"Cepat masuk!" Tarik Liliana dan mengunci pintu kamar mereka.
"I-ibu… aku akan menyelesaikan semuanya. Aku janji.." Ucap Alecta panik.
"Kau hanya anak kecil, Alecta. Apa yg bisa kau lakukan hah?!" Protes Liliana. Dia mengusap wajahnya dan berusaha berpikir keras. "Berikan kalung itu…"
Alecta tersentak. "Ke-kenapa?"
"Biar ibu saja yg mengembalikannya. Ibu tidak bisa membiarkanmu terkena masalah lagi." Ucap Liliana.
Alecta menggeleng. "Tidak bu, aku bisa melakukannya. Justru karna aku anak kecil, tidak akan ada yg curiga padaku."
Liliana merampas paksa kalung itu dari anaknya. "Aku ibumu. Kau harus mendengarkan kata-kata ibumu, Alecta." Tegas Liliana dgn suara yg ditinggikan.
"Tapi bu…"
"Tidak ada alasan! Mulai sekarang, jangan pernah keluar dari kamar ini sampai kau memahami seberapa besar masalah yg kau lakukan ini." Bentak Liliana.
Mata Alecta berkaca-kaca. "A-apa? Tidak.. ibu tidak bisa melakukan ini padaku, aku tidak mau dikurung!"
"Ibu akan membiarkanmu pergi jika kau sudah merenungkan kesalahanmu." Ucap Liliana.
"Tapi bu, aku tidak bisa menunggu selama itu.. a-aku.. aku ingin keluar dan bermain."
"Bermain dgn anak naga laut itu? Tidak Alecta, ibu tidak mau hal yg terjadi pada Putri Alecta dulu terjadi padamu juga. Jangan menemuinya lagi."
"Dia satu-satunya teman yg kupunya! Aku mohon ibu…!"
Liliana mengabaikan rengekan anaknya tersebut dan pergi mengunci pintunya dari luar. Ada rasa tidak tega saat wanita tersebut mengurung anaknya tapi dia tidak punya pilihan lain, semakin dewasa gadis kecil itu semakin tak kenal rasa takut. Dia tidak mau Alecta melakukan hal-hal lain yg akan membuat masalah fatal bagi hidupnya dan hidup Alecta.
Sedangkan gadis itu menggedor-gedor pintu sembari menangis sejadi-jadinya. Tak ada yg bisa ia lakukan di dalam kamar yg luas tersebut. Dia berada dilantai yg tinggi, sehingga mustahil baginya utk turun lewat jendela menggunakan kain atau apapun yg bisa dia pakai utk turun. Dia terisak dan memandangi ikan kecil diwadah bening yg cantik. "Nadish, apa yg harus kulakukan? Nicholas pasti akan menungguku... aku sangat ingin bermain dgnnya dan mendengarkan cerita darinya seperti biasa... Ini membosankan." Keluhnya pada ikan peliharaannya tersebut.
***
"Cerita tentang kecantikan anda memang tidak bisa dipungkiri, tuan putri. Saya merasa sangat terhormat saat anda menerima undangan dari kami. Saya ucapkan terima kasih dan sebagai permohonan maaf karna merepotkan anda, saya sudah menyiapkan peti berisi emas untuk anda, semoga putri menerima hadiah kami yg tidak seberapa ini." Ucap Raja Cloude.
Putri Glacia tersenyum simpul dan membungkukkan badan. "Saya tidak merasa direpotkan sama sekali. Terima kasih banyak untuk hadiahnya, saya akan memanfaatkannya dengan baik."
Seorang pangeran disamping raja tersebut ikut membungkuk kecil utk memberi hormat. "Saya akan merasa sangat senang jika putri mau tinggal sedikit lebih lama disini."
"Maafkan saya pangeran, saya tidak bisa meninggalkan kerajaan saya lama-lama. Masih banyak urusan yg harus saya kerjakan. Harap pangeran bisa maklum." Jawab Glacia.
