Chapter 3 - Bab 3

Raja Castiller - tambun, berdada lurus, dengan jenggot kelabu dan rambut berwarna sama, dan dahi lebar yang bergaris akibat peperangan - berdiri di bagian paling atas dari kastilnya, sang Ratu di sampingnya memandangi perayaan yang baru dimulai di bawah. Halaman istana terserak dibawahnya dengan semua kejayaan, melebar sejauh mata memandang, sebuah kota makmur dengan dikelilingi benteng batu kuno. Lapangan Istana terhubung dengan sebuah jalan berliku di tengah bangunan batu dengan berbagai bentuk dan ukuran - untuk para Ksatria, pejabat istana, kuda-kuda, Kesatuan Perak, Legiun, para pengawal, barak-barak, tempat pembuatan senjata, gudang senjata - dan di antaranya terdapat ratusan hunian untuk rakyatnya yang memilih tinggal di dinding kota. Di antara bentangan jalan rerumputan, taman istana, gedung-gedung batu mengalirlah sebuah sungai. Lapangan istana telah mengalami perubahan selama berabad-abad, baik yang dilakukan oleh ayahnya, maupun ayah dari ayahnya- dan kini Lapangan itu menampakan keagungannya. Tak di ragukan lagi, tempat itu adalah benteng terkuat dalam Kerajaan Garda Besi Barat. Raja Castiller kini sedang mendapat berkah berupa para Ksatria dan paling setia yang pernah dimiliki raja manapun, tak seorang pun berani melakukan penyerangan. Castiller ke-tujuh yang memegang tampuk kekuasaan selama 35 tahun telah memerintah dengan adil dan bijaksana. Kerajaan itu juga menjadi lebih makmur dibawah kepemimpinannya. Ia telah melipat gandakan jumlah prajurit Kerajaan, memperluas wilayah kota, memberikan hadiah pada rakyatnya dan tak sebuah keluhan pun yang ditemukan dari mereka. Ia dikenal sebagai seorang Raja yang murah hati, dan tak pernah terjadi sebuah masa kedermawanan dan kedamaian sebelum ia naik tahta.

Hal inilah yang membuat Raja Castiller terjaga sepanjang malam. Sepanjang pengetahuannya tak pernah terjadi periode tanpa perang terlalu lama dalam sejarah. Ia tak akan terlalu terkejut jika suatu saat terjadi serangan- yang entah kapan. Dan entah siapa yang melakukannya.

Ancaman terbesar, tentu saja, berasal dari luar Garda Besi, dari sebuah Kekaisaran biadab yang memerintah daerah belantara terpencil, yang telah menaklukkan banyak orang di luar wilayah Garda Besi, di balik Ngarai. Bagi Raja Castiller dan tujuh generasi sebelumnya, orang-orang belantara belum pernah melancarkan ancaman secara langsung, ini Kerajaan Castiller memiliki bentang geografis yang unik, terbentuk dalam sebuah lingkaran cincin yang sempurna, dan terlindung oleh sebuah perisai energi aktif sejak Castiller memerintah untuk pertama kalinya, mereka tidak terlalu takut pada orang-orang belantara. Orang-orang biadab itu telah mencoba beberapa kali untuk menyerang, merusak lapisan pelindung, menyeberangi ngarai; tak satupun yang berhasil. Selama ia bersama keluarganya tinggal di dalam cincin, mereka akan selamat dari ancaman pihak luar.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada ancaman di dalam wilayah Garda Besi. Dan inilah yang membuat Raja Castiller selalu terjaga hingga larut malam. Tujuan dari perayaan di hari itu adalah perayaan ke 35 tahun Castiller ketujuh menjabat. Sebuah perayaan yang di atur untuk menenangkan musuh-musuhnya; untuk memperkuat tali perdamaian yang merapuh antara Kerajaan Galheim dari wilayah Cincin di bagian Timur dan Kerajaan Castiller dari wilayah Garda Besi di bagian Barat.

