Lucius bersembunyi di belakang gerobak berdesakan sepanjang jalan. Ia berhasil menemukan cara untuk menuju ke jalan itu malam sebelumnya dan telah sabar menunggu datangnya sebuah gerobak yang cukup besar baginya untuk naik tanpa diketahui. Saat itu sudah gelap, dan gerobak itu berjalan cukup lambat bagi dirinya untuk menyamakan kecepatan dan naik dari belakang. Ia mendarat di belakang gerobak dan bersembunyi di salah satu kolong yang ada di gerobak itu. Untungnya, sang pengemudi tidak melihatnya dan tidak merasakan goyangan gerobak saat Lucius menaiki gerobaknya. Lucius tidak tahu pasti apakah gerobak itu menuju ke Istana Raja, tapi gerobak itu menuju ke arah itu, dan sebuah gerobak seukuran ini, dan dengan tanda-tanda semacam ini, bisa jadi menuju ke beberapa tempat lain.
Saat Lucius berkendara sepanjang malam, ia tetap terjaga selama beberapa jam, memikirkan pertemuannya dengan Garaghoul. Dengan Dermian. Tentang takdirnya. Bekas rumahnya. Ibunya. Ia merasa bahwa alam semesta telah menjawabnya, berkata padanya bahwa ia mempunyai takdir yang lain. Ia berbaring disana, tangan terlipat di belakang kepalanya, memandangi langit malam melalui kain penutup gerobak yang compang-cmping. Ia mengamati alam semesta, begitu cerah, bintang merah yang sangat jauh berkelap-kelip. Ia gembira. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia melakukan suatu perjalanan. Dia tidak tahu kemana, ia melakukannya. Dengan cara apapun ia akan sampai ke Istana Raja.
Ketika Lucius membuka matanya hari sudah pagi, cahaya menerobos masuk, dan ia sadar gerobaknya akan berhenti. Ia keluar dari kolong dan duduk dengan cepat, mencaci-maki dirinya sendiri karena tertidur. Ia harus lebih waspada- ia beruntung tidak ketahuan.
Gerobak itu masih bergerak, tetapi bergoncang kuat. Yang hanya bisa berarti satu hal: jalan yang dilaluinya lebih baik dari sebelumnya. Mereka pasti mengarah ke sebuah kota. Lucius memandang ke bawah dan melihat seberapa mulus jalan itu, tanpa bebatuan, dan dilapisi dengan warna putih halus. Jantungnya berdetak lebih cepat; mereka mendekati Istana Raja.
Lucius melihat ke belakang gerobak dan sangat bersuka cita. Jalanan rapi penuh dengan aktivitas. Puluhan gerobak dengan berbagai bentuk dan ukuran dan membawa segala macam benda, memenuhi jalan. Satu sarat dengan bulu; lain dengan karpet; sedangkan yang lain dengan ayam. Di antara mereka berjalanlah ratusan pedagang, beberapa ternak utama, yang lain membawa keranjang barang di atas kepala mereka. Empat orang membawa seikat sutra, menyeimbangkan mereka di tiang. Itu semua adalah barisan rakyat, semua mengarah ke satu tujuan.
Lucius merasa gembira. Ia belum pernah melihat banyak orang sekaligus, begitu banyak barang, begitu banyak kehidupan. Ia telah berada di desa kecil sepanjang hidupnya, dan sekarang ia berada dalam sebuah pusat aktivitas, tenggelam dalam umat manusia.
Ia mendengar suara keras, gemerincing rantai, hempasan sepotongan kayu besar, begitu kuat sampai tanah pun bergetar. Beberapa saat terdengar suara yang berbeda, dari kuku kuda yang berketeplak-keteplok pada kayu. Dia menunduk dan menyadari mereka melintasi jembatan; di bawah mereka melewati parit. Sebuah jembatan gantung.
Lucius menyembulkan kepala nya keluar dan melihat pilar batu besar, gerbang besi berduri di atasnya. Mereka sedang melewati Gerbang Raja.
Itu adalah gerbang terbesar yang pernah ia lihat. Ia mendongak menatap tonggak, khawatir seandainya tonggak itu jatuh, tonggak itu akan memotong ia menjadi dua bagian. Ia menemukan empat Kesatuan Perak menjaga pintu masuk, jantungnya berdetak cepat.
