Lucius berjalan menunggangi Blaze selama berjam-jam di perbukitan, marah, sampai akhirnya ia memilih sebuah bukit dan duduk, lengan disilangkan di atas kakinya, dan mengamati cakrawala. Ia melihat gerobak itu pergi, menyaksikan awan debu yang tertinggal selama berjam-jam setelah itu.
Tidak akan ada kunjungan lagi, ia di takdirkan untuk berada disini selama bertahun-tahun, menunggu kesempatan lain - jika mereka datang kembali. Jika ayahnya memperkenankannya. Sekarang hanya ada ia dan ayahnya, bersama saudara-saudaranya dirumah, ayahnya pasti akan mengeluarkan seluruh amarahnya pada dirinya. Ia akan terus menjadi seorang Blacksmith muda dan menjalankan tugas dari ayahnya, tahun demi tahun akan berlalu, dan ia akan berakhir seperti ayahnya, terjebak disini, kehidupan berkembang - dan mungkin tak ada perkembangan selain menciptakan senjata-senjata baru. Sementara para pemuda yang lain memperoleh kemuliaan dan kemahsyuran. Pembuluh darahnya terbakar oleh peristiwa itu. Ini bukanlah hidup yang ingin ia jalani. Dia sadari itu.
Lucius mendobrak otaknya, dengan cara apapun yang bisa ia lakukan. Dengan cara apapun yang bisa ia lakukan untuk merubahnya. Tetapi tidak ada yang terjadi. Ini adalah lembaran kehidupan yang harus ia jalani.
Setelah berjam-jam duduk, ia mulai bangkit dengan sedih dan mulai melintasi jalan kembali melalui perbukitan yang ia kenal, lebih tinggi lagi. Tak pelak lagi, ia mengarah kembali dengan Blaze ke bukit yang tinggi. Saat mendaki, matahari pertama jatuh di langit dan kemudian mencapai puncaknya, mencetak warna kehijauan, Lucius menyempatkan diri saat ia melenggang, tanpa sadar melepas selempang dari pinggangnya, sabuk kulitnya masih sangat bagus meski dipakai selama bertahun-tahun. Iya mengelus bungkus pedang yang terikat di pinggulnya dan meraba gagang pedang pemberian ayahnya, masing-masing corak pada gagang perak pedang tersebut terdapat garis-garis rubi dengan kelap-kelipan yang indah, dibuat dengan bahan-bahan pilihan oleh tangan ayahnya. Selain sering ia gunakan bertarung, kadang-kadang ia menghunus dan menebaskan pedangnya pada bekas pohon yang sudah runtuh. Itu kebiasaan yang tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun. Pada awalnya ia merindukan segalanya, sehingga kemudian, sekali waktu ia melemparkan batu, dan mengenai target yang bergerak. Sejak itu, tujuannya adalah benar. Sekarang, melempar sesuatu selain batu adalah bagian dari dirinya - dan hal itu membantu melepaskan sebagian dari kemarahannya. Saudara-saudaranya mungkin bisa mengayunkan palu dan menghantamkannya pada bahan tempaan dengan sempurna, tetapi mereka tidak pernah bisa menebaskan pedang dengan sempurna dan mengenai burung terbang dengan melemparkan bebatuan.
Lucius tanpa pikir panjang mengambil sebuah batang kayu, kemudian iya memahatnya sehingga menyerupai tombak dengan blati yang tersisip di bungkus pedangnya. Ia menempatkan batang kayu yang meyerupai tombak tersebut ditangannya, mencondongkan punggungnya, dan melempar tombak itu dengan segala kekuatan yang ia miliki, seolah-olah dia melemparkan tombak itu pada ayahnya. Ia mengenai cabang dahan di pohon yang jauh, menjatuhkannya. Begitu ia menyadari bahwa ia bisa membunuh hewan yang bergerak dan pasukan dalam peperangan, ia berhenti membidik mereka, takut akan kekuatan sendiri dan tidak ingin menyakiti apapun dan siapapun. Kecuali tentu saja, rubah datang mengejar kudanya. Seiring waktu, mereka telah belajar untuk tetap menjauh.