Pangeran dgn wajah yg lumayan tampan tersebut terkekeh. "Menjadi putri mahkota memang merepotkan, saya salut pada anda yg bisa mengurus semua masalah kerajaan sendiri. Saya doakan semoga yg mulia Raja Daniel bisa kembali sehat."
"Terima kasih banyak, pangeran." Jawab Glacia membungkukkan badan. Riven disebelahnya hanya memutar bola matanya, yah yg sebenarnya terjadi adalah putri mereka sama sekali tidak bisa mengurus apapun, sebaliknya, dia malah merusak dan membuat kesalahan fatal pada kerajaannya sendiri.
Raja Cloude memegang tangan Glacia dan terkekeh. "Oh iya, soal sayambara itu… putri, mohon pertimbangkan lagi, anda sudah melihat pangeran kami kan? Dia sangat cocok untuk menjadi pendampingmu. Hehe."
"Ayah…" Tegur pangeran tersebut tersenyum rengkuh.
Putri Glacia melirik Riven, tapi pria itu hanya membuang muka. "Eeh.. Yg mulia, akan ada banyak pangeran yg ikut sayambara itu nanti, jika pangeran Loius bisa memenangkan sayambaranya, maka saya pasti akan memilih pangeran Loius. Saya yakin pangeran akan berhasil, benarkan pangeran?" Liriknya.
Pangeran Loius tersentak dan mengangguk. "I-iya.. tentu saja. Saya akan berusaha yg terbaik." Jawabnya.
Raja Cloude menghela nafas. "Putri Glacia, kau tidak akan menemukan pangeran tampan dan pintar seperti Loius dua kali. Jadi pikirkan itu baik-baik, dgn ikatan yg dijalin kerajaan kami dan kerajaan Nocturnus, kita pasti akan menjadi sangat kuat dan disegani negeri lain." Bujuk Raja Cloude.
"Sayambara tetaplah sayambara, semua peserta harus adil. Yg menang maka dialah yg pantas mendapatkan putri mahkota kami. Jika yg mulia berusaha mendapatkan putri Glacia dgn cara curang, apakah pangeran Loius disebut pantas utk putri kami?" Potong Riven, si pengawal pribadinya Raja Daniel.
Glacia tersentak dgn ucapan Riven yg terbilang tidak sopan, apalagi kepada seorang Raja dan pangeran dihadapannya.
"Nak, tolong jaga ucapanmu." Tatap sinis Raja Cloude.
"Ma-maafkan pengawal saya Yg mulia, dia memang orang yg tegas dan menjujung tinggi keadilan. Selain itu, dia juga pengawal pribadi Raja Daniel dan kapten pasukan kerajaan Nocturnus. Harap yg mulia bisa memaafkan ucapan kasarnya." Ucap putri Glacia, sedikit cemas.
Raja Cloude masih melototi Riven.
"A-ayah, dia adalah pengawal pribadi Raja Daniel. Wa-wajar jika dia bersikap begitu…" Selah pangeran Loius.
Suasananya menjadi sedikit menegangkan sekarang. Jika Raja Cloude marah pada Riven, maka dia pasti tidak akan menyuruh anaknya utk mengikuti sayambara.
Putri Glacia membungkukkan badan. "Saya akan memberikan perhatian khusus pada pangeran Loius dihari sayambara dan memberikan dukungan." Ucapnya. "Riven, cepat minta maaf pada Raja Cloude."
Riven menyipitkan matanya pada Glacia, gadis itu memasang wajah memohonnya pada pria itu. Riven yg memang menaruh hati pada putri itu tentu saja tidak akan bisa lama-lama kesal padanya. Dia menghela nafas dan membungkukkan badan di depan Raja Cloude yg pemarah.
"Maaf atas kata-kata saya yg lancang, Yg mulia." Ucap pria itu malas. "Tapi, karna putri Glacia bilang akan memperhatikan pangeran Loius, maka pangeran Loius harus mengikuti sayambara dgn adil dan hati yg tulus." Tatapnya tajam pada pangeran disebelah Raja.
