satu jalan melalui desanya, dan ia ingin menjadi pemuda pertama yang mereka lihat. Ia harus berkonsentrasi.

Apa yang membuatnya bertahan bertahun-tahun, adalah suatu hari ia akan meninggalkan tempat ini. Suatu hari ketika para utusan Kerajaan datang, ia akan mengejutkan semua orang yang menyepelekan dirinya dan terpilih sebagai anggota. Dengan satu gerakan ia akan mengakhiri semua tekanan dan mengucapkan selamat tinggal kepada semuanya.

Ayah Lucius, tentu saja, tak pernah memperkirakan dirinya menjadi kandidat Legiun - bahkan, ia tak pernah berharap Lucius menjadi kandidat apapun. Sebaliknya, ayah Lucius hanya mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya ketika anak - anaknya menuruti perintahnya. Si Sulung berusia dua puluh empat tahun, dan kedua kakaknya yang lain hanya berusia selisih satu tahun, dan Lucius lah yang lebih muda. Bisa jadi karena usia mereka tidak terlalu jauh jaraknya, maka mereka akur dan hampir tak memperdulikan apapun.

Hal buruknya, mereka lebih tinggi, lebih besar dan lebih kuat daripadanya, dan Lucius tahu ia tidak terlalu pendek, namun tetap saja ia merasa kecil di samping mereka dan merasa kaki - kakinya lebih lemah daripada kaki mereka yang sebesar pohon oak. Ayah Lucius tidak melakukan apapun untuk memperbaiki keadaan ini, bahkan tampak puas membiarkan anak - anak nya menjadi para Blacksmith. Lucius memang tak pernah mengatakan sesuatu pun tentang itu, namun ia tahu bahwa ia lebih baik memiliki sayap untuk terbang daripada sampai akhir khayatnya hanya mencium bau besi dan bara, tanpa mendapatkan penghargaan terbaik dalam hidupnya. Takdirnya seperti ditentukan oleh ayah dan kakak - kakaknya, yaitu tinggal ditempat ini dan melaksanakan perintah dari Ayahnya atau siapapun.

Hal buruk lainnya adalah ketika Lucius merasa ayah dan kakak - kakaknya terganggu olehnya, bahkan cenderung membencinya ketika Lucius melakukan hal yang biasa di lakukan oleh orang - orang Kerajaan, yaitu bertarung dan berkuda. Lucius bisa melihatnya melalui tatapan dan gerak - geriknya. Ia tak mengerti kenapa, namun ia menganggap apa yang dilakukan Lucius biasa saja, dan juga ia memendam sesuatu seperti rasa takut atau iri terhadap mereka. Mungkin karena ia berbeda dibandingkan mereka, tidak nampak atau berbicara seperti kakak-kakaknya. Lucius juga tidak berpakaian sama seperti mereka, ayah dan kakak-kakaknya mengenakan pakaian setengah lengan berwarna abu-abu dan mantel yang menutupi seluruh punggung, celana kain pilihan terbaik dan boots. Di mantel itu terdapat simbol sebagai klan Linfordous, sementara Lucius ia lebih sering menggunakan kaos setengah lengan pula dilengkapi dengan vest kulit, dan sandal Gladiator yang ia buat sendiri, nampak seperti seorang petarung pada umumnya. Meski demikian, Lucius berusaha tampil sebaik-baiknya dengan apa yang ia punya.

Akan tetapi, Lucius memiliki tindak-tanduk yang tak biasa. Lucius bertubuh tinggi dan tegap dengan rahang yang tegas, dagu berbentuk terbelah, pipi yang lembut, tulang pipi yang tinggi dan mata kelabu, mirip seorang pejuang yang tersesat. Rambutnya lurus berwarna abu-abu gelap, jatuh bergelombang di kepalanya, sedikit di belakang telingannya. Dan sepasang mata disana yang terkunci dan berkilau ibarat ikan-ikan kecil yang tertimpa cahaya.