Lucius memikirkan saudara-saudaranya, dan yang terlintas dipikirannya adalah Leroy, seseorang yang membelanya pada saat peristiwa itu. Sedang apa mereka sekarang, dan ia mendidih. Setelah berjam-jam yang lalu ia mengalami peristiwa yang membuatnya patah. Ia hanya dapat membayangkan, jika ia saat itu berhasil bergabung dengan Legiun. Ia akan tiba dalam kemeriahan bersama Diego dan yang lainnya, orang-orang mengenakan pakaian terbaik mereka, menyambutnya, ksatria pun menyambutnya. Para anggota Kesatuan Perak. Ia akan dibawa masuk, diberikan sebuah tempat tinggal dalam barak Legiun, tempat untuk berlatih dilapangan raja menggunakan senjata terbaik. Masing-masing akan di sebut pengawal menjadi seorang ksatria yang terkenal. Suatu hari, ia akan menjadi ksatria sendiri, mendapatkan kuda sendiri, baju zirah mereka sendiri, dan mendapatkan pengawal sendiri. Ia akan mengambil bagian dalam semua festival dan jamuan di meja Raja. Itu adalah kehidupan yang mempesona. Dan itu terlepas dari genggamannya.
Lucius merasa sakit secara fisik, dan mencoba menyingkirkan semua dari pikirannya. Tapi ia tidak bisa. Ada suatu bagian pada dirinya, dalam lubuk hati terdalam, yang menjerit padanya. Itu berkata pada dirinya untuk tidak menyerah, bahwa ia memiliki takdir yang lebih besar dibandingkan ini. Ia tidak mengetahui apakah itu, tetapi ia tahu itu bukan berasal dari sini. Bahkan merasa berbeda. Bahkan mungkin istimewa. Bahwa tidak ada seorang pun yang memahaminya, melainkan meremehkannya.
Lucius dan Blaze sampai di bukit tertinggi, mendapati tanah lapang yang bagus, dengan rumput yang tertata rapih, seketika ia turun dari Blaze. Ia berjalan dengan menuntun Blaze di lapangan itu. Lucius duduk di atas rumput lapangan itu, namun Blaze, ia berjalan mengarah ke rerumputan yang sedikit lebih tinggi untuk memakannya.
Lucius menikmati keheningan seraya suara angin mendesis pada pepohonan. Ia membeku saat iya melihat ke tempat kudanya Blaze berdiri. Kudanya hilang. Ia menengok ke semua arah. Namun tidak ada. Ia tak bisa mempercayainya: Blaze menghilang.
Lucius tidak pernah kehilangan kudanya satupun sebelumnya, lebih buruk lagi, ia membenci perkiraan bahwa Blaze hilang, sendirian, mungkin akan di serang di alam liar. Ia benci melihat apapun yang tidak berdosa menderita.
Lucius bergegas ke puncak bukit dan menyisir cakrawala sampai ia melihatnya, jauh disana, beberapa bukit jauhnya: seekor kuda, berwarna hitam, dan corak putih sedikit di ekornya. Disana adalah salah satu alam liar di serangkaian bukit itu. Hatinya luruh karena menyadari Blaze tidak hanya melarikan diri, ia melihat sesuatu, dan telah memilih, dari semua tempat, ke barat, ke Malhalla Forest.
Lucius menelan ludah, Malhalla Forest tidak hanya terlarang - tidak untuk kuda, tapi juga manusia. Itu adalah tempat di jauh luar batas desa, sejak ia bisa berjalan, Lucius menyadari untuk tidak mengambil resiko kesana. Ia tidak pernah. Legenda mengatakan, pergi kesana pasti merupakan kematian, hutannya tidak pernah terjamah dan penuh dengan hewan ganas dan iblis-iblis yang jahat.
Lucius menatap langit yang mulai gelap, berdebat. Dia tidak bisa membiarkan Blaze pergi. Dia berfikir jika dia bisa bergerak cepat, ia bisa mendapatkannya kembali tepat waktu.
Setelah ia kembali sekali lagi untuk untuk terakhir kalinya, ia berbalik dan berlari cepat, menuju ke Barat, ke Malhalla Forest, awan tebal berkumpul di atas. Dia punya perasaan seperti terbenam, namun kakinya membawa dirinya dengan sendirinya. Ia merasa tidak ada jalan kembali, bahkan jika ia menginginkannya.
Ini seperti berlari menuju sebuah mimpi buruk
*
Lucius segera menuruni serangkaian bukit, menuju kanopi lebat Malhalla Forest. Jalan setapak berakhir dimana hutan dimulai, dan ia berlari menuju wilayah yang tak tersentuh, dedaunan musim panas bergemersik di bawah kakinya.
Seketika saat ia memasuki hutan ia tenggelam dalam kegelapan, cahaya tertutupi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi ke atas. Disini lebih dingin, dan disaat iya melewati ambang batas, ia merasa merinding. Bukan hanya dari kegelapan, atau hawa dingin - rasa itu terdapat dari sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak bisa di katakan. Itu adalah perasaan. Seperti sedang di awasi.