Pria yg dilirik tersebut tersentak dan ikut membungkuk. "Te-tentu saja! Saya akan berusaha keras. Terima kasih utk Putri Glacia. Saya tidak akan mengecewakan anda."
Glacia hanya tersenyum rengkuh dan mengangguk. Pangeran itu hendak memegang tangan Glacia namun Riven langsung mendahuluinya dan menarik tangan putri Glacia.
"Masih banyak pekerjaan di istana, kami harus segera kembali." Ucap pria itu.
Pangeran Loius berdecih ke arah Riven dan berbalik karna moodnya yg rusak. Raja Cloude yg melihat anaknya pergi hanya menghela nafas.
"Kami mohon pamit, Yg mulia. Terima kasih atas pelayanan anda selama kami menginap disini." Ucap Riven, masih memegangi tangan Glacia.
Raja tak menjawab dan hanya mengangguk.
***
"Lepaskan, Riven!" Bentak Glacia.
Pria itu hanya berdecak malas dan melepaskan tangannya. "Cepat masuk ke keretamu tuan putri." Ucapnya.
"Apa yg kau lakukan tadi? Kau hampir merusak rencanaku!" Protesnya.
"Rencana apa? Kau bahkan tidak memberitauku apa yg sedang kau rencanakan utk kerajaan Rosilinda." Jawab pria itu dgn nada yg terdengar acuh tak acuh.
"Aku tidak suka sikapmu ini. Apa kau lupa sedang bicara dgn siapa? Aku ini putri mahkota! Jika saja kau bukan pengawal pribadi ayahku, aku akan…aku…"
"Akan apa? Apa yg akan kau lakukan padaku, putri mahkota?" Tantang Riven.
"Ughhh! Kau menyebalkan..!" Glacia berteriak geram dan masuk ke kereta kudanya dgn kesal.
Riven yg alisnya tadi diturunkan sekarang menghela nafas panjang saat melihat Glacia masuk. "Tak peduli apapun yg kau lakukan, aku akan selalu berusaha utk melindungimu, Putri." Gumam pria itu.
***
Disisi lain, Nicholas duduk di dekat batu sungai Prospera sembari menunggu teman satu-satunya. Siapa lagi kalo bukan Alecta.
"Apa dia tidak datang hari ini?" Gumam pria kecil tsb.
Nicholas sudah berhasil mengembalikan batu giok pangeran Nadish ke kerajaan Naga laut. Seluruh naga air merasa gembira atas kembalinya raga pangeran mereka yg tercinta. Dia dan orangtuanya diberikan imbalan hadiah yg besar oleh Raja Neptune karna sudah menemukan tubuh anaknya. Beliau sangat senang dan terharu, mereka berterima kasih sebenar-sebesarnya kepada keluarga Nicholas. Mereka bahkan sampai mengadakan pesta besar atas kembalinya raga pangeran mereka.
Tapi Nicholas tau, yg lebih pantas utk mendapatkan pujian dan hadiah adalah Alecta. Oleh karna itu, Nicholas berencana utk memberikan Alecta kejutan dgn membawakan banyak perhiasan dan pernak pernik cantik yg diberikan Raja Neptune utknya. Dia memasukkan semua benda itu ke dalam tas yg sempat diberikan Alecta agar dia bisa membawa giok pangeran Nadish.
Berjam-jam berlalu, Nicholas mulai lelah menunggu. "Langit sudah mulai gelap… kemana dia?" Gumamnya.
Dia memutuskan utk menulis sebuah surat dan memasukkannya ke dalam tas bersamaan dgn benda-benda lainnya. Lalu Nicholas meletakannya disamping makam putri Alecta dan menutupinya dgn dedaunan. "Aku harap Alecta menemukannya."
Tepat setelah dia selesai meletakkannya disana, terdengar suara wanita yg menegurnya.
"Apa yg kau lakukan disini?"
Nicholas tersentak dan menunduk.
"Kau lupa apa yg ibu katakan kemarin?" Lanjut wanita itu.