Seperti keluarga pada umumnya, mereka tidur hingga pagi hari, menyantap sarapan yang lezat dan berangkat menjalani aktivitas dengan suasana gembira seperti biasa - sementara Lucius enggan untuk setiap hari mengerjakan pekerjaan para Blacksmith. Ia sering berkuda, berburu, dan terkadang ia mengikuti pertarungan yang sering kali di adakan oleh Kerajaan Barat. Mungkin itu hal yang membuat Lucius berambisi dan terdorong untuk mengikuti seleksi, namun ia tidak tahu apakah sang Ayah akan mengizinkannya atau tidak. Ia pernah mencoba mengutarakan hal itu pada ayahnya. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Ayahnya dengan segera mengakhiri pembicaraan, dan ia tak pernah mencoba membicarakannya lagi. Itu membuatnya sangat kecewa.

Lucius memutuskan untuk menolak takdir yang direncanakan oleh ayahnya kepadanya. Begitu kereta dari Kerajaan menampakkan tanda-tanda kemunculannya, ia akan segera berlari kembali ke rumah, melawan perintah ayahnya dan, suka atau tidak, membuat kehadirannya diketahui oleh para utusan Kerajaan. Ia akan menghadiri seleksi bersama yang lainnya. Ayahnya tidak akan bisa menghentikannya, ia merasakan tekanan di hatinya ketika memikirkan hal ini.

Fajar menyingsing lebih tinggi dan ketika mentari berwarna keemasan mulai bangkit menyinari langit berwarna biru dengan cahaya, Lucius melihat mereka.

Ia berdiri tegak lurus, rambutnya menegang ke belakangnya. Di sana, di kaki langit tampaklah berisan samar kuda yang sedang menarik sesuatu, rodanya membuat debu beterbangan ke langit. Jantungnya berdegup kencang ketika kereta yang lainnya nampak, dan ada lagi di belakangnya. Bahkan dari sini kereta keemasan nampak bersinar diterpa matahari, seperti paus perak yang melompat dari dalam air lautan.

Ia menghitung ada dua belas kereta, dan ia tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jantungnya berdegup lebih keras dan sembari melupakan semu larangan ayahnya untuk pertama kali dalam hidunya, Lucius berbalik dan berlari tersaruk-saruk menuruni bukit, dan tak akan berhenti pada sesuatu kecuali ia telah sampai di tujuannya.

*

Lucius berhenti sejenak memulihkan nafasnya ketika ia telah menuruni bukit, menerobos pepohonan, tergores ranting-ranting dan tak memedulikannya. Ia sampai di sebuah tanah lapang dan melihat desanya ada di bawahnya: sebuah desa sepi terbungkus dalam satu kisah, rumah-rumah bergaya Tudor berwarna putih dengan di lengkapi di atapnya cerobong asap. Ada sekelompok keluarga disana. Asap mengepul dari cerobong asap menandakan warga telah bangun untuk menyiapkan sarapan. Desa itu adalah tempat yang indah, bahkan lebih dari itu - terlalu menarik untuk dilewatkan - termasuk bagi para prajurit Kerajaan. Desa itu merupakan salah satu wilayah pertanian dan pusat perkakas di ujung Kerajaan Garda Besi, sebuah pemberhentian di lingkaran wilayah Kerajaan Barat.

Lucius telah sampai ditujuannya, di bagian dalam desa yang sedang membersihkan diri ketika ia lewat. Ayam dan Anjing berlarian keluar dari jalannya, dan seorang wanita tua yang sedang berada di luar rumah dengan panci berisi air mendidih, mendesis kearahnya.

"Hati-hati, Nak!" Ia memekik ketika Lucius berlari cepat melewatinya, sambil menghalau dari apinya. Namun Lucius tak akan melambatkan langkahnya - tidak untuknya, atau siapapun. Ia beralih ke sisi lainnya lagi, berputar dan berbalik kearah yang diketahuinya untuk sampai ke rumah.