Mereka melintasi lorong batu yang panjang, bebedapa saat kemudian langit terbuka lagi. Mereka berada di dalam Istana Raja.
Lucius sulit mempercayainya. Bahkan ada lebih banyak aktivitas disini, tampaki ribuan orang berdesak-desakkan ke semua arah. Hamparan rumput yang luas, di potong dengan sempurna, dan bunga-bunga bermekaran dimana-mana. Jalan melebar, dan di samping itu adalah bilik, pedagang, dan bangunan batu. Dan di tengah-tengah ini, pasukan Raja. Para Prajurit, di hiasi dengan baju zirah. Lucius telah berhasil.
Dalam kegembiraannya, ia tanpa sadar berdiri; saat ia melakukannya, gerobak itu berhenti, membuatnya jatu ke belakang, punggungnya terhempas. Sebelum dia bangkit, terdengar suara kayu di turunkan, ia mendongak melihat seorang pria tua yang marah, botak dengan memiliki jambang yang lebat, berpakaian compang-camping dan cemberut. Kusir gerobak menggapai tangannya, mencengkeram kaki Lucius, dengan tangan yang besar, dan menyeretnya keluar.
Lucius melayang, mendarat dengan keras pada punggungnya di jalan tanah, menimbulkan awan debu. Gelak tawa muncul mengelilinginya.
"Lain kali kau naik gerobak ku, nak. Kau akan di penjara! Beruntung aku tidak memanggil Ksatria Perak sekarang!"
Pria tua itu berbalik dan meludah, ia segera kembali ke gerobaknya dan melucut kuda-kudanya.
Malu. Lucius perlahan memperoleh keberaniannya dan berdiri. Ia memandang ke sekeliling. Satu atau dua orang lewat tertawa kecil, dan Lucius membalasnya dengan cibiran sampai mereka memalingkan muka. Ia membersihkan kotoran dan mengusap lengannya, harga dirinya terluka, tapi bukan tubuhnya.
Semangatnya kembali saat ia melihat ke sekeliling, takjub, dan menyadari bahwa ia seharusnya gembira bahwa paling tidak ia telah berhasil sampai sejauh ini. Sekarang ia bisa melihat ke sekeliling dengan bebas, dan itu adalah pemandangan yang luar biasa: Istana Raja terhampar sejauh mata memandang. Di pusatnya terletak Istana Batu yang menakjubkan, di kelilingi dengan dinding batu yang menjulang dengan puncaknya dinding jembatan, di atasnya, dimana-mana, berpatroli Prajurit Raja. Semua di sekelilingnya adalah lapangan hijau, di pelihara dengan sempurna, bangunan batu, air mancur, rumpun pepohonan. Ini adalah sebuah kota, yang di banjiri dengan manusia.
Dimana-mana mengalir orang- pedagang, prajurit, orang-orang terkemuka- semua orang bergegas. Lucius butuh beberapa menit untuk memahami bahwa sesuatu yang istimewa akan terjadi.
Saat ia berjalan santai bersama, jantungnya berdetak cepat saat melihat di kejauhan, jalur turnamen, dengan jalan tanah yang panjang dan di batasi tali. Di lapangan lain, ia melihat Prajurit melemparkan tombak pada target yang jauh; yang lain, pemanah membidik ke arah jerami. Tampaknya dimana-mana terdapat permainan dan kontes. Ada juga musik: kecapi, seruling dan simbal, sekelompok musisi berkeliaran; dan anggur, tong-tong besar yang di gulirkan; dan makanan, meja sedang di persiapkan. Perjamuan membentang sejauh mata memandang. Seolah-olah ia tiba di tengah perayaan besar.
Saat takjub karena semua ini, Lucius merasakan desakan untuk menemukan Legiun. Ia sudah terlambat, ia harus membuat dirinya di ijinkan untuk bergabung.
Ia menuju orang pertama yang ia lihat, seorang pria tua yang tampak mengenakan celemek bernodakan darah, ia adalah seorang jagal daging, bergegas turun ke jalan. Semua orang di sini terlihat tergesa-gesa.
"Permisi, tuan," katan Lucius, meraih tangannya.