"Maaf, tapi… hanya saja.. semua hadiah yg diberikan Raja.. aku tidak pantas menerimanya."
Ibu Nicholas menghela nafas dan memeluk anaknya. "Ibu tau, tapi kita tidak mungkin memberitau Raja yg sebenarnya, bahwa temanmu itulah yg menemukannya. Jika Raja tau kalo selama ini Putri Glacia yg menyimpannya, maka dia akan murka dan perang diantara manusia dan naga laut akan kembali terjadi."
"Ta-tapi…"
"Apa kau tidak kasihan dgn krisis kerajaan Nocturnus? Jika dulu mereka menang, sekarang kebalikannya. Jika perang terjadi, dgn kurangnya pasukan dan persiapan tempur, pasukan Glacia sudah pasti kalah. Kerajaannya akan hancur, jika istana hancur.. maka temanmu juga ikut kesusahan kan? Selain itu, akan ada banyak pertumpahan darah…"
Nicholas mengangguk pasrah.
"Kita dan kerajaan Nocturnus saling bermusuhan, jika bertemu maka akan ada perkelahian. Jika kalian berdua tertangkap, maka akibatnya tidak akan baik. Untuk sekarang, hindari gadis itu. Apalagi kau bilang, ibunya sudah tau tentang dirimu."
"I-iya... aku mengerti bu." Angguknya.
Nicholas tau bahwa mungkin Alecta juga tidak diizinkan utk menemui dirinya, itu sebabnya dia tidak bisa datang. Tapi setidaknya, dia ingin bertemu sekali lagi dgn gadis favoritnya itu. Tak ada yg bisa dia lakukan, ucapan ibunya ada benarnya juga. Nicholas terpaksa menurut dan pulang bersama ibunya ke laut.
***
"Apa kau sudah meletakkan kalungnya diatas kasur?" Ucap Liliana.
"Iya, aku juga sudah menghapus semua jejak. Tidak akan ada yg tau bahwa aku memasuki kamar putri Glacia lewat jendela."
"Bagus. Ini imbalanmu."
Orang bertopeng tersebut terlihat sumringah memegangi sekantong koin emas. "Senang berbisnis denganmu, nyonya. Beritau aku lagi jika ada tugas baru, aku akan langsung datang dgn cepat."
"Baiklah, kau boleh pergi sekarang."
"Terima kasih." Ucapnya dan langsung pergi, kembali menyamar dan berbaur ke kerumunan.
Liliana menyewa pencuri sekaligus penyamar yg handal utk mengembalikan kalung Glacia yg ada di kamarnya. Kamar Glacia terkunci dan dia terpaksa harus masuk lewat jendela. Walaupun kamarnya terbilang cukup tinggi dan dijaga ketat, tapi dengan bantuan orang dalam, tidak ada yg mustahil bagi rombongan pencuri yg berpengalaman tersebut.
Dia menghela nafas saat urusannya sudah selesai. "Dasar Alecta, merepotkan saja…" Gumamnya. Dia harus kembali ke istana karna Putri Glacia akan pulang hari itu juga.
***
Berhari-hari berlalu, putri Glacia sama sekali tidak mengetahui tentang kalung itu. Akhir-akhir ini dia juga tidak memakainya. Karna banyaknya urusan dan persiapan sayambara, dia terlalu sibuk utk memperhatikan dan memakai kalung favoritnya.
Semuanya berjalan dgn lancar. Semua kamar-kamar utk para pangeran yg akan mengikuti acara selama beberapa hari juga sudah disiapkan, serta makanan-makanan yg mewah sudah lengkap. Karna simpanan dan hadiah pemberian Raja Cloude masih kurang, Glacia sampai harus memberikan barang-barang dan perhiasan lama yg tidak dipakainya kepada bendahara istana utk dijual dan melengkapi persiapan sayambara, tapi tentu saja.. dia tidak akan menyerahkan kalung liontin itu.