Garda Besi terbentang sepanjang lima mil ke segala arah dan di pisahkan oleh sebuah pegunungan di tengah-tengahnya. Di bagian lain pegunungan berdirilah Kerajaan Galheim dari Cincin Timur yang memerintah sebagian wilayah Cincin lainnya. Dan kerajaan ini di perintah selama berabad abad oleh Rival mereka, klan Galheim, yang selalu mengacaukan gencatan senjata rapuh dengan klan Castiller. Klan Galheim tidak puas dengan wilayah mereka dan berargumen bahwa kerajaan mereka telah menempati wilayah yang kurang subur. Mereka menduduki wilayah Pegunungan, bersikeras bahwa wilayah itu adalah milik mereka, padahal separuhnya adalah milik klan Castiller. Ada pertempuran abadi di daerah perbatasan dan ancaman invasi yang tak kunjung padam.

Castiller merasa kesal ketika memikirkan semua itu. Klan Galheim seharusnya berbahagia; mereka aman di dalam cincin, terlindung oleh ngarai, mereka menduduki tanah yang terpilih dan tak ada sesuatu pun yang perlu ditakutkan. Mengapa mereka tidak puas dengan wilayah mereka sendiri? Hanya karena Castiller memperkuat angkatan perangnya, maka untuk pertama kali dalam sejarah klan Galheim tidak berani menyerang. Namun Castiller adalah raja yang bijaksana dan ia mencium suatu gelagat, ia tahu perdamaian ini bisa jadi tak bertahan lama. Oleh karena itu ia mengatur undangan dan fasilitas untuk Klan Galheim. Dan hari inilah saatnya.

Ketika melihat kebawah, ia melihat banyak orang yang mengenakan tunik berwarna terang, mengisi tiap sudut Kerjaan di dua pegunungan. Hampir seisi Garda Besi memenuhi bentengnya. Para anak buahnya telah menyiapkan selama berbulan-bulan dan mereka di perintahkan untuk membuat semuanya tampak layak dan kuat. Ini bukan hanya sekedar perayaan; ini adalah sebuah cara untuk mengirimkan pesan pada klan Galheim.

Raja Castiller memeriksa ratusan tentara yang berjaga di titik-titik strategis dalam benteng, di jalanan di sepanjang dinding, ada banyak prajurit lebih dari yang ia butuhkan- dan ia merasa puas. Ini adalah pertunjukkan kekuatan yang ia inginkan. Namun ia juga merasa berada di ujung tanduk; lingkungan sekitar telah di kendalikan, bersiap untuk sebuah perkelahian. Ia berharap tak ada pemberang yang mabuk dan mangacau dari kedua belah pihak.

Ia menelusuri arena duel, lapangan bermain dan hari yang telah dinanti telah tiba bersama aneka permainan, duel dan semua jenis keriangan. Mereka akan sangat sibuk. Klan Galheim akan datang bersama sekelompok kecil tentara. Setiap duel, gulat, dan lomba bisa memancing sesuatu. Satu kesalahan kecil bisa mengakibatkan pertempuran.

"Baginda?"

Ia merasakan tangan yang lembut menyentuhnya dan membalikkan tubuhnya untuk memandang sang Ratu, Alleanor, yang masih menjadi wanita tercantik yang pernah ia kenal. Pernikahan mereka yang bahagia berlangsung seiring dengan masa pemerintahannya. Ratu Alleanor telah memberi sang Raja lima orang anak, tiga di antara mereka laki-laki, dan tidak sekali pun mengeluh. Bahkan ia telah menjadi konsultan Raja yang terpercaya. Tahun demi tahun berlalu, dan Sang Raja lambat laun mengetahui bahwa Ratunya lebih bijaksana dari semua orang kepercayaannya, bahkan lebih bijaksana daripada dirinya sendiri.

"Hari ini adalah hari yang terberkati," katanya. "Namun hari ini adalah hari jadi mu juga, hari jadi Castiller ketujuh. Cobalah untuk menikmatinya, karena hari ini tidak akan terjadi untuk yang kedua kalinya."

"Aku khawatir ketika aku tak memiliki apa-apa," jawab Baginda. "Kini kita memiliki segalanya, dan semua itu membuatku khawatir. Kita memang aman. Tapi aku merasa tidak aman."