Lucius memandangi cabang tua, keriput, dan lebih besar dari tubunya, bergoyang dan berderit ditiup angin. Ia baru saja pergi lima puluh langkah memasuki hutan ketika ia mendengar suara binatang - binatang aneh. Ia berbalik sehingga ia hampir tidak bisa melihat lubang yang iya masuki; ia merasa seolah-olah tidak ada jalan keluar. Ia sangat gelisah.
Malhalla Forest selalu berada di pinggiran kota, dan berada di pinggiran kesadaran Lucius, sesuatu yang mendalam dan misterius. Cerita tentang tempat ini terlalu gelap, dan terlalu menakutkan.
Tapi ada yang berbeda di hari ini yang membuat Lucius tidak lagi peduli, yang membuatnya membuang peringatan menjadi debu. Sebagian dari dirinya ingin mendorong batasan-batasan itu, supaya berada sejauh mungkin dari rumah, dan membiarkan kehidupan mengambilnya kapan saja.
Kemudian ia memberanikan dirinya lebih jauh, kemudian berhenti, tidak yakin jalan mana yang harus dilalui. Ia melihat tanda itu, cabang membungkuk dimana Blaze pergi. Dan berbalik ke arah itu, saat beberapa waktu, dia berbalik lagi.
Sebelum satu jam berlalu, ia tersesat, ia mencoba mengingat arah dari mana ia datang- namun tak lagi yakin. Perasaan tidak enak menetap di hatinya, namun ia pikir satu-satunya jalan keluar adalah terus maju, sehingga ia melanjutkan langkahnya.
Dari kejauhan, Lucius melihat seberkas sinar matahari, dan dibuat untuk itu. Menemukan tempat terbuka, ia berhenti di tepi, terpana- ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Berdiri disana, memunggungi Lucius, berpakaian jubah panjang, biru satin dengan corak merah darah. Jelas ia adalah seorang pria. Tidak, bukan orang- Lucius bisa merasakannya dari sini. Dia adalah sesuatu yang lain. Seorang Druid, mungkin. Ia berdiri tegak lurus, kepala yang ditutupi kerudung, diam, seolah tidak perlu memedulikan apapun.
Lucius tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia telah mendengar tentang Druid, namun tidak pernah bertemu salah satunya. Dari tanda-tanda pada jubahnya, hiasan emas yang rumit, ini bukan hanya Druid: itu adalah tanda Kerajaan. Istana Raja. Lucius tidak bisa memahaminya. Apa yang di lakukan Druid kerajaan disini?
Setelah apa yang terasa seperti keabadian, Druid itu berbalik menghadapi Lucius, dan seperti yang ia lakukan, Lucius mengenali wajah itu. Hatinya berdebar-debar. Itu adalah salah satu wajah yang paling terkenal di Kerajaan: Druid pribadi raja. Dermian. Penasihat raja-raja Kerajaan Barat selama berabad-abad. Apa yang dia lakukan di hutan ini, jauh dari kerajaan, di pusat Malhalla Forest, jelas merupakan sebuah misteri. Lucius bertanya-tanya apakah ia sedang berimajinasi.
"Matamu tidaklah menipumu," kata Dermian, memandang langsung pada Lucius. Suaranya berat, tua, seperti di ucapkan oleh pohon itu sendiri.
Matanya tajam, bening, nampak menggali menembus Lucius, menyihirnya, Lucius merasakan energi yang kuat dari Druid- seakan ia berdiri di seberang Matahari.
Lucius segera berlutut, menundukkan kepalanya.
"Junjungan saya," katanya. "Saya mohon maaf karena sudah mengganggu anda."
Tidak menghormati penasihat Raja akan mengakibatkan penjara atau kematian. Kenyataan itu sudah tertanam pada Lucius sejak saat ia lahir.
"Berdirilah, nak," kata Dermian. "Jika aku menginginkanmu untuk berlutut, maka aku sudah mengatakannya padamu."
Perlahan, Lucius berdiri dan menatapnya. Dermian mengambil beberapa langkah lebih dekat. Lalu Dermian berhenti dan memandangi Lucius, sampai Lucius merasa tidak nyaman.
"Kau mempunya mata yang sama persis dengan Ibumu." Kata Dermian.