Rumah itu sederhana, terlihat nyaman untuk di tinggali sedikit berbeda dengan rumah yang lainnya, dengan dinding kayu berwarna putih beras, dibagian belakang terdapat taman seperti lapangan Kuda dan kandang Kuda, dan juga terdapat kincir angin di atapnya. Ada sebuah kamar yang di bagi menjadi tiga bagian, ayahnya tidur di suatu sisi, kakak-kakaknya di bagian tengah, dan Lucius tidur di bagian sisi yang lainnya. Awalnya ia tidur bersama para saudaranya; namun karena mereka sudah memiliki pemikiran yang berbeda dengan Lucius, Lucius pun menjaga jarak ketika beranjak dewasa dan tidak memberikan ruang untuk kakak-kakaknya di kamar miliknya. Lucius merasa sendiri, namun kini ia bisa menikmati ruangannya sendiri, dan lebih suka jauh dari mereka. Itu semua merupakan pernyataan bahwa ia ingin pergi jauh dari rumah ini, dari desa ini, dan ia telah menyadarinya.

Lucius berlari menuju pintu depan dan terus berlari hingga masuk ke dalam rumah.

"Ayah!" Teriak sambil bernafas terengah-engah. "Kesatuan Perak! Mereka datang!"

Ayah dan saudara-saudaranya sedang duduk mengelilingi meja untuk sarapan, dan mereka telah mengenakan pakaian terbaik seperti biasa. "Benar kah!!" Tanya ayahnya. Begitu ia selesai berbicara saudara-saudaranya terhenyak dan berderap melewatinya, mereka berlarian keluar rumah menuju jalan.

Lucius mengikuti mereka keluar, dan mereka semua berdiri memandangi kaki langit.

"Aku tidak melihat siapapun," Jasper, si sulung menjawab dengan suara berat. Bahunya lebar, rambutnya di potong pendek seperti saudaranya yang lain, matanya coklat, dan tubuhnya yang kekar, ia menatap Lucius sedikit tidak percaya.

"Aku juga tidak," seru Javier, yang berumur satu tahun lebih muda dari Jasper dan selalu berada di pihaknya.

"Mereka datang!" Balas Lucius. "Sungguh!"

Ayahnya berbalik kearahnya

"Bagaimana kau mengetahuinya nak?" Tanya ayahnya.

"Aku melihat mereka."

"Bagaimana? Darimana?"

Lucius mendadak ragu: ayahnya menangkap basah dirinya, ia tahu bahwa satu-satunya tempat dimana Lucius mengetahui mereka adalah di puncak bukit.

"Aku.. memanjat bukit-"

"Pagi buta? Nak, kau pergi terlalu jauh dari rumah,"

"Tapi hari ini lain, aku harus melihat mereka."

Ayahnya menatapnya dengan sedikit aneh.

"Lebih baik sekarang kau masuk, dan sarapanlah, nak. Dan ambil senjata - senjata, perisai, dan zirah - zirah yang sudah di tempa kemarin. Kita harus siap - siap menempati lapak persenjataan sebelum Prajurit Kerajaan datang."

Seusai berkata-kata, ayahnya berpaling pada kakak-kakaknya yang semuanya memandang ke jalan.

"Apakah ayah yakin kalau mereka akan sangat tertarik dengan senjata kita dan apakah senjata kita lah yang akan terpilih?" Tanya Leroy, termuda di antara ketiga saudara, berselisih tiga tahun dari Lucius.

"Mereka akan sangat bodoh jika tidak melakukannya," ujar ayahnya. "Mereka sedang memilih prajurit tahun ini. Ada sedikit pengurangan - atau apapun yang tidak membuat mereka merasa keberatan. Tampilah meyakinkan. Ayah sudah bertahun-bertahun menjadi seorang Blacksmith terbaik di kerajaan. Tunjukkan seolah kalian sudah menjadi yang terbaik dengan senjata kita."

"Ya, ayah," jawab ketiga anak lelakinya serempak, berdiri tegak di posisinya masing-masing.