Sang Ratu memandangnya dengan mata kasih, lebar dan berwarna hijau gelap, yang seakan menggenggam kasih sayang dunia. Kelopak matanya menunduk seperti biasanya, tampak seperti sedang mengantuk, dan terbingkai dalam rambut lurus berwarna coklatnya yang indah dan jatuh di kedua sisi wajahnya.

"Itu karena kau tak merasa aman," kata sang Ratu. "Tak seorang raja pun merasa aman. Ada banyak mata-mata kita diluar sana daripada yang kau tahu. Dan demikianlah seharusnya."

Ia mendekat dan mencium sang Raja, lalu tersenyum

"Cobalah untuk menikmatinya," ujarnya. "Lagi pula ini sebuah perayaan."

Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi tempat itu.

Sang Raja memandangi Ratunya yang pergi, lalu kembali memperhatikan Istana. Ia benar, ia selalu benar. Ia memang ingin menikmatinya. Ia mencintai Kerajaannya, dan saat ini adalah hari jadinya, hari ini adalah hari kehormatan di sebuah tahun yang indah, hari puncak musim semi dengan senja musim panas. Matahari yang sempurna di langit dan angin sepoi-sepoi yang bergerak perlahan. Semuanya sedang bersemi dengan sepenuhnya, pepohonan dimana-mana tertutupi lapisan berwarna merah jambu, ungu, jingga dan putih. Tidak ada yang ingin ia lakukan selain turun dan duduk bersama anak buahnya, melihat putrinya dan meneguk bir hingga ia tak sanggup lagi meminumnya.

Tapi ia tidak bisa. Masih ada banyak kewajiban yang harus ia lakukan sebelum ia dapat beranjak dari kastilnya. Perayaan ini tidak bisa membuatnya bersantai: ia harus menemui dewan Kerajaan; menghabiskan waktu bersama anak-anaknya yang lain; serta menemui beberapa orang yang berhak bertemu dengan Raja mereka pada hari ini. Ia sangat beruntung jika ia dapat meninggalkan kastil saat dimulainya upacara matahari terbenam.

*

Raja Castiller mengenakan busana terbaiknya, celana beludru, ikat pinggang emas, jubah kerajaan yang terbuat dari sutra terbaik berwarna merah tua dan emas, sebuah mantel putih, sepatu boots yang berkilau hingga betisnya, dan mengenakan mahkotanya- sebuah lingkaran emas berornamen dengan sebuah batu ruby besar di tengahnya- melangkah turun ke bagian tengan ruangan, diapit oleh para pengawal. Ia berjalan menyusuri ruangan demi ruangan, melangkahi jembatan, mengambil jalan pintas menuju balairung istana, melalui sebuah ruangan dengan langit-langit tinggi melengkung dan dihiasi deretan kaca bercorak. Akhirnya ia sampai di sebuah pintu yang terbuat dari kayu oak tua setebal batang pohonnya dan para pengawal membukanya agar ia dapat melangkahkan kaki ke dalam. Ruang Singgasana.

Para penasehatnya berdiri ketika raja Castiller memasuki ruangan, pintu ditutup dengan bunyi berdebam di belakangnya.

"Duduklah," ujarnya, terdengar lebih keras dari biasanya. Hanya di hari ini ia merasa lelah menghadami formalitas Kerajaan yang abadi, dan ia ingin mengakhirinya.

Ia segera melangkah menyebrangi Tuang Singgasana yang tak pernah berhenti membuatnya terkesan. Langit-langitnya membumbung tingga hingga lima puluh kaki dengan salah satu dinding yang terbuat dari batu yang tebal. Ruangan itu bisa menampung ratusan pejabat istana. Namun pada hari seperti saat ini, pada hari ketika ia dan dewan istana bersidang, hanya ada dirinya dan sejumlah penasehat yang duduk secara melingkar. Ruangan itu dilengkapi dengan sebuah meja lebar yang berbentuk setengah lingkaran, dimana para penasehat duduk di belakangnya.