Lucius tercengang. Ia belum pernah bertemu ibunya, dan tidak pernah bertemu siapapun selain dari ayahnya, yang mengenal ibunya. Ia telah ia di beritahu bahwa Ibunya meninggal saat melahirkan, sesuatu yang membuat Lucius memiliki rasa bersalah. Ia selalu menduga bahwa itulah hal yang membuat Lucius di bedakan dengan Keluarganya.
"Saya rasa anda salah mengira saya sebagai orang lain," kata Lucius. "Saya tidak mempunyai Ibu."
"Sungguh?" Tanya Dermian, dengan sedikit senyuman. "Apakah kau terlahir dari seorang Pria saja?"
"Maksud saya, Baginda. Ibu saya sudah meninggal saat melahirkan. Saya rasa anda salah mengira saya."
"Kau adalah Lucius, dari klan Linfordous. Yang termuda dari empat bersaudara. Merupakan Orang terpilih yang tertunda."
Mata Lucius terbuka lebar. Ia hampir tidak mengetahui mengapa Dermian mengetahuinya. Bahwa seorang Dermian tahu siapa dia- itu lebih dari apa yang bisa ia pahami. Ia bahkan tidak membayangkan bahwa iya dikenali oleh siapapun diluar desanya.
"Bagaimana... Anda bisa mengetahuinya?"
Dermian kembali tersenyum, namun tidak menjawabnya.
Lucius tiba-tiba merasa sangat penasaran.
"Bagaimana..." Lucius menambahkan pertanyaan. "...Bagaimana anda bisa mengenali ibu saya? Pernahkah anda berjumpa dengannya? Siapakah dia?"
Dermian berbalik dan berjalan menjauh.
"Simpan pertanyaan untuk lain waktu." Katanya
Lucius memandang ia pergi, bingung. Itu adalah perjumpaan yang membingungkan dan misterius, dan itu semua terjadi begitu cepat. Ia memutuskan ia tidak membiarkan Dermian pergi; ia segera mengejarnya.
"Apa yang anda lakukan disini?" Tanya Lucius, segera berusaha menyusul Dermian, menggunakan tongkatnya, berbahan gading tua, berjalan sangat cepat. "Anda tidak menunggu saya kan?" "Siapa lagi kalau bukan kau?" Tanya Dermian.
Lucius segera menyusul, mengikutinya kedalam hutan, meninggalkan tanah terbuka.
"Tapi kenapa saya? Bagaimana anda tahu saya kesini? Apa yang anda inginkan?" Tanya Lucius
"Terlalu banyak pertanyaan," kata Dermian. "Kau berisik, seharusnya kau mendengarkan saja."
Lucius mengikutinya, sebagaimana ia terus memasuki hutan lebat, berusaha sebaik mungkin untuk tetap diam.
"Kau datang untuk menyelamatkan Kudamu yang hilang?" Kata Dermian. "Sungguh merupakan upaya yang mulia. Tapi kau buang-buang waktu, kuda itu tidak akan selamat."
Lucius terbelalak.
"Mengapa anda bisa mengetahuinya?"
"Aku tahu dunia yang tidak pernah kau ketahui, nak. Setidaknya belum."
Lucius bertanya-tanya saat ia mendaki dan mengejar Dermian.
"Kau tidak akan mendengarkan, bagaimanapun. Itu adalah sifatmu. Seperti ibumu. Kau akan terus mengejar Kudamu, bertekad untuk menyelamatkannya."
Wajah Lucius memerah karena Dermian membaca pikirannya.
"Kau anak yang penuh semangat," tambahnya. "Berkemauan keras. Terlalu bersemangat. Merupakan prilaku yang positif, namun suatu hari itu akan menjadi sebab penderitaanmu."
Dermian mulai mendaki bukit berlumut, Lucius pun mengikutinya.
"Apakah kau ingin bergabung denga Legiun Raja?" Tanya Dermian.
"Ya!" Jawab Lucius, bersemangat.
"Apakah masih ada kesempatan untuk saya? Bisakah anda mewujudkannya?"
Dermian tertawa, suara yang dalam dan hampa yang mengirimkan rasa dingin ke tulang belakang Lucius.
"Aku tidak bisa membuat apapun, tidak akan ada yang terjadi. Takdirmu sudah tertulis. Tapi itu terserah kau untuk memilihnya."
Lucius tidak mengerti.
Mereka mencapai punggung bukit, dimana Dermian berhenti dan menghadapnya. Lucius berdiri hanya beberapa kaki jauhnya, dan energi Dermian terbakar melaluinya.
"Takdirmu adalah hal yang penting," katanya. "Jangan mengabaikannya."
