Yan Mao bangun lebih awal dari sebelumnya. Karena tadi malam dia tidak melakukan apapun, dia bangun tepat ketika ayam berkokok. Dia melihat kedua putranya masih tertidur. Yan Mao bangun dan menemukan Daddy Yan di dapur.
"Daddy, kenapa kamu bangun sepagi ini?"
Daddy Yan menatap kearah putranya. "Aku akan membuat sarapan. Kamu cucilah wajahmu dan sarapan."
Yan Mao menatap kearahnya. "Daddy apakah kamu ingin aku membantumu?"
Daddy Yan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, lagipula ini sama sekali tidak banyak."
"Baiklah Daddy, aku akan mencuci wajahku dan membantumu menyusun barang-barang di meja." Daddy Yan segera tersenyum, "Oke."
Yan Mao mencuci wajahnya dan menggosok giginya dengan garam. Dia berkumur-kumur dan membersihkan mulutnya. Dia mengambil kain bersih dan menggosok wajahnya. Setelah dia masuk ke kamar, dia menemukan kedua putranya sudah bangun.
"Apakah kalian ingin ikut dengan Daddy ke pasar?"
Keduanya bersemangat. "Daddy, kami ikut."
Yan Mao menggosok kepalanya, "Sekarang bangun dan cuci wajah kalian, ganti pakaian dan sarapan."
Dabao dan Erbao segera bangun dan pergi ke dapur. Mereka melihat neneknya sedang memasak. Mereka segera berteriak. "Kakek Ger memasak?"
"Ya, cuci wajah kalian. Lihat ada banyak putih didekat bibir kalian."
Keduanya memerah karena malu. Keduanya bergerak pergi ke tempat dimana ada air. Mereka mencuci wajahnya dan menggosok gigi mereka. Setelah itu keduanya pergi ke kamar. Mereka melihat Daddy mereka sudah mengenakan pakaian yang indah.
Ini membuat Daddy mereka terlihat lebih cantik dan elegan. Mereka merasa Daddy mereka terlihat seperti seorang bangsawan. Yan Mao melihat keduanya yang tercengang. Dia merasa lucu. "Kenapa menatap Daddy seperti itu? Apakah Daddy sangat tampan?"
Keduanya menganggukkan kepalanya. Matanya masih belum berhenti menatapnya. "Ya. Daddy sangat cantik."
Yan Mao, "..." Bukankah mereka memujiku karena tampan?
"Ya, ya, ya, Daddy tampan dan kedua putraku juga pasti tampan, ayo kenakan pakaian kalian."
Dabao dan Erbao segera berganti pakaian. Ketika mereka mengenakan pakaian ini, mereka segera berubah. Seperti yang di harapkan oleh Yan Mao. Dia sangat senang dengan mata baiknya. Warna yang dia pilih begitu serasi dengan Dabao dan Erbao.
Dabao mengenakan pakaian berwarna kuning pucat, Erbao berwarna biru gelap. Ketika Yan Mao melihat ini. Dia sangat senang. "Lihat, kedua putra Daddy sangat tampan."
Keduanya memerah. Yan Mao membawa kedua anak itu ke dapur. Ketika Daddy Yan melihat kearah ketiganya. Dia melebarkan matanya. Dabao dan Erbao segera pergi ke Kakek Ger Yan dan memeluk kakinya.
"Kakek Ger, bagaimana dengan kami hari ini?"
"Wow cucu-cucuku benar-benar tampan, lihat wajah kecil ini. Kakek yakin bahwa akan banyak Ger yang mengejarmu nanti." Daddy Yan memuji keduanya. Mereka memerah karena malu. Daddy Yan menepuk-nepuk kepala keduanya. "Ayo sarapan, kalian akan pergi ke pasar bukan."
Yan Mao menganggukkan kepalanya. "Dimana Ayah?"
Daddy Yan mengarahkan tangannya pada halaman belakangnya. "Ayahmu sedang menyiram petakan sayuranmu. Ayahmu berkata bahwa anggur yang kamu tanam sedikit layu. Jadi dia menyiramnya."
Yan Mao lupa memberikan air mata ajaib, setelah dia pulang ke rumah. Dia akan memberi mereka air mata ajaib.
_____
Yan Mao pergi keluar. Dia berteriak. "Ayah, saatnya sarapan."
Ayah Yan meletakkan baskomnya dan pergi ke dapur. Ketika dia melihat kedua cucunya. "Wah, lihat siapa yang tampan ini. Hampir saja kakeknya tidak mengenalinya."
Wajah keduanya memerah dan tersenyum lebar. "Kami sangat tampan sama seperti kakek."
Kakek Yan sangat bangga. "Tentu saja, kakek kalian dulunya adalah pria tampan."
Yan Mao, "...." Benarkah? Sungguh? Jelas aku terlihat seperti Daddy.
Daddy Yan, "...." Kapan dia belajar narsis? Jelas cucunya lebih terlihat seperti Ayah mereka.