Ia melangkah ke muka, langsung ke bagian tengah dimana Singgasananya berada. Ia melangkah di atas anak tangga batu, melewati ukiran singa emas dan duduk di singgasana yang dihiasi bantalan beludru bergaris merah yang semuanya di tempa sempurna dengan emas. Ayahnya dulu duduk di singgasana ini, juga ayah dari ayahnya, dan semua Castiller sebelum dirinya. Raja Castiller merasakan semua beban pendahulunya- semua generasi- ketika ia duduk di singgasana itu.

Ia mengamati para hadirin. Ada Roderick, jendral terbaiknya dan sekaligus penasehat dalam hal militer; Gareth, jendral Legiun pemuda; Albertus, yang tertua diantara semuanya, seorang cendikiawan dan ahli sejarah, seorang penasehat untuk para raja dari tiga generasi; Derek, penasehat raja dalam hal Internal istana, seorang bertubuh kurus dengan rambut botak, dan kacamata bulat yang terselip di batang hidungnya. Derek bukanlah orang kepercayaan Castiller, dan Sang Raja pun tidak pernah mengerti jabatannya. Namun ayah dan kakeknya memperkerjakan seorang penasehat untuk urusan istana, jadi ia mempertahankan posisi itu untuk menghargai para pendahulunya. Ada juga, Owen, bendahara Raja; Randall, penasehat untuk urusan luar Kerajaan; Harold, pengumpul pajak; Dwayne, penghubungnya dengan rakyat; dan Jeff, wakil dari para Bangsawan.

Tentu saja, Raja memegang kekuasaan sepenuhnya. Namun, kerajaannya adalah kerajaan liberal, dan para pendahulunya memperbolehkan para bangsawan berpendapat tentang apa saja melalui wakil mereka. Secara historis, ada ketidakseimbangan antara Raja dan Bangsawan. Kini hubungannya memang harmonis, namun ada kalanya pertentangan dan pemberontakkan bersenjata antara para Bangsawan dengan Kerajaan. Secara keseluruhan, hubungan mereka baik-baik saja.

Raja Castiller memandang ke sekeliling ruangan dan tahu bahwa ada seseorang yang tak hadir disitu: ia adalah satu-satunya orang yang ingin ia ajak bicara- Dermian. Sebagaimana biasanya, tempat dan waktu kemunculannya tak pernah di duga. Sebagaimana cara gaib Penyihir pada umumnya. Tanpa kehadirannya, Castiller segera ingin menyelsaikan sidang. Dengan demikian ia bisa menyelsaikan puluhan hal lain yang menantinya di pesta pernikahan.

Kelompok penasehat duduk menghadapnya di meja setengah lingkaran, menyebar dengan jarak sepuluh kaki, masing-masing duduk di Kursi Oak tua dengan pegangan kayu berukir.

"Tuanku, perkenankan saya untuk memulainya." Cetus Owen.

"Ya, dan cepatlah. Hari ini waktuku tidak banyak."

"Istana telah mengirim banyak sekali hadiah hari ini, dan menerima beberapa hadiah juga, yang kami kira dapat memenuhi peti simpanan Kerajaan. Ribuan orang membayar upeti, memberikan hadiah secara pribadi, dan memadati rumah bordil dan kedai kami, yang mana akan memenuhi peti simpanan kami juga. Dan karena perayaan hari ini menguras sebagian besar harta kerajaan, saya mengusulkan kenaikan pajak bagi rakyat dan bangsawan. Suatu pajak yang di pungut sekali ini saja untuk meringankan tekanan akibat penyelenggaraan perayaan agung ini."

Raja Castiller melihat suatu keprihatinan di wajah pemungut pajaknya, dan dadanya nyeri begitu memikirkan menipisnya keuangan kerajaan. Tapi ia tak ingin memungut pajak apapun.

"Lebih baik kita memiliki sedikit harta dan rakyat yang setia," jawab Raja Castiller. "Kekayaan kita datang bersama dengan kebahagiaan rakyat. Sebaiknya kita tak memungut pajak apapun lagi."

"Tapi tuanku, jika kita tidak-"

"Itu keputusanku. Ada yang lain?"

Owen menyandarkan punggungnya, kecewa.

"Baginda," ujar Roderick dengan suara berat. "Atas perintahmu, kami telah menyiapkan pasukan di halaman kerajaan untuk perayaan ini. Pawai Militer mungkin akan menarik. Tapi penyebaran pasukan menjadi menyempit. Jika ada serangan di suatu tempat dalam kerajaan ini, kita akan menjadi mudah ditaklukkan."