Alecta kecil sempat berhasil keluar dan pergi ke sungai tersebut, namun dia tidak menemukan Nicholas. Dia hanya menemukan hadiah-hadiah cantik dan secarik surat dari Nicholas di dedaunan. Gadis itu sedih karna tak bisa bertemu dgn Nicholas selama berhari-hari dan menyimpan benda-benda pemberiannya. Semua orang di istana berdandan utk menyambut para tamu dari berbagai kerajaan.
Tok tok tok
Ketuk seseorang. Glacia menyuruhnya utk masuk. Siapa lagi kalo bukan Riven, dia hanya ingin memberitaukan Glacia bahwa para tamu sudah memenuhi aula dan dia harus segera turun utk menyambutnya. Namun dia terkejut saat Glacia sama sekali belum memakai gaunnya.
"Kemana pelayanmu?" Ucap Riven.
"Maksudmu Liliana? Aku menyuruhnya utk bersiap. Aku tidak mau dia dan anaknya terlihat jelek di depan para tamu pentingku." Jawab Glacia sembari sibuk memakai riasan wajah di depan cermin.
"Kenapa kau tidak meminta pelayan lain utk membantumu bersiap?" Ucap Riven yg hanya bisa geleng kepala.
Glacia hanya memutar bola matanya dan berdecih. Gadis itu tidak terlalu suka dibantu, itu sebabnya dia hanya punya 1 pelayan kepercayaan yaitu Liliana.
Riven menghela nafas dan meletakkan pedangnya dimeja. Dia mendekati Glacia dan membantu gadis itu menyisir rambutnya. "A-apa yg kau lakukan?" Ucap gadis itu dgn pipi yg memerah.
"Selesaikan riasanmu, aku akan menata rambutmu." Ucapnya tersenyum simpul.
"Se-seorang kapten pasukan sepertimu.. ta-tau apa soal wanita!" Ucapnya.
Riven terkekeh. "Aku sering melakukan ini utk ibu dan kakak perempuanku. Apa kau tidak mau pengawal rendahan sepertiku menata rambutmu? Kau bisa terlambat nanti…"
Glacia mendegus. "Te-terserah!" Ucapnya dan lanjut memakai bedaknya dgn tangan yg sedikit gemetar karna gugup.
Riven menyisir rambut gadis itu dgn lembut dan menguncirnya, menggulung, mengepang dan memberikan riasan sederhana. Dia memberi gaya rambut yg sangat cocok utk putri Glacia. Glacia sendiri terpukau dgn keahliannya. "Darimana kau belajar menata rambut?" Ucapnya tak percaya.
"Aku belajar sendiri." Jawab Riven singkat. Glacia hanya menatapnya aneh tanda bahwa dia sama sekali tidak percaya orang yg ahli bela diri seperti Riven bisa melakukannya sendiri.
Namun terdengar suara terompet dari aula istana. "Oh tidak.. aku harus cepat.." Ucap Glacia. Dia langsung membawa gaun lebarnya ke balik tempat ganti. Riven langsung berbalik badan saat gadis itu sama sekali lupa bahwa masih ada seorang pria dikamarnya.
Saat dia mendongak, pria itu tidak sengaja melihat pantulan Glacia yg sedang berganti pakaian dari kaca lemari di depannya. Pipinya panas dan dia sedikit gelisah.
"Eeh.. a-aku.. akan menunggu diluar.." Ucap Riven, meraih pedangnya dan berniat utk segera keluar. Sebelum dia sempat meraih gagang pintu, Glacia langsung menghentikannya.
"Tunggu…!" Ucapnya.
Riven langsung mematung. "Aku perlu bantuanmu… gaun ini.. aku tidak bisa memakainya sendiri.." Keluh Glacia.
"Aku akan meminta beberapa pelayan untuk-"
"Tidak ada waktu lagi, berhenti bersikap sok suci dan lihatlah ke arah sini. Bantu aku menaikkan resleting gaun ini..!" Bentak Glacia.