Karena Song Tianchen meninggalkan kedua putranya ketika mereka berusia 1 tahun, itu wajar mereka tidak ingat bagaimana wajah Ayah mereka. Setelah mereka melihatnya, mungkin mereka tidak akan memuji kakeknya.
Yan Mao dan semuanya sarapan. Setelah sarapan, Yan Mao memasukkan semua botol ke keranjang. Ternyata keranjang ini hanya memuat 30 botol saja. Tidak lebih dari itu. Yan Mao melihat bahwa ada 4 keranjang di rumahnya.
"Ayah, Daddy, maukah kalian ke pasar denganku. Aku tidak mungkin akan membawa banyak makanan seperti ini?"
Daddy dan Ayah Yan saling berpandangan, akhirnya keduanya menganggukkan kepalanya. Mereka bersiap untuk ke pasar, Erbao dan Dabao pergi ke tempat Paman Qian. Kebetulan Paman Qian sedang membersihkan kereta sapinya.
"Kakek Qian, Daddy meminta kakek ke rumah. Ada banyak barang untuk dibawa ke pasar. Maukah kakek pergi?"
Paman Qian tersenyum. "Tentu saja. Tunggu sebentar, kakek akan menyelesaikannya."
Kedua anak itu menganggukkan kepalanya. "Ya, kakek."
Ketika kakek Qian selesai membersihkan kereta sapinya. Dia membawa kedua anak itu dan pergi ke rumah mereka. Yan Mao melihat kereta yang datang ke rumah mereka. Ayah Yan membawa semua barang-barangnya.
Masing-masing dari mereka memegang satu keranjang. Bahkan Dabao dan Erbao juga memegang keranjang takut bahwa botol akan pecah. Paman Qian berbicara dengan Ayah Yan. Paman Qian lebih tua beberapa tahun dari Ayah Yan.
Setelah menghabiskan 30 menit, mereka akhirnya sampai di pasar. Yan Mao meminta Paman Qian untuk mengantarkan mereka ke restoran Bos Besar Gong. Paman Qian menganggukkan kepalanya.
Penjaga yang melihat siapa datang, mereka segera membantu menurunkan barang. Saudara Wu selalu datang pagi-pagi sekali. Ketika kereta Paman Qian datang, Wu Nian menyapa Paman Qian.
Wu Nian terkenal ramah dan baik. Semua orang di desa menyukainya. Beberapa juga berusaha menjilatinya, namun sayang Wu Nian tidak memiliki niat untuk merekrut orang desa. Karena dia hanya penjaga toko bukan pemiliknya.
Paman Qian akan menunggu mereka di dekat pintu gerbang pasar. Mereka semua menganggukkan kepalanya. Yan Mao dan beberapa penjaga membawa barang ke dalam restoran. Di sana mereka pergi ke kamar pribadi.
Setelah Wu Nian membawa keluarga Yan Mao ke dalam. Dia meminta pelayan menyiapkan kue dan teh. "Saudara Wu, apakah kamu mencoba barang yang kuberikan kemarin?"
Wu Nian sangat penasaran apa itu. Rasanya manis meskipun sedikit asam. Itu meninggalkan rasa segar di dalam mulut. Yan Mao tersenyum. "Itu adalah selai mulberry, aku pikir Bos Besar Gong akan menyukainya."
Wu Nian menganggukkan kepalanya. "Barang yang kamu jual sangat langka jadi itu akan laku di jual."
Pelayan mengatakan bahwa Bos Besar Gong sudah datang. Wu Nian bangkit dan menyambutnya. Untung saja kamar yang dipesan sangat besar. Jadi meskipun ramai orang, masih terlihat luar.
Begitu Gong Jun masuk ke dalam, dia di sambut oleh Yan Mao. "Bos Besar Gong."
Gong Jun juga memberikan penghormatannya. "Ger Mao, terima kasih sudah datang."
"Bos Besar begitu sopan, tentu saja aku ingin menghasilkan uang. Bos Besar memberikan banyak uang." Yan Mao tersenyum tulus. Gong Jun tersenyum. "Ger Mao begitu sopan, kita adalah mitra bisnis. Tentu saja."
Lalu matanya menatap kearah kedua orang yang lebih tua. "Ger Mao, apakah ini kedua orang tuamu?"
"Ya, Bos Besar. Ini adalah kedua orang tuaku."
Segera Ayah dan Daddy Yan memberikan rasa hormat mereka. Gong Jun melihat bahwa mereka adalah penduduk desa yang jujur. Dia tidak bisa menahan untuk tersenyum lebih tulus lagi.
"Kedua orang tua, aku dipanggil Gong Jun."
"Bos terlalu sopan, Bos terlalu sopan. Kami adalah kedua orang tua Ger Mao. Terima kasih atas bantuannya."
Gong Jun tersenyum. "Sama sekali tidak. Kami adalah mitra bisnis."