Raja Castiller mengangguk, merenunginya.

"Musuh kita tak akan menyerang kalau kita memberi mereka makan."

Hadirin tertawa.

"Apakabar perenungan?"

"Tak ada aktifitas berarti selama berminggu-minggu. Nampaknya pasukan mereka telah ditarik dalam rangka pernikahan, mungkin mereka siap berdamai." Castiller merasa tak yakin.

"Itu juga bisa berarti bahwa rencana di balik perayaan ini berhasil, atau mereka menanti saat untuk menyerang kita lain waktu. Yang mana menurutmu, Pak Tua?" Castiller bertanya pada Albertus.

Albertus berdehem, suaranya terdengar serak: "Tuanku, ayah Anda dan para pendahulunya tidak percaya pada Klan Galheim. Hanya karena mereka beristirahat, bukan berarti mereka tidak akan terbangun."

Castiller mengangguk, dan mengapresiasi pendapat itu.

"Dan bagaimana dengan Legiun?" Ia bertanya pada Gareth.

"Hari ini kami kedatangan rekrutan baru," jawab Gareth sambil mengangguk cepat.

"Apakah anak lelakiku ada di antara mereka?"

Tanya Castiller

"Ia berdiri dengan bangga bersama dengan yang lainnya, dan ia tampak sempurna."

Castiller mengangguk, lalu beralih ke Randall.

"Apa yang terjadi, dan bagaimana berita di balik ngarai?"

"Tuanku, saat patroli kami melihat ada beberapa pergerakan di dekat jembatan ngarai dalam beberapa hari mungkin satu minggu terakhir. Mungkin itu pertanda kaum liar sedang bersiap untuk sebuah serangan. Bahkan bisa jadi klan Galheim mengutus mereka semua."

Para hadirin berbisik-bisik gelisah. Raja Castiller merasa dadanya lebih sesak daripada yang ia kira. Perisai energi memang tidak tampak, namun perisai itu sedang tidak berfungsi sebagaimana biasanya.

"Dan bagaimana jika terjadi serangan berkekuatan besar?" Tanyanya.

"Kita tak perlu takut terhadap apapun selama lapisan pelindung aktif. Kaum Liar tidak pernah berhasil menerobos ngarai selama berabad-abad. Tak ada alasan untuk berpikir sebaliknya."

Raja Castiller tidak terlalu yakin. Serangan dari luar telah lama berlalu, dan kemungkinan apa saja bisa terjadi, perasaan yang membuat sebuah pertanda yang tidak bisa ia pahami.

"Tuanku," Derek berkata dengan suara sengau. "Saya wajib mengingatkan bahwa hari ini kerajaan kita dipenuhi banyak pejabat dari Kerajaan Galheim. Akan menjadi sebuah hinaan jika Anda tak berusaha menyenangkan hati mereka, baik musuh maupun bukan. Saya menganjurkan Anda untuk menghabiskan sore Anda dengan berbincang-bincang bersama mereka. Mereka membawa rombongan besar, banyak hadiah- dan pendeknya, banyak mata-mata."

"Siapa bilang mata-mata itu tidak ada disini?" Castiller balik bertanya, menatap Derek waspada- dan bertanya-tanya, sebagaimana biasanya, bagaimana jika mata-mata itu adalah penasehatnya sendiri.

Derek membuka mulutnya untuk menjawab, namun Castiller membuang nafas dan mengangkat tangannya, menyudahi pertemuan itu. "Jika tak ada yang lain, aku akan pergi sekarang untuk menghabiskan waktuku bersama anak-anakku."

"Tuanku," kata Jeff, sambil berdehem, "tentu saja ada hal lainnya, sesuai tradisi, raja mengumumkan nama calon penggatinya pada hari jadi kepemimpinannya. Rakyat berharap anda juga melakukannya. Mereka telah membicarakan hal ini, dan sangat tidak bijaksana jika mengecewakan mereka. Apalagi karena Pedang Takdir masih belum bergerak."