Ya, sepertinya Glacia sudah menggangap Riven sebagai kakaknya sendiri secara tidak langsung. Lagipula pria itu sudah bersamanya selama 6 tahunan.
Perlahan Riven berbalik dan meneguk salivanya, dia sudah berniat utk memendam rasa sukanya pada putri Glacia. Tapi jika dia terus dihadapkan dgn hal begini, akan sulit baginya utk melupakan ketertarikannya pada Glacia. "A-aku.. aku tidak bisa melakukannya." Ucap Riven.
"Kau pikir aku juga bisa melakukannya sendiri? Tanganku tidak bisa menggapai resletingnya, lihat.." Ucapnya sembari mencoba.
Gerakan kecil itu malah membuat Glacia terlihat sedikit seksi. Sekali lagi Riven meneguk salivanya dan mendekat. "Ba-baiklah… aku akan membantumu." Pria itu memegang resleting dan menaikkannya, jarinya yg sedikit bersentuhan dgn kulit halus Glacia membuatnya tidak bisa bernafas dgn tenang, dia terlalu gugup dan pipinya benar-benar merah.
"Bagus.. sekarang ikatkan ini.." Glacia berbalik dan menyodorkan sebuah pita panjang. Tentu saja mau tak mau Riven yg tinggi tersebut tak sengaja melihat belahan dada Glacia yg terbilang cukup besar. Dia tersentak dan langsung membuang muka.
"Ada apa?" Ucap Glacia bingung. "Apa riasanku hancur?" Gadis itu menoleh ke cermin tapi tak melihat sesuatu yg ganjal. Dia meraih tangan Riven dan meletakkan pita itu ditelapak tangannya. "Kau ikatkan pitanya dan aku akan memakai perhiasanku. Cepatlah..!"
"Putri Glacia, aku ini laki-laki." Ucap Riven.
"Kenapa nafasmu berat?" Ucap Glacia bingung. Pria itu sekali lagi membuang muka. "Ck. Kau bisa menata rambut, lalu kenapa kau tidak bisa mengikatkan pita dipinggangku? Aku tau kau laki-laki, lalu kenapa?!"
Riven menggigit bibir bawahnya karna tak tau harus bilang apa. Glacia hanya berdecih dan berbalik menatap cermin, sibuk memakai perhiasan.
"Ooh! Kalo kau tidak mau, pergi sana! Padahal kau sendiri yg bilang kalo aku tidak dibantu aku akan terlambat. Menyebalkan." Gerutu Glacia.
Riven berusaha menenangkan dirinya dan menuruti ucapan putri Glacia, dia mengikatkan pita tersebut ke pinggang ramping Glacia dgn buru-buru.
"Sudah selesai?" Ucap Glacia saat menyadari Riven mengikat pita dgn sangat cepat.
Riven hanya menunduk dan sesekali memalingkan wajahnya.
"Ada apa dgnmu? Dari tadi sikapmu aneh." Ucap Glacia sembari mengamati pria dihadapannya tersebut. "Jangan bilang kau-"
"Ti-tidak ada. Kalo begitu, pakai sepatumu dan segeralah turun. Aku akan menunggumu di aula." Ucap Riven buru-buru keluar dari sana.
Glacia yg ucapannya dipotong tadi baru menyadari sesuatu, pipinya memerah menatap pintu yg ditutup oleh pria itu.
***
Riven yg berdiri di dekat kursi Glacia yg kosong tersebut memegang dadanya dan berusaha mengatur nafasnya. Selama bertahun-tahun mengabdi pada kerajaaan dan membantu Glacia, baru kali ini dia berada sangat dekat dan menyentuh gadis itu. Jika dia tidak memiliki perasaan apapun pada gadis itu, mungkin hal tadi tidak terlalu membuatnya malu.
Riven sangat gugup, dia meneguk beberapa gelas air dan menenangkan dirinya. Selang beberapa menit, dia mendengar suara anak kecil yg tidak asing lagi baginya.
"Kak tampan!" Teriak Alecta.