Mata Lucius terbelalak. Takdirnya? Penting? Dia merasa dirinya melambung dengan bangga.
"Saya tidak mengerti, anda berbicara dengan teka-teki. Tolong beri tahu saya lebih banyak."
Mulut Lucius menganga, ia melihat ke segala arah, mendengarkan, bertanya-tanya, apakah ia hanya melamunkan itu semua? Apakah itu semua hanya khayalan?
Lucius berbalik dan memeriksa hutan; dari sudut pandangnya ini, tinggi di punggung bukit, ia bisa melihat lebih jauh dari sebelumnya. Saat ia melihat, ia melihat gerakan di kejauhan. Ia mendengar suara dan yakin itu adalah kudanya, Blaze.
Ia tersandung menuruni bukit berlumut dan bergegas ke arah suara, kembali melalui hutan. Saat ia pergi, ia tidak bisa melupakan pertemuannya dengan Dermian. Ia hampir tidak bisa membayangkan itu terjadi. Apa yang di lakukan Druid Kerajaan di sini, di tempat terpencil ini? Dia telah menunggunya. Tapi mengapa? Dan apa yang di maksud tentang takdirnya?
Semakin Lucius berusaha menguraikannya, ia semakin tidak mengerti. Dermian telah memperingatkannya untuk tidak melanjutkan upayanya sekaligus menggoda dirinya untuk melakukannya. Sekarang, ia sudah pergi, Lucius merasakan peningkatan rasa pada firasatnya, seperti jika sesuatu yang penting akan terjadi.
Ia berbalik di sebuah tikungan, berhenti kedinginan di pertengahan jalan saat nampak pemandangan di depannya. Semua mimpi terburuknya di kukuhkan dalam satu waktu di satu tempat. Rambutnya berdiri tegak, dan menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar datang sejauh ini ke Malhalla Forest.
Di hadapannya, nyaris tiga puluh langkah jauhnya, adalah Garaghoul. Raksasa, menakutkan, berotot, kuat, berdiri membungkuk, hampir sepertiga besarnya pohon pinus, itu adalah makhluk yang paling di takuti di Malhalla Forest, bahkan mungkin di Kerajaan. Lucius belum pernah melihat salah satunya, namun telah mendengar Legenda tentang itu. Makhluk ini mirip seperti Manusia Serigala, namun lebih besar, lebih lebar, kulitnya yang hitam dalam dan mata merah menyala. Legenda menceritakan bahwa warna merah itu berasal dari darah anak yang tak bersalah.
Lucius telah mendengar tentang beberapa penampakan makhluk ini selama hidupnya, bahkan yang di anggap tak masuk akal. Mungkin itu karena tidak ada yang benar-benar selamat saat bertemu dengan makhluk ini. Beberapa menganggap Garaghoul sebagai Iblis Hutan, dan sebagai sebuah pertanda. Apa arti pertanda itu, Lucius tidak tahu.
Ia mengambil langkah mundur dengan hati-hati.
Garaghoul, rahangnya yang besar setengah terbuka, taringnya meneteskan air liur, menatap kembali dengan mata merah. Di mulutnya kuda Lucius, Blaze: berteriak, menggantung terbalik, setengah tubuhnya tertusuk taring. Kuda itu sudah hampir mati. Garaghoul tampaknya bersenang-senang menghabiskan waktu untuk membunuh; makhluk itu nampak senang menyiksa Blaze.
Lucius tidak tahan mendengar ringkikannya, erangannya. Kuda itu di hentak-hentakan, tak berdaya, dan ia merasa bertanggung jawab.
Dorongan pertama Lucius adalah berbalik dan lari, tapi ia sudah tahu itu akan sia-sia. Walaupun besar, makhluk ini bisa lari lebih cepat dari apapun. Lari hanya akan memancing makhluk itu. Dan dia tidak bisa meninggalkan Kudanya mati seperti itu.
Ia berdiri beku dalam ketakutan, ketakutan yang tak pernah ia rasakan di arena pertarungan. Dan ia tahu ia harus segera bertindak.
Gerakan refleks nya mengambil alih keadaan. Ia perlahan mengulurkan tangannya memegang gagang Pedang di pinggulnya, menghunus pedangnya, dan menempatkannya di kedua genggamannya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil posisi agar berani untuk maju, ia akhirnya maju, berlari ke arah monster itu.