Pria itu menatap tangan Lucius dengan sikap meremehkan.
"Ada apa, nak?"
"Saya sedang mencari Legiun Raja. Apakah anda tahu dimana mereka berlatih?"
"Apakah aku terlihat seperti peta?" Pria itu mendesis, dan bergegas pergi.
Lucius terkejut dengan kekasarannya. Ia segera menuju ke orang yang berikutnya yang ia lihat, seorang wanita yang menguleni adonan di sebuah meja panjang. Ada bebedapa wanita di meja ini, semuanya berkerja keras, dan Lucius menduga bahwa salah satu dari mereka pasti mentahuinya.
"Permisi nona," katanya. "Apakah kalian tahu dimana Legiun Raja berlatih?"
Mereka melihat satu sama lain dan tersenyum kecil, beberapa dari mereka lebih tua sekian tahun darinya. Yang tertua berbalik dan menatapnya.
"Kamu mencari di tempat yang salah," katanya. "Disini kami menyiapkan untuk perayaan."
"Tapi saya diberitahu bahwa mereka berlatih di Istana Raja," kata Lucius, bingung.
Wanita-wanita itu tergelak lagi. Yang tertua meletakkan tangannya di pinggul menggelengkan kepala.
"Kamu bertingkah seperti ini adalah pertama kalinya di Istana Raja. Apakah kamu tidak mengetahui seberapa luasnya Istana Raja itu?"
Lucius memerah saat wanita lain tertawa, maka akhirnya ia bergegas pergi. Dia tidak suka di olok-olok.
Ia melihat didepannya selusin jalan, memutar dan berbelok setiap jalan melalui Istana Raja. Di antara tembok batu terdapat paling tidak lusinan pintu masuk. Ukuran dan cakupan tempat ini membingungkan. Ia terbenam perasaan bahwa ia bisa mencari selama berhari-hari dan masih belum menenukannya.
Sebuah gagasan muncul: seorang Prajurit pasti mengetahui dimana mereka dan yang lainnya dilatih. Ia gugup untuk menghampiri si prajurit, tapi sadar ia harus melakukannya.
Ia berbalik dan bergegas menuju ke tembok, menuju prajurit yang berjaga di pintu terdekat, berharap ia tidak melemparkannnya. Prajurit itu berdiri tegak dan menatap lurus ke depan.
"Saya mencari Legiun Raja," kata Lucius, mengerahkan suaranya yang paling berani.
Prajurit itu terus menatap lurus ke depan, mengabaikannya.
"Saya bilang saya mencari Legiun Raja." Lucius bersikeras, lebih nyaring, bertekad untuk di ketahui.
Setelah beberapa detik, prajurit itu melirik ke bawah.
"Dapatkah anda memberi tahu saya dimanakah mereka?" tekan Lucius.
"Dan ada urusan apa kau dengan mereka?"
"Urusan yang sangat penting." Lucius mendesak, berharap prajurit itu tidak akan menekan dia.
Tentara itu berbalik kembali dan menatap lurus ke depan, mengabaikannya lagi. Lucius merasa hatinya tenggelam, ia khawatir tidak akan mendapatkan jawaban.
Tapi setelah apa yang terasa seperti keabadian, pajurit itu menjawab: "Ambil gerbang timur, lalu ke utara sejauh mungkin. Ambil gerbang ke tiga di sebelah kiri, kemudian belok kanan, dan belok kanan lagi. Lintasi lengkungan batu kedua, dan tanah yang berada di luar pintu gerbang. Tapi aku katakan padamu, kau membuang-buang waktumu. Mereka tidak menghibur pengunjung."
Itu adalah semua yang harus Lucius dengar. Tanpa ragu lagi, ia berbalik dan berlari melintasi lapangan, mengikuti petunjung, mengulanginya di kepalanya, mencoba untuk menghafalkannya. Dia menyadari matahari tinggi di langit, dan hanya berdo'a bahwa ketika ia tiba. Itu tidak akan terlalu terlambat.