Riven tersenyum lebar dan menggendong gadis itu. "Elina cantik sekali hari ini.." Pujinya.
"Riven... Dimana putri Glacia?" Tanya Liliana saat melihat kursi yg kosong.
Riven kembali teringat dgn hal tersebut. "Eeh.. di-dia.. dia akan segera kemari." Ucapnya terbatah.
Liliana hanya mengangguk mengerti dan berdiri disisi lain dari kursi Glacia.
Riven menurunkan Alecta dan menunduk. "Gelangmu indah sekali, dimana kau membelinya?" Tanyanya iseng.
"Oh ini.. temanku memberikannya padaku." Jawab Alecta sumringah.
Gelang transparan yg berbentuk naga, dimana kita bisa melihat gambaran bawah laut yg indah di dalamnya, seperti bola kaca.
"Teman? Kenapa Elina tidak pernah mengenalkan temannya ke kakak?" Kekeh Riven, dia juga sadar bahwa selama ini Alecta tidak pernah bermain keluar istana, lalu darimana dia mendapatkan teman.
"Dia anak yg pemalu. Sekarang, kami bahkan tidak bisa bertemu utk sementara." Ucap Alecta menunduk.
"Kenapa begitu?"
"Ibu tidak mengizinkanku. Aku harap aku bisa bertemu dgnnya."
Riven melirik Liliana yg sibuk memperhatikan pekerjaan para pelayan yg menata meja hidangan.
Dia sendiri bingung kenapa ibunya sendiri melarang Alecta berteman, padahal itu adalah hal yg bagus.
"Siapa nama temanmu itu?" Tanya Riven.
"Nicholas."
"Dia anak laki-laki?" Kekeh Riven. Alecta hanya mengangguk. "Oohh.. apa dia anak yg tampan?"
Alecta mengangguk. "Ya… dia tampan dan manis seperti kakak."
"Kau sangat pandai memuji orang yah… Dasar.." Sentil Riven dihidung gadis itu.
Tak lama kemudian, suara terompet kembali dibunyikan saat putri Glacia mulai memasuki aula. Riven masih mematung karna mengingat kejadian tadi.
"Hey Riven, apa yg kau lakukan disini? Cepat bantu putri Glacia.." Bisik Liliana.
"Oh? Ba-baik…" Ucapnya terbatah.
Riven langsung berlari dan membantu memegangi Glacia menuruni tangga dan memegangi gaun panjangnya.
***
"Sepertinya ada pesta meriah di istana.." Gumam Nicholas. Pria kecil itu memopang dagunya diatas jembatan kayu pelabuhan sembari memandangi cahaya yg berkelap-kelip dari istana yg berada tak jauh dari laut. "Apa kau masih mengingatku, Alecta?"
"Baaaa!!"
Nicholas terkejut saat seseorang mengagetkannya dari belakang. Dan ternyata itu adalah ayahnya sendiri yg sedang menyamar sebagai manusia.
"Ayah…!" Protes Nicholas.
"Apa yg kau lakukan disini sendirian? Melamun itu tidak baik, selain itu bahaya kalo sampai ada yg melihatmu, sana pulang." Ucap ayahnya.
"Ayah sendiri, mau kemana?"
"Mumpung di istana ada acara besar, ayah ingin mengumpulkan makanan dan melihat-lihat. Kau mau dibawakan apa?"
Nicholas menunduk dan merengut. "Aku harap aku juga bisa ikut."
"Nak, bersabarlah. Nanti juga kau bisa berubah jadi manusia seperti ayah dan ibumu…"
"Tapi masih lama. Aku sangat ingin pergi ke istana sekarang.."
"Untuk menemui temanmu?"
Nicholas menunduk.
Ayah Nicholas menghela nafas dan duduk disebelahnya. "Begini saja, ayah akan mengecek kondisi gadis kecil itu dan menemuinya jika kau mau. Apa ada pesan atau sesuatu yg ingin kau berikan?"
Nicholas sumringah dan mengangguk. "Tentu saja! Ayah tunggu disini, aku akan menulis surat." Dia langsung menyelam utk segera membuat suratnya.
