Dikisahkan sebelumnya bahwa Hasan dan Aurel mengadakan pertemuan di Kedung Biru, Hasan pun mengatakan bahwa Ayahnya meminta untuk meneruskan pendidikannya di pesantren.
Kisah berlanjut.
"Apa Kang? Akang mau ke pesantren? Beneran Kang?" tanya Aurel sontak bagai petir menyambar pohon kelapa disiang hari, Hati Aurel tiba-tiba seakan terbakar, menjadi berat.
"Iya, kamu kan juga tahu kalau keluargaku keluaran pesantren juga, mereka ingin aku meneruskannya," tutur Hasan sambil memegang pundak Aurel.
"Apa ini berarti kita sudahan tentang hubungan ini Kang?" tanya Aurel sambil memandang tajam ke arah wajah Hasan.
"Ini juga demi kebaikan kita juga, saya harus berbakti kepada orang tua, toh Eneng juga belum mengabarkan hubungan ini kepada keluarga Eneng kan!" ujar Hasan terlihat mulai meneteskan air mata dan suara mulai tersengal-sengal.
Mendengar tanggapan Hasan seperti itu lantas Aurel berkata, "Kang! kita kan baru saja jadian kan, kita kan juga pas sayang-sayange, mengapa Akang tega? sakit Kang!."
"Eneng justru saya melakukan ini, adalah kebaikan Eneng juga, coba deh difikir-fikir umur kita masih remaja sekali, Apa Eneng sudah siap menikah?" tanya Hasan.
"Ya belum Kang! Tapi Kang ... saya pokok tidak mau berpisah, biar nanti saya ngomong pada orang tua saya, saya akan menunggu sampai kapanpun, sampai Akang pulang dari pesantren," tutur Aurel sambil memeluk Hasan dengan eratnya terlihat menangis di pundaknya.
"Eneng! saya pun tidak tahu kapan pulangnya lagi, udahlah Neng ikhlasin saja pasti mendapatkan yang terbaik, lebih baik dari pada saya," ungkap Hasan.
"Akang! Tega sekali Akang menyakiti hati Eneng," sahut Aurel sambil melepas dekapannya.
"Bukan begitu Eneng, maafin Akang harus melakukan ini, inginnya saya tidak mau tapi banyak masukan nasihat untuk kehidupan kedepan saya, sekali lagi maafkan Akang, demi kebaikan kita," tutur Hasan sambil menghapus air mata yang menetes dan pergi dari hadapannya.
Kini Aurel sangat sedih, tidak menyangka pertemuan ini menjadi kesedihan, padahal pertama datang berbahagia.
Terlihat Aurel termenung menjambak-jambak rambutnya, berkata-kata sendiri.
"Mengapa kau tega, tak kusangka engkau tega menyakiti, rasanya inginku tak melihat dunia lagi, sesak dadaku serasa ada tombak menancap tembus sampai ke belakang, rasanya tidak kuat aku pulang."
Tak terasa dia tertidur di rumah makan karna tidak kuat menahan kepala yang begitu penat, orang-orang di sekitarnya tidak berani mendekatinya.
Hasan yang pergi juga tidak mau tahu keadaan gadis pujaannya itu, sepangjang jalan air matanya tidak berhenti sedikit pun, sesekali dia menghapus, wajah Aurel tidak mudah dihilangkan selalu hadir membayanginya.
Perlahan-lahan jalan disusurinya hingga sampai dirumah tidak memperhatikan orang yang menyapanya.
Hasan langsung masuk kamar dan tidur tidak mau merasakan penatnya fikiran yang mengencamuk, walau berusaha sekuat apapun tetap dia tidak bisa tidur, sesekali Hasan rerlihat menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri tetap tidak bisa terlelap, semakin berusaha melupakannya semakin kuat pula ingatannya pada Aurel.
Tiba-tiba dia ke ingat nasibnya Aurel di warung bebas, tak tega rasanya.
Barulah ia ingat pada teman kecilnya yaitu Tamara secepatnya Hasan menghubunginya untuk menenangkan hati Aurel, Tamara termasuk teman kecilnya yang bisa dibilang teman baiknya.
"Assalamu'alaikum," sapa Hasan pada Tamara.
"Wa'alaikumsalam, Ada apa Kang?" tanya Tamara.
"Ini saya baru ketemuan sama Aurel, dan saya sudah mengatakan sebenarnya apa yang ada di benak fikiranku," tutur Hasan terdengar suaranya tersedu-sedu.