*
Lucius berlari menurunu jalur yang rapi, berlapis cangkang, memutar dan berbelok-belok menuju Istana Raja. Dia mencoba yang terbaik mengikuti petunjuk, berharap ia tidak disesatkan. Di ujung halaman, ia melihat semua gerbang, dan ia memilih gerbang ketiga di sebelah kiri. Ia berlari melewatinya kemudian diikuti oleh belokan, memutar dari jalan ke jalan. Ia berlari melawan arus lalu lintas, ribuan orang mengalir ke kota, kerumunan tumbuh lebih padat dari menit ke menit. Ia bersentuhan bahu dengan pemain kecapi, akrobat, pelawak, dan segala macam penghibur, semua orang mengenakan riasan.
Lucius tidak memikirkan gagasan bahwa pemilihan dimulai tanpanya, dan mencoba yang terbaik untuk berkonsentrasi dari jalan ke jalan, mencari tanda apapun tentang lapangan pelatihan. Ia melewati sebuah lengkungan, berbelok ke jalan lain, dan kemudian, jauh disana, menemukan apa yang mungkin menjadi tujuannya: sebuah koloseum, di bangun dari batuan dalam lingkaran yang sempurna. Para Prajurit menjaga gerbang raksasa di pusatnya. Lucius mendengar redaman sorak-sorai di belakang temboknya, mengingat dirinya saat akan bertarung di dalam Arena Pertarungan saat itu, namun tempat ini lain lagi. Jantungnya berdegup semakin cepat. Ini adalah tempat perubahan bagi takdirnya.
Ia berlari, paru-parunya serasa meledak. Saat ia sampai di depan pintu gerbang, dua penjaga melangkah maju dan menurunkan tombak mereka, membatasi jalan. Seorang penjaga ketiga melangkah maju dan mengangkat telapak tangannya.
"Berhenti disana," perintahnya.
Lucius berhenti, terengah-engah, hampir tak bisa menahan kegembiraannya.
"Anda... Tidak... Mengerti..." Ia mendesah, kata-kata berhamburan keluar dari sela nafasnya.
"Saya harus masuk, saya terlambat."
"Terlambat untuk apa?"
"Pemilihan."
Penjaga, seorang pria bertubuh pendek dengan kulit bopeng, berbalik dan memandang yang lain, melihat kembali dengan sinis. Dia berbalik dan mengamati Lucius dengan tampilan meremehkan.
"Para anggota telah di bawa dalam beberapa jam, dalam transportasi kerajaan. Jika kau tidak di undang, kau tidak bisa masuk."
"Tapi anda tidak mengerti, saya harus-"
Penjaga itu mengulurkan tangan dan meraih baju Lucius.
"Kau tidak mengerti, kau pemuda yang kurang ajar! Beraninya kau datang kemari dan memaksa untuk masuk? Sekarang pergi- sebelum aku mengurungmu."
Ia mendorong Lucius, yang tersandung ke belakang beberapa meter.
Lucius merasakan sengatan di dadanya dimana tangan Penjaga telah menyentuhnya- lebih dari itu, ia merasakan sengatan penolakkan. Ia marah. Dia tidak datang jauh-jauh untuk berbalik pergi oleh penjaga tanpa terlihat. Ia bertekad untuk membuatnya masuk.
Penjaga itu berpaling kembali pada anak buahnya, dan Lucius perlahan berjalan pergi, menuju searah jarum jam di sekitar gedung bundar, terdengar suara seperti sebuah cibiran. "Hey pedang yang bagus, nak." Lucius tidak memperdulikannya. Ia punya rencana. Ia berjalan sampai ia hilang dari pandangan, kemudian masuk dengan berlari kecil, merayap berjalan sepanjang dinding. Ia memeriksa untuk memastikan penjaga tidak melihat, lalu mengambil kecepatan hingga ia berlari. Ketika ia berada di belahan gedung ia melihat pembukaan lain ke dalam arena- tinggi pada jalan masuk melengkung pada batu, di halangi jeruji besi. Dan ada salah satu lubang yang tidak ada jerujinya. Ia mendengar teriakan lain, ia naik ke atas langkan, dan melihat.
Jantungnya berdebar cepat. Tersebar di dalam empat pelatihan melingkar dan besar, itu semua adalah puluhan calon- termasuk para pemuda di desanya. Berbaris, mereka semua menghadapi selusin Kesatuan Perak. Prajurit Raja berjalan di tengah-tengah mereka, menghitung mereka.