"Baiklah, sekarang kalian sarapan dan bantu Lucius untuk bersiap-siap, kita harus tiba sebelum prajurit Kerajaan datang." Suruh ayahnya.

Ayah dan kakak-kakaknya pun serentak masuk dan melanjutkan untuk sarapan.

"Dimana Lucius?" Tanya ayahnya. "Mungkin si jagoan sudah sarapan disaat kita berbicara di luar, ayah." Jawab Javier, bibirnya seperti sedang mencibir.

"Aku sudah sarapan, dan aku sudah menyiapkan semua, sudah ku taruh semuanya di kereta, ayah." Jawab Lucius, seusai Javier berkata.

Lucius berdiri disana, membalikkan tubuhnya. Ia ingin mengatakan sesuatu pada ayahnya, lalu mencoba berdebat dengan ayahnya. Membantah secara terang-terangan jelas ide buruk.

Lucius kemudian berlari menuju rumah, pergi menuju ke kamarnya mengambil pedang miliknya di tempat penyimpanannya. Pedang itu sangat indah dan bermahkotakan gagang perak, hadiah berharga dari ayahnya beberapa tahun lalu. Iya langsung mengenakan vest kulit ksatria miliknya dan kembali berlari keluar kamarnya.

Ia berlari menuju ayah dan ketiga saudaranya. Ayahnya memandang Lucius terkejut, namun sebelum ia ingin mengatakan sesuatau, Lucius mendahuluinya.

"Ayah, kumohon. Aku ingin berbicara pada ayah,"

"Apa yang ingin kau bicarakan, nak?" Tanya ayahnya. "Kumohon, ayah!" Ayah Lucius balas menatapnya. Ia pasti melihat keseriusan pada wajah Lucius, karena akhirnya ia berkata.

"Ada apa?"

"Aku ingin ikut, tapi bukan untuk menjadi pandai besi. Aku ingin bergabung dengan Legiun."

Ayah dan saudara-saudaranya pun terkejut seraya Lucius berkata seperti itu. Ayahnya pun semakin terheran - heran.

"Benarkah?" Tanyanya.

Lucius menganggukan kepala dengan penuh semangat.

"Aku sudah tujuh belas tahun, dan aku sangat layak untuk bergabung."

"Batas umurnya memang dari lima belas tahun," ujar Jasper di belakangnya.

"Jika mereka memilihmu, kau akan jadi yang termuda. Apakah kau pikir mereka akan memilihmu dibandingkan aku yang tujuh tahun lebih tua darimu?"

"Kau memang tidak tahu aturan, Jagoan." Tukas Javier. "Kau selalu begitu, selalu ingin beda dari keluarga sendiri."

Lucius membalikkan badan kearah mereka.

"Aku tidak bertanya padamu." Katanya.

Ia memandang Ayahnya masih mengernyitkan kening.

"Ayah, kumohon!" Katanya. "Biarkan aku mengikutinya, aku tahu aku memang masih muda tapi aku akan membuktikannya. Hanya itu yang kuminta, ayah."

Ayahnya menggelengkan kepala.

"Kau bukan prajurit nak, begitu pun saudara-saudaramu. Kau adalah Anakku, kau dan yang lainnya adalah seorang Blacksmith handal. Hidupmu disini bersamaku. Kau dan yang lain akan mengerjakan tugas masing-masing dan lakukan semua dengan baik. Kita tidak berasal dari keluarga Kerajaan, maka jangan bermimpi terlalu tinggi. Terimalah hidupmu dan belajarlah untuk mencintainya."

Lucius merasa hatinya hancur ketika ia melihat hidupnya runtuh di depan matanya.

Tidak, pikirnya. Tidak bisa

"Tapi Ayah-"

"Cukup Lucius," ayahnya sedikit marah. "Itu mereka sudah datang, minggirlah dan jaga sopan santun mu saat mereka disini."

Ayahnya maju kedepan dan dengan satu tangan menarik Lucius untuk minggir, seakan ia tak ingin melihat Lucius. Tangannya yang besar melukai hati Lucius.