Seperti sedang berada di arena pertarungan. Ia menebaskan pedangnya ke kaki monster itu, seketika ia berguling dan kembali berdiri. Sebuah tebasan yang sempurna mengenai lutut monster itu. Setelah itu, ia menutup kembali pedangnya, dan mengeluarkan blati yang tersisip di kantong pedang miliknya. Tepat pada genggamannya, ia melangkah maju lagi, dan melemparkannya. Blati meluncur melewati udara dan mencapai sasarannya. Sebuah tembakan yang sempurna. Blati itu menghantam, menusuk Blaze pada bola matanya, menembus ke otaknya.
Blaze lemas. Mati. Dengan air mata yang membasahi wajahnya, setidaknya Lucius telah menghindarkannya dari penderitaan. Sungguh Blaze yang malang, seekor kuda yang menemaninya sejak masih kecil kini mati di tangannya sendiri. Akan tetapi Lucius telah melepaskan penderitaan Blaze, Lucius tahu ada tempat terbaik untuk Blaze di Luar Dunia sana.
Garaghoul melotot, marah, karena Lucius telah membunuh mainannya. Makhluk itu perlahan membuka rahangnya yang besar dan menjatuhkan Blaze, yang mendarat dengan berbunyi gedebuk di tanah hutan. Kemudian mengarahkan pandangannya pada Lucius.
Makhluk itu geram, suara yang dalam dan jahat keluar yang bangkit dari perutnya.
Diam-diam Lucius, dengan jantung berdebar, mengambil ancang-ancang, mengambil posisi untuk berlari ke arah Blaze, ia siap untuk berlari.
Garaghoul berlari cepat, bergerak lebih cepat dari apapun yang pernah Lucius lihat selama hidupnya. Lucius maju melawan arah Garaghoul, ia berguling mengolongi Garaghoul, ia memiliki waktu untuk berdiri maka ia segera berlari ke arah Blaze. Ia mencabut Blati itu.
Seketika Garaghoul berbalik ke arah Lucius, ia melompat ke arah Lucius.
Lucius mengambil langkah dan menghunus pedangnya kembali. Ia berbalik dan menusukan pedangnya pada Monster itu. Pedang itu mengenai mata kanannya, karena ia mendarat tepat dengan wajahnya sangat mendekati Lucius. Menjatuhkannya, itu adalah sasaran yang luar biasa, yang akan membuat hewan kecil bertekuk lutut.
Tapi ini bukanlah hewan kecil. Monster itu menjadi tidak dapat di hentikan. Ia menjerit kesakitan, tetapi tidak melambatkan gerakannya. Bahkan tanpa satu mata, bahkan luka tusukan di matanya yang hampir menembus otaknya. Ia terus menyerang Lucius. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Lucius, selain menghindar dan menebaskan pedangnya.
Sesaat kemudian Makhluk itu mengenainya. Itu adalah luka cakar yang besar dan merobek vest kulit miliknya, sehingga melukai bahunya.
Lucius menjerit. Rasanya seperti tiga pisau memotong dagingnya, darah panas memancar langsung dari luka itu.
Monster itu menjatuhkannya ke tanah. Dengan tangannya yang besar. Berat makhluk itu sangat besar, seperti gajah yang berdiri di dadanya. Lucius merasa tulang rusuknya hancur.
Monster itu menolehkan wajahnya, membuka rahangnya yang lebar untuk menunjukan taringnya, dan mulai mengarahkannya ke kepala Lucius.
Saat hal itu dilakukan, beruntung tangan Lucius merentang di kepalanya dengan mencoba meraih pedangnya yang tergeletak. Ia berusaha sekeras mungkin. Lucius hampir tak bisa bertahan. Lengannya mulai berguncang saat taring nya turun lebih rendah. Ia merasakan nafas panas di seluruh wajahnya.
Gemuruh datang jauh dari dalam dada monster itu, membakar telinga Lucius. Ia tahu ia akan mati.
Lucius menutup matanya.
"Tuhan, tolong. Beri aku kekuatan, buat aku bisa melawan makhluk ini. Tolong, aku mohon Pada-Mu. Aku akan melakukan apapun tentang semua perintahmu. Aku hanya bisa melibatkan-Mu dalam segala urusanku. Aku akan berhutang besar Pada-Mu."
Dan kemudian terjadi sesuatu. Lucius merasakan panas yang luar biasa muncul dari dalam tubuhnya, mengalir melalui pembuluh darahnya, seperti medan energi berpacu melaluinya. Ia membuka matanya dan merasakan sesuatu yang membuat nya terkejut: Pedang itu menghampiri genggamannya dan bercahaya, dan saat ia menusukan pedang itu ke tangan Garaghoul, dengan menakjubkan, ia mampu menyamakan kekuatannya dan bertahan.