"Lalu Kak Aurel Bagaimana kabarnya saat kamu tinggal?" tanya Tamara penasaran apa yang terjadi padanya.
"Dia kecewa sama saya, dia tidak mau pulang tetapi saya tidak tahan melihatnya, dia menangis-menangis terlihat juga matanya sayup," ungkap Hasan.
Mendengar penjelasan Hasan, Tamara tidak sampai hati dia mulai memberi masukan agar hatinya tenang dengan berkata, "Kang Hasan tenang saja, Akang yang sabar, biar saya saja yang ngomong sama Aurel, Apa mungkin dia masih disana Kang?" tanya Tamara.
"Ia kayaknya, soalnya dia terlihat lemas, saya minta tolong bantu saya beri dia nasihat, pengertian-pengertian agar tidak terlalu terpuruk," tutur Hasan sambil menghapus air matanya.
"Ya udah Kak, saya kesana dulu semoga masih disana, Assalamu'alaikum," pungkas Tamara.
"Ya, sebelumnya terimakasih banyak saya do'akan semoga berhasil, Wassalamu'alaikum," tutup Hasan.
Tak terbayang kebahagian berubah menjadi kebencian, tugu karang yang dulu berdiri kokoh kini rapuh hanya diterjang tangisan kekasih, rembulan yang selalu bersinar terang kini tertutup mendung tebal nan gelap, yang tersisa hanya kenangan indah bersamanya.
Hati Hasan mulai tenang karna Tamara membantunya, tak lama kemudian akhirnya Tamara sampai juga di tempat yang mana mereka bertemu, sambil menengok ke kiri dan ke kanan sesekali Tamara bertanya pada orang yang ditemuinya tentang keberadaannya.
Dari kejauhan ada perempuan yang sedang tidur di warung makan, Tamara perlahan mendekatinya sambil mengamati dari kejauhan kedua matanya menatap tajam bagaikan Burung Elang mencari mansanya.
Setelah dekat, Tamara tidak tega kalau membangunkannya, dia tanya pada pegawai di warung.
"Assalamu'alaikum, mbok tahu ndak Apa yang terkadi pada gadis itu," sapa Tamara pada penunggu warung sambil dia mengambil roti lalu memakannya.
"Wa'alaikumsalam, itu tadi dia bertemu dengan kekasihnya, lalu dia di putusin," kata penjaga warung.
Tamara yang tidak tega melihatnya, kini hanya bisa menunggu hingga dia sadar.
Tak lama kemudian Aurel pun terbangun terlihat ia memegangi kepalanya pertanda kalau dia pusing berat, dia berusaha bagun dan menguatkan dirinya untuk berdiri tetapi belum sampai berdiri tegak dia roboh.
Cepat-cepat Tamara membopongnya pergi dari tempat itu, hanya bisa memandang tak bersuara seakan hilang pita suara Aurel.
Sepangjang perjalanan Aurel sadar bahwa Tamara telah menolongnya hingga sampai di rumahnya, Tamara pun pergi ke kamar Aurel sambil meletakkan tubuh Aurel di kasur empuk yang bergambar Ipin dan Upin.
Akhirnya Aurel bisa mengendalikan dirinya, secepat kilat Aurel memeluk tubuh Tamara dan bertanya padanya.
"Kamu! Tamara kan?" tanya Aurel sambil melepaskan dekapannya.
"Iya, saya tamara temen kecilmu dulu," sahut Tamara.
"Kang Hasan sudah menceritakan segalanya padaku, tentang keinginan orang tuanya dan permasalahannya dengan Kakak," ungkap Tamara.
"Apa salah saya mencintainya? Mengapa dia tega menyakiti perasaanku," ungkap Aurel sambil mengusap tetesan air matanya yang membasahi pipinya yang terlihat manis.
"Tidak ada yang salah, itu manusiawi Kak, coba Kakak fikir-fikir, selama ini apa Kakak sudah membicarakan hubungan Kakak dengan Kang Hasan, belumkan? Siapa tahu Kakak nanti kalau sudah benar-benar siap menikah Kakak dijodohkan, Kang Hasan mpun begitu, kini dia masih berumur 17 tahun, masa depannya masih panjang butuh pengetahuan yang cukup banyak, pengalaman, makanya dia sama orang tuanya di letakkan di pesantren guna menimba ilmu," tutur Tamara dalam menasihati Aurel.
Bagaimana kisah selanjutnya, Apakah Aurel bisa menerima nasihat dari Tamara?
Jangan ketinggalan kisahnya hanya di sini.