"Apakah kau hendak mengajukan nama pewaris takhta sekarang ketika aku masih sanggup memerintah?" Tanya Castiller.

"Tuanku, saya tidak bermaksud demikian." Jeff berkata terbata-bata, tampak khawatir.

Castiller mengangkat tangannya.

"Aku tahu tradisi itu. Dan memang aku akan mengumumkan nama penerusku hari ini."

"Dapatkah anda beritahu siapa orangnya?" Tanya Derek.

Castiller memandangnya dengan tajam, merasa tersinggung. Derek tukang gosip, dan ia tak mempercayai orang ini.

"Kau akan tahu nanti."

Castiller berdiri, diikuti para hadirin. Mereka membungkuk, membalikkan tubuh dan bergegas meninggalkan ruangan.

Sang Raja berdiri sendiri dan merenung cukup lama. Pada hari-hari seperti ini ia berharap dirinya bukan seorang raja.

*

Castiller melangkah turun dari singgasananya, sepatu boot nya bergema dalam keheningan dan melintasi ruangan. Ia membuka sebuah pintu dari kayu oak, menarik sebuah pegangan besi dan memasuki sebuah ruangan kecil.

Ia menikmati ketenangan dan kesunyian dalam ruangan nyaman itu, seperti yang biasanya ia rasakan. Dinding ruangan itu melebar dua puluh langkah ke segala arah dengan langit-langit yang melengkung tajam. Ruangan itu seluruhnya terbuat dari batu dengan sebuah jendela kaca bulat di salah satu dindingnya. Cahaya menerobos ke dalam berpendar kekuningan dan kemerahan, menyinari sebuah benda di sisi lain ruangan.

Sword of Fate (Pedang Takdir).

Disitulah Pedang itu berada, dibagian tengah ruangan. Terbaring di atas sebuah dudukan besi, seperti seorang gadis penggoda. Sebagaimana yang ia lakukan sejak masih kanak-kanak,  Castiller  berjalan mendekatinya, mengitarinya, memperhatikannya. Pedang Takdir. Pedang Legenda, sumber segala keperkasaan dan kekuatan Kerajaannya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Siapapun yang mampu menghunus Pedang Takdir akan menjadi yang terpilih, seseorang yang di takdirkan untuk melindungi Garda Besi, memimpin Garda Besi selama hidupnya, seseorang yang membebaskan Kerajaan dari semua ancaman, baik dari dalam maupun dari luar Garda Besi, sesuai ramalan. Legenda yang menakjubkan itu menyertainya hingga dewasa, dan beberapa saat ia di nobatkan sebagai raja,  Castiller  mencoba mengangkat pedang itu, karena hanya orang keturunan Castiller yang diperbolehkan menghunus pedang itu. Ia yakin ia bisa. Ia yakin akan menjadi Yang Terpilih.

Akan tetapi ia gagal. Sama seperti semua Raja Castiller sebelumnya. Dan kegagalan itu menodai kepemimpinannya hingga saat ini.

Ia memandangi pedang itu, menelusuri bilah nya yang panjang dan terbuat dari logam misterius yang tak seorang pun dapat mengungkapkannya. Asal muasal pedang juga tidak jelas, desas-desus mengatakan pedang itu muncul dari perut bumi yang di iringi gempa.

Sambil memperhatikan pedang, Sang Raja merasa kegagal yang ia alami mengganggunya sekali lagi. Ia mungkin adalah seorang raja yang baik, namun bukanlah orang yang terpilih. Rakyat mengetahuinya. Namun para musuh tidak mengetahuinya. Ia mungkin seorang raja yang hebat, tapi apapun yang ia lakukan ia tak pernah bisa menjadi yang terpilih.