Lucius terus menusukkannya sembari iya mencoba untuk berdiri. Lucius terus mendorong pedang itu sampai ia benar-benar melepaskan tangannya dari tubuh Lucius. Akhirnya ia mencabut pedang itu dari lengan Garaghoul. Kekuatannya membesar dan ia merasakan semacam meriam energi - sekejap kemudian, monster itu melayang ke belakang, Lucius menusukan pedangnya dengan melemparkan Monster itu dengan pedangnya. Monster itu mendarat di punggungnya.
Lucius berdiri, tidak memahami apa yang terjadi.
Monster itu memperoleh kembali kekuatannya. Kemudian, dengan marah, monster itu kembali menyerang lagi- tapi kali ini Lucius merasa berbeda. Energi yang melaluinya; ia merasa lebih kuat dibandingkan yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Monster itu menghantam Lucius, namun Lucius menahannya. Ia terpental sejauh sepuluh kaki. Saat monster itu melompat ke udara, Lucius berguling ke sisi kanan, seketika ia bangkit dan berlari ke arah Monster, saat monster itu berbalik ke arah Lucius, dengan cepat Lucius melompat mengarah ke dada monster itu, ia berteriak dan menusukan pedangnya pada Monster itu.
Lucius berada di atas tubuh monster itu, dengan pedang yang tertusuk di dada monster. Ia mencabut pedangnya dan turun.
Lucius terbelalak, terkejut, apakah ia baru saja melompat sangat jauh?
Monster itu berkedip dua kali, kemudian menatap Lucius. Monster itu berdiri dan menyerang lagi.
Kali ini, saat monster itu menerkam, Lucius mengenai tepat di Lehernya dengan pedangnya. Mereka berdua jatuh ke tanah, monster berada di atas Lucius. Tapi Lucius bangkit sehingga menggulingkan monster itu hingga sampai di atasnya. Lucius menghimpitnya dengan terus mendorong pedangnya. Menahannya dengan kedua tangannya, ketika monster itu tetap mencoba menengadahkan kepalanya dan mencaplokkan taringnya pada Lucius. Meleset. Lucius merasakan sebuah kekuatan baru, kekuatan itu serasa mengalir ke pedangnya dan tidak membiarkannya pergi. Ia merasakan aliran energi di sekitarnya. Dan segera ia merasa dirinya sendiri dan tidak pergi. Ia merasakan aliran energi melaluinya. Dan dengan segera, dan ia mencabut pedang itu, ia merasakan dirinya dan pedangnya lebih kuat dari Monster itu.
Ia mengambil posisi bagian kiri yang tepat lurus dengan leher Monster itu. Monster itu sudah tak berdaya lagi. Ia mengangkat pedangnya, tanpa sadar ia seakan sangat menguasai kekuatannya. Ia menebaskan pedangnya, sehingga sebuah Cahaya biru terang memanjang dari pedangnya muncul, dan memasung leher monster itu sehingga itu memutuskan kepalanya.
Kepala monster itu putus, sehingga terdengar erangan seperti saat tubuh Blaze tertusuk oleh taringnya. Apakah yang baru saja terjadi? Apakah itu Lucius? Yang baru saja membunuh Garaghoul?
Ia merasa itu adalah sebuah pertanda, hari ini adalah yang terpenting dari semua hari. Ia merasa seolah-olah sesuatu yang penting sudah terjadi. Dia baru saja membunuh Makhluk yang terkenal dan paling di takuti oleh Kerajaannya. Seorang diri. Dengan sebilah pedang dan Blati. Sepertinya tidak nyata. Ia tidak mempercayai atas apa yang ia alami, tapi inilah yang terjadi. Ia telah membunuh Garaghoul. Tidak akan ada yang percaya padanya.
Dia merasa pusing pada Dunia saat ia bertanya-tanya kekuatan apa yang telah berada padanya, apa artinya, siapa dia sebenarnya. Satu-satunya orang yang memiliki kekuatan seperti itu adalah Ksatria Terakhir dari Kerajaan Garda Besi, bisa jadi seorang Druid. Tapi ayahnya bukan Ksatria, ibunya pun bukan seorang Druid, sehingga ia tidak mungkin menjadi salah satunya.
Atau mungkinkah itu?
Ia merasakan seseorang berdiri di belakangnya, Lucius berputar untuk melihat Dermian berdiri disana, mengamati Monster itu.