Sebuah kerumunan besar datang, dan orang-orang keluar dari rumah mereka, dan berdiri berjajar di tepi jalan. Debu pun mengepul mengelilingi sekitar kereta. Dan saat mereka tiba, selusin kuda penarik kereta bersuara bak halilintar.

Mereka datang ke kota bak prajurit bayangan, berhenti di dekat rumah Lucius. Kuda-kuda mereka berhenti menghentakkan kaki sambil mendengus. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya debu menghilang, dan Lucius dengan riang mengintip baju baja dan senjata mereka. Ia tak pernah sedekat ini dengan Kesatuan Perak, dan hatinya berdebar-debar.

Prajurit yang memimpin pasukan turun dari kudanya. Ia adalah anggota kesatuan perak yang sesungguhnya, terbungkus dalam baju zirah berkilauan, pedang panjang di sabuknya. Ia berusia sekitar tiga puluh tahun, seorang pria sejati dengan luka di pipi akibat pertempuran. Ia adalah pria bertubuh paling besar yang pernah Lucius lihat, dua kali lebih besar dari yang lainnya, dengan air muka yang mengatakan bahwa ia adalah pemimpin pasukan itu.

Prajurit itu melangkah di jalanan berlumpur, alas kakinya berdenting saat ia mendekat ke arah barisan Pemuda.

Sekelompok Pemuda itu hilir mudik dan berdiri dengan penuh perhatian dan berharap. Bergabung dengan Kesatuan Perak adalah hidup dengan penghargaan, pertempuran, kemahsyuran - diikuti oleh hadiah tanah, gelar dan kejayaan. Dan dengan itu mereka bisa mendapatkan mempelai perempuan terbaik, tanah terpilih, hidup dengan kejayaan. Semua juga berarti kehormatan untuk keluarga, dan masuk menjadi anggota Legiun adalah awalnya.

Lucius mengamati kereta besar keemasan itu, dan segera mengetahui bahwa mereka hanya bisa membawa beberapa orang. Wilayah ini adalah Kerajaan yang luas, dan ada banyak kota yang harus mereka datangi. Ia meneguk air ludah, menyadari kesempatannya jauh lebih kecil dari yang ia kira. Ia musti mengalahkan semua orang - banyak di antara mereka adalah petarung sejati. Namun ia tidak memperdulikannya, karena ia sering mengikuti pertarungan yang kadang di adakan oleh Kerajaan Barat.

Lucius merasa sulit bernafas ketika melihat prajurit Kerajaan melangkah dengan tenang, meneliti kerumunan yang menanti penuh harap. Ia memulainya dari sisi jalan yang jauh, dan kemudian berjalan mengelilingi mereka perlahan. Lucius jelas mengenali semua pemuda yang lainnya. Ia juga tahu beberapa dari mereka diam-diam tidak ingin terpilih, meski keluarga mereka menginginkannya. Mereka takut menjadi prajurit bernasib malang.

Lucius merasa terhina, ia merasa dirinya pantas untuk terpilih seperti yang lainnya. Hanya karena Ayahnya pernah berkata bahwa ia dan yang lain bukan keluarga yang berasal dari keluarga Kerajaan, bukan berarti dia tak punya hak untuk tampil dan terpilih. Ia terbakar rasa benci pada ayahnya yang hampir saja membakar kulitnya ketika si prajurit mulai mendekat.

Si Prajurit berhenti di depan sekelompok pemuda dari klan McGillan, klan yang berasal dari kerjaan Cincin Di bagian utara, yang bermigrasi ke Kerajaan Barat karena peperangan yang hebat. Ia melihat dari atas kebawah dan tampak tertarik. Ia merentangkan tangan, menarik salah satu sarung pedang mereka dan merenggutnya, seperti hendak mengetahui seberapa kuat pedang itu.

Senyumnya mengembang.

"Ternyata kau sering menggunakannya untuk bertarung, nak." Ujar Prajurit pada Diego, pemilik pedang yang di renggut.