Jika saja ia adalah yang terpilih, maka ia mengira akan ada lebih sedikit gejolak di dalam kerajaan dan lebih sedikit persekongkolan. Rakyat akan lebih mempercayainya dan musuh-musuhnya tak akan berani menyerang. Sebagian dari dirinya berharap pedang itu lebih baik menghilang, bersama dengan Legenda yang menyertainya. Tapi ia tahu hal itu tak mungkin terjadi. Pedang itu adalah Legenda, kutukan- dan juga kekuatan yang lebih digdaya daripada sebuah angkatan bersenjata. Pada saat ia memandangi pedang untuk yang ke ribuan kalinya, Raja Castiller hanya bertanya-tanya siapakah orangnya. Siapakah dalam garis keturunannya bisa, atau siapakah orang yang di takdirkan untuk menghunusnya? Pada saat yang sama ia juga memikirkan hal yang lain, tugasnya menunjuk seorang pewaris tahta. Ia pun tak tahu siapakah yang akan di takdirikan untuk memegang tampuk kekuasaan.

"Bobot pedang itu cukup berat," ujar sebuah suara.

Castiller memutar tubuhnya, terkejut karena ada yang menemaninya di ruangan sempit itu.

Di sana, tepat di pintu masuk, berdirilah Dermian. Castiller telah mengenali suaranya sebelum ia melihatnya dan merasa kecewa mengapa ia tidak datang lebih awal, sekaligus merasa senang karena Dermian bersamanya sekarang.

"Kau terlambat," kata Castiller.

"Aturan waktumu tak berlaku untukku." Jawab Dermian.

Castiller kembali menatap pedang.

"Pernahkah kau mengira aku mampu menghunusnya?" Kenang Castiller. "Di hari ketika aku menjadi Raja."

"Tidak," jawab Dermian datar.

"Jadi kau sudah tahu bahwa aku tak akan bisa melakukannya. Kau sudah mengetahuinya dari awal bukan?"

"Ya."

Castiller termenung.

"Jawabanmu membuatku takut, ini tak seperti dirimu."

Dermian diam, dan akhirnya Castiller menyadari bahwa sudah cukup untuk membicarakan masalalu.

"Aku akan mengumumkan penerusku hari ini." Kata Castiller, "janggal rasanya mengumunkan nama pewaris takhta di hari seperti sekarang. Ini menodai kebahagiaan Raja dan keluarga di hari perayaannya."

"Ada beberapa kesenangan yang ditakdirkan untuk ternoda."

"Tapi aku masih punya banyak waktu untuk berkuasa," sangkal Castiller.

"Mungkin tak sebanyak yang kau bayangkan." Jawab Dermian.

Castiller mengerutkan matanya, apakah itu sebuah pesan?

Namun Dermian tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Lima anak, siapakah yang harus ku pilih?" Tanya Castiller.

"Mengapa bertanya padaku? Kau telah memilihnya."

Castiller menatapnya. "Kau sudah mengetahuinya. Ya benar, aku sudah memilih penerusku. Tapi aku ingin mendengar pendapatmu."

"Kupikir kau memilih pendapat yang bijaksana," kata Dermian. "Tapi ingat: seorang raja tidak dapat memerintah dari dalam Kubur. Tak peduli siapa siapa yang kau pikir akan menjadi pilihanmu, nasib selalu mempunyai cara untuk menentukan jalannya sendiri."

"Apakah aku akan hidup, Dermian?"

Castiller bertanya sungguh-sungguh. Itu adalah pertanyaan yang ingin ia ajukan segera setelah ia terbangun dari mimpi buruk pada suatu malam.

"Semalam aku memimpikan seekor Naga dan sekelompok burung gagak," tambahnya. "Sekelompok gagak itu datang dan mencuri mahkotaku. Lalu seekor Naga menghantam dinding kerajaan dimana singgasanaku berada, dan Naga itu membawaku terbang. Saat itu, aku melihat Kerajaanku terpecah di bawahku. Kerajaanku menghitam, hancur ketika aku pergi. Gersang dan menjadi gurun pasir."

Ia memandang Dermian, matanya berkaca-kaca.

"Apakah itu hanya mimpi? Ataukah sebuah pertanda?"

"Mimpi selalu berarti sesuatu, bukan?" Dermian balik bertanya.

Castiller tersambar perasaan sedih.

"Dimanakah bahaya berada? Katakan padaku?"

Dermian berjalan mendekat dan menatapnya lekat-lekat. Castiller seperti sedang di awasi oleh dunia lain.

Dermian membungkuk ke depan, berbisik.

"Lebih dekat dari yang kau kira."