"Bagaimana anda bisa sampai disini?" Tanya Lucius, takjub.
Dermian mengabaikannya.
"Apakah anda melihat apa yang terjadi." Tanya Lucius, masih tidak percaya. "Saya tidak tahu bagaimana saya melakukannya."
"Tapi kau tahu," jawab Dermian. "Dalam lubuk hatimu, kau tahu. Kau berbeda dengan yang lainnya."
"Itu seperti elemen alam." Kata Lucius. "Seperti kekuatan yang saya tidak tahu bahwa saya memilikinya."
"Medan energi," kata Dermian. "Suatu hari kau akan bisa menggunakannya dengan baik, kau hanya perlu banyak belajar untuk mengendalikannya."
Lucius mencengkram bahunya; rasa sakit itu menyiksa. Ia menunduk dan melihat tangannya berlumuran darah. Dia merasa pusing, khawatir apa yang terjadi jika ia tidak mendapatkan bantuan.
Dermian mengambil tiga langkah maju, mengulurkan tangannya, meraih tangannya Lucius yang lesu, dan menempatkannya dengan kuat pada luka. Ia menahannya disana, menekannya, dan memejamkan mata.
Lucius merasa aliran sensi hangat mengalir melalui lengannya. Dalam hitungan detik, darah lengket di tangannya mengering, dan dia merasa rasa sakitnya memudar.
Dia menunduk dan tidak bisa memahaminya: ia telah sembuh. Yang tersisa hanya tiga bekas luka dimana cakar melukainya - tapi luka itu tertutup dan kelihatan berumur beberapa hari.
Tidak ada darah lagi.
Lucius menatap Dermian dengan takjub.
"Bagaimana anda bisa melakukannya?" Tanyanya. Dermian tersenyum
"Bukan aku, kaulah melakukannya. Aku hanya mengarahkan kekuatanmu."
"Tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk menyembuhkan." Jawab Lucius, tercengang.
"Benarkah?" Kata Dermian.
"Saya tidak mengerti, tidak masuk akal sama sekali." Kata Lucius, semakin tidak sabar.
"Tolong beri tahu saya." Dermian memalingkan muka.
"Beberapa hal yang harus kau pelajari seiring berjalannya waktu."
Lucius memikirkannya.
"Apakah ini artinya saya bisa bergabung dengan Legiun Raja?" Tanyanya, dengan semangat.
"Tentunya jika saya bisa membunuh Garaghoul, maka saya bisa melakukannya sendiri bersama dengan yang lain."
"Tentu saja kau bisa." Jawabnya.
"Tapi mereka menundaku, karena ayahku."
"Ayahmu tidak bisa membunuh monster ini."
Lucius menatapnya, berfikir.
"Karena ayahku melarang mereka untuk membawaku, secara tidak langsung itu menolak mereka."
"Sejak kapan seorang Ksatria memerlukan undangan?" Tanya Dermian. Kata-katanya tenggelam. Lucius merasa tubuhnya menjadi hangat.
"Apakah anda mengatakan bahwa saya hanya harus menunjukkan muka? Tanpa di undang?"
Dermian tersenyum.
"Kau ciptakan takdirmu sendiri. Bukan orang lain."
Lucius berkedip- sekejap kemudian Dermian menghilang. Lagi.
Lucius melihat ke sekeliling, melihat ke semua arah, tapi tidak ada jejaknya.
"Sebelah sini!" Muncul sebuah suara.
Lucius berbalik dan melihat bongkahan batu besar di depannya. Ia merasakan suara itu datang dari atas, dan ia segera memanjat batu besar itu.
Ia mencapai puncak, dan merasa bingung karena tidak melihat tanda-tanda Dermian.
Dari titik pandang ini, bagaimana pun, ia dapat melihat seluruh Malhalla Forest. Ia melihat ujung Malhalla Forest, melihat matahari terbit dalam warna hijau tua, dan jauh disana, jalan yang mengarah ke istana Raja.
"Jalan itu adalah milikmu untuk kau lalui," muncul suara itu. "Jika kau berani."
Lucius berputar tetapi tidak melihat apapun. Itu hanyalah sebuah suara, bergema. Tetapi ia tahu Dermian ada disana, di suatu tempat, menyemangatinya. Dan ia merasa, di lubuk hatinya, bahwa ia benar.
Tanpa ragu sekejap saja, Lucius langsung bergegas menuruni bebatuan dan mulai melewati hutan menuju ke jalan yang jauh disana.
Berlari menuju takdirnya.