Lucius melihat Diego sedikit gugup, Diego menelan ludah.

"Ya, tuan. Aku sering menggunakannya untuk bertarung dan latihan."

"Latihan?" Tanya Prajurit. "Kau bertarung dan latihan menggunakan pedang yang sama?"

"Iya tuan!" Jawab Diego riang.

Prajurit itu membalikkan badannya ke arang pemuda yang lain sambil menggosok cambang dagu nya. "Bisa berguna, kalian memiliki postur tubuh yang bagus, meski belum tentu layak. Kalian perlu banyak berlatih jika ingin lolos."

Ia berhenti sejenak.

"Sepertinya masih ada ruang." Ia mengangguk kearah kereta di belakangnya.

"Masuk, dan cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran."

Diego dan dua saudaranya, Drake dan Dross berlari cepat kearah kereta dengan wajah berseri-seri. Lucius melihat Ayah dan Ibu mereka pun turut gembira.

Namun Diego berhenti sejenak dan memandang ke arah rumah Lucius yang cukup dekat dengan rumahnya. Ia tahu Lucius, ia mengenal Lucius sebagai seorang petarung, ia pernah menyaksikan Lucius bertarung di arena pertarungan. Mungkin ia heran kenapa Lucius tidak berada disini.

Lucius merasa kecewa ketika Diego dan saudaranya pergi.

Si Prajurit membalikkan badan dan menuju rumahnya, mungkin ia melihat Ayahnya yang seorang Blacksmith. Sepertinya Prajurit itu mengenali ayahnya begitupun ayahnya. Lucius merasa tak tahan lagi.

"Tuan!" Seru Lucius.

Ayahnya membalikkan tubuh dan menatapnya, tapi Lucius tak peduli.

Si Prajurit terkejut dan sejenak menghentikan langkahnya.

Lucius maju dua langkah kedepan, jantungnya berdebar dan memukul-mukul badannya dengan keras.

"Anda belum mempertimbangkan saya, Tuan," katanya.

Si Prajurit terhenyak, memandangi Lucius seakan ia pernah melihatnya.

"Benarkah?" Tanyanya, ia seperti pernah melihat Lucius sebelumnya.

Anak buahnya pun ikut terenyah akan kehadiran Lucius, namun Lucius tidak memperdulikan reaksi mereka. Sekarang adalah saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Saya ingin bergabung dengan Legiun!" Katanya.

Si Prajurit melangkah kehadapan Lucius.

"Sekarang?" Ia tampak penasaran.

"Bukankah kau yang berada di Arena beberapa waktu lalu, nak?" Tanyanya. Ternyata benar, si prajurit memang mengenali Lucius juga.

"Tentu saja, Tuan. Aku sudah berumur tujuh belas tahun, dan aku layak untuk mengikuti seleksi ini." Tegas Lucius.

Si Prajurit terengah dengan ketegasan Lucius, begitu juga dengan orang-orang di belakangnya.

"Jadi kau ingin mengikuti Legiun? Bagaimana dengan Ayahmu dan itu saudara-saudaramu yang lain, bukan?" Tanyanya, sambil menujuk ke arah ayah dan kakak-kakaknya.

"Saya sudah memimpikannya untuk bergabung dan menjadi kesatuan perak. Saya sudah memimpikan ini seumur hidup saya. Tuan, biarkan saya bergabung dengan anda."

"Maafkanlah dia tuan," ayahnya berjalan cepat kearah mereka. "Ia masih muda dan mungkin kau salah melihat anak ini sebagai petarung di arena, tuan."

"Benarkah?" Tanya si Prajurit, dengan tatapan tajam apakah yakin bahwa Lucius adalah petarung di arena itu.

Kali ini, ayahnya tampak sangat marah.

"Apa yang kau lakukan? Dasar anak pembangkang!" Kata ayahnya marah.