Kelompok rekrutan lain berdiri ke samping, dibawah pengawasan seorang prajurit, melemparkan tombak pada target yang jauh. Salah satunya meleset.
Pembuluh darah Lucius terbakar dengan kemarahan. Ia bisa mengenai sasaran itu; dia sama baiknya seperti salah satu dari mereka. Hanya saja ia tidak berada disana, tidak adil baginya jika mereka tidak memilihnya.
Tiba-tiba, Lucius merasakan tangan di punggungnya, ia tersentak dan di lempar ke belakang. Ia mendarat keras di tanah, di bawah, kehabisan nafas.
Ia mendongak melihat penjaga dari gerbang, mencibir ke arahnya.
"Apa yang tadi ku katakan, nak?"
Sebelum ia bisa bereaksi, penjaga itu mundur dan menendang Lucius keras. Lucius merasakan dentuman tajam dalam tulang rusuknya, karena penjaga akhirnya menendang lagi.
Kali ini, Lucius menangkap kaki penjaga di udara; ia menariknya, menjatuhkannya dan kehilangan keseimbangan hingga membuatnya terjatuh.
Lucius cepat mendapatkan kakinya. Pada saat yang sama, penjaga berdiri kembali. Lucius menatapnya, terkejut dengan apa yang baru saja di lakukannya. Di depannya, penjaga melotot.
"Aku bukan hanya akan mengurungmu," penjaga mendesis, "tapi aku akan membuatmu membayar perbuatanmu. Tidak ada yang boleh menyentuh Pengawal Raja! Lupakan tentang bergabung dengan Legiun- sekarang kau akan berkubang jauh di ruang bawah tanah! Kau akan beruntung jika kau bisa merasakan udara lagi!"
Pengawal itu mengeluarkan rantai dengan belenggu di ujungnya. Dia mendekati Lucius, dendam di wajahnya.
Pikiran Lucius berpacu. Dia tidak bisa membuat dirinya di belenggu- namun ia tidak ingin menyakiti anggota dari pengawal Raja. Dia harus memikirkan sesuatu dan harus secepatnya.
Dia melihat batu. Refleksnya mengambil alih saat ia meraihnya, di genggamannya batu, dibidikannya, dan membiarkannya terbang.
Batu melegit lewat udara dan menghempaskan belenggu dari genggaman pengawal hingga teregun; itu juga mengenai jari-jari si penjaga. Penjaga itu menarik kembali tangannya berteriak kesakitan, belenggu itu terjatuh ke tanah.
Pengawal itu, memberikan Lucius pandangan kematian, menghunus pedangnya. Terdengar suara cincin logam berdenting.
"Ini adalah kesalahanmu yang terakhir," ia mengancam, dan menyerang.
Lucius tidak punya pilihan; pria ini tidak akan membiarkannya. Ia terpaksa menghunus pedangnya juga dan menangkis serangan si Penjaga, kemudian ia melangkah beralih ke belakangnya dan menendang punggung penjaga itu, hingga membuatnya tersungkur. Ia sengaja melakukannya- ia tidak ingin membunuh si penjaga, tapi ia harus menghentikannya. Jadi sebagai ganti menusukan pedangnya ke jantungnya, memasung kepalanya, atau merobek punggungnya, Lucius membuat suatu teknik bergulat yang ia tahu akan menghentikannya, bukan membunuhnya.
Lucius meletakkan pedangnya. Kemudian dia menendang pedang pengawal itu dari genggamannya. Ia meraih tubuhnya dari belakang dan membantingkannya melalui udara. Ia berhasil merobohkannya.
Itu adalah teknik gulat yang luar biasa. Pengawal itu terhempas, terbanting, lalu ambruk di tanah dan meringkuk seperti bola.
"Kau akan di gantung atas hal ini!" Ia mengerang ditengah-tengah nafas yang sesak. Rasa Sakit.
"Pengawal-pengawal!"
Lucius menengadah dan di kejauhan melihat beberapa pengawal Raja mengejarnya.
Sekarang atau tidak sama sekali. Tanpa membuang waktu lagi, ia mengambil pedangnya dan berlari ke kusen jendela. Ia harus melompat melaluinya, kedalam arena, dan membuat dirinya di terima di Legiun. Dia akan melawan siapa saja yang menghalangi dirinya.