Lucius pun mengambil langkah mundur ketika ayahnya berkata seperti itu padanya. Si Prajurit memandang Lucius, air wajahnya melunak perlahan bahwa ia yakin Lucius adalah petarung itu. Setelah beberapa saat ketika prajurit ingin mengatakan sesuatu, seseorang dari belakang menghampirinya. "Komandan, waktu kita terbatas. Masih banyak kota yang harus kita hampiri." Kata salah satu pasukan kerajaan.

"Kembalilah pada kami saat kau sudah benar - benar siap, nak." Si Prajurit yakin bahwa Lucius akan melakukan sesuatu untuk bergabung dengan Legiun.

Sesudah itu ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju pemuda-pemuda lainnya. Kemudian ia menghela kudanya dengan cepat.

Lucius yang kecewa memandangi setiap gerakan kereta yang pergi dengan cepat, secepat mereka datang.

Terakhir Lucius melihat Diego, duduk di bagian belakang kereta, dan memandanginya dengan senyuman, senyuman itu seakan mengisyaratkan bahwa Diego memberi semangat kepada Lucius. Mereka telah dibawa pergi jauh dari sini menuju kehidupan yang lebih baik.

Di dalam hati, Lucius merasa telah mati.

Seketika keriangan disekitarnya menghilang, semua warga desa pulang ke rumahnya masing-masing.

"Tahukah apa yang membuatmu terlihat bodoh?" Bentak ayah Lucius. "Kau menggagalkan mereka untuk tertarik pada peralatan kita!"

Lucius berusaha melepaskan diri dari tangan ayahnya, yang kemudian mencengkramnya kembali dan menamparnya.

Lucius merasa marah dan balas menatap ayahnya, untuk pertama kalinya iya ingin memukul ayahnya, namun iya menahan diri dengan tangannya yang terkepal.

"Apakah ayah hanya mementingkan pekerjaan!" Tanya Lucius. "Apakah ayah ingin menghancurkan mimpi anaknya sendiri, demi mengutamakan peralatan yang Bodoh itu!"

Lucius sangat marah, sehingga suaranya seakan membelah langit.

"Mungkin Lucius benar, ayah," kata Leroy. Kakak Lucius yang umurnya tidak terlalu jauh. "Mungkin dia ingin menjadi yang terbeda di antara kami dan ayah, dan mungkin dia juga bisa merubah keadaan keluarga kita, ayah."

Lucius tidak percaya dengan apa yang dialaminya, tapi itulah yang terjadi. Jarang sekali salah satu dari kakak-kakaknya membela Lucius. Maka Lucius pun merasa sedikit terobati akan ucapan Leroy.

"Kau diam!" Bentak ayahnya. "Aku bisa menghukum dan mencambuk kalian jika aku mau." Mereka terdiam seketika ayahnya marah.

"Lucius, sebagai hukuman, kau siapkan barang-barang dan persediaan, jangan berharap ada makanan dariku. Malam ini kau tidak boleh makan, dan pikirkan kembali perbuatanmu."

Ia membalikkan badannya dan berlari ke belakang. Ia bukan untuk menyiapkan persediaan, tapi malah ke kandang kuda untuk mengambil salah satu kuda di sana. Lucius mengambil salah satu kuda yang biasa ia tunggangi, kuda itu adalah Blaze. Lalu ia menungganginya ke depan rumah dimana ayah dan kakak-kakaknya masih berada disana.

"Bahkan aku tidak akan kembali lagi kemari sampai kapanpun." Lucius berseru sambil menunggangi Blaze dan memacunya, menjauh dari rumahnya dan menuju perbukitan.

"Lucius!" Seru ayahnya. Beberapa penduduk yang lewat berhenti dan melihat mereka.

Lucius memacu Blaze secepat cepatnya, ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Ia tahu ia sedang menangis, air mata membasahi wajahnya, ketika semua mimpinya hancur berantakan.

"Terimalah hidupmu dan belajarlah untuk mencintainya."

- Hermit Linfordous -

(Ayah Lucius)

"Haii temen-temen, makasih udah baca. Semoga kalian sehat selalu dan tidak kurang satu dari apapun."

-Author