Ayahnya hanya bisa geleng kepala.
***
Sebuah anak panah tepat mengenai sasaran dan semua orang bersorak utk pangeran yg mereka dukung.
"Sepertinya pangeran Loius benar-benar akan memenangkan sayambara ini, putri." Bisik Liliana.
"Kau benar.." Ucap Glacia yg memperhatikan dgn seksama. "Hahh.. aku tidak terlalu suka dengannya."
"Loh kenapa? Dia pangeran yg tampan dan pintar."
"Dia kutu buku, selain itu.. entah kenapa aku tidak suka dgn tatapannya yg seperti orang mesum."
Liliana terkekeh. "Berdoa saja semoga dia tidak menang."
"Tapi kerajaannya sangat makmur dan kaya, kita mungkin butuh dukungan mereka." Jawab Glacia.
"Hmm.. kau benar juga." Ucap Liliana mengangguk.
Riven hanya memutar bola matanya. Entah mengapa dia juga tidak suka dgn pangeran tersebut. Sepertinya pangeran itu memiliki sifat buruk yg berusaha dia sembunyikan.
Sembari mereka sibuk menonton persaingan tersebut, seorang pria dgn postur tegas menarik salah satu butler dan mengikatnya disuatu ruangan, merapalkan suatu mantra agar dia tertidur lama. Pria tersebut tak lain adalah ayahnya Nicholas, yaitu Aldous. Dia segera memakai pakaian pelayan itu dan keluar menyamar.
Disisi lain, Alecta kecil yg duduk dikursi samping ibunya merasa bosan dgn pertandingan yg menurutnya tidak seru. Dia memainkan gelang pemberian Nicholas dan melamun. Namun tiba-tiba, secarik kertas muncul dari bawah kursinya, kertas itu bergambar seekor naga. Saat gadis itu hendak meraihnya, kertas tersebut masuk ke bawah kursi dan berjalan sendiri, Alecta menyadari bahwa ada sebuah benang yg menarik kertas tsb.
Dia menoleh ke arah ibunya yg sedang sibuk mengobrol dgn putri Glacia. Saat dirasanya aman, Alecta turun dari kursi dan mengikuti kertas bergambar naga tersebut. Kertas itu menuntunnya ke sebuah ruangan, yaitu tempat penyimpanan bahan makanan istana.
"Hm.. Nicholas.. apa itu kau?" Panggil Alecta saat kertas itu berhenti ditengah rak-rak makanan.
Tiba-tiba beberapa toples air dari makanan yg sedang difermentasikan melayang di udara. Kumpulan air tersebut membentuk seekor naga kecil yg sedang memegang sebuah kertas yg dilipat dan diikat dgn tali biru. Alecta sumringah saat membaca surat itu bertuliskan...
"Dari Nicholas"
Segera gadis kecil itu meraih kertas tersebut dan menoleh kanan-kiri, berharap menemukan orang yg sedang ia cari, tapi tak ada siapapun disini. "Terima kasih.." Ucap Alecta. Air berbentuk naga tersebut melayang kembali ke tempatnya semula.
"Oh ya ampun, Elina.. sedang apa disini?" Tegur seorang pelayan yg terkejut saat melihat Alecta diruangan bahan makanan.
"A-aku.. hm.. aku lapar." Ucap Alecta terbatah.
Pelayan tersebut terkekeh. "Baiklah, Elina mau apa?"
"Hmm.. ti-tidak tau, apa saja yg mengenyangkan."
"Apa ibumu tidak memberimu makan? Hahaha.." Kekeh pelayan tersebut sembari mencari sesuatu dirak paling tinggi.
"Tidak.. a-aku.. aku hanya tiba-tiba merasa lapar, ibu terlihat sibuk jadi aku tidak berani mengganggunya." Ucap Alecta mencari alasan.
"Ooh begitu. Ini, roti coklat. Bawa dan makanlah… kalo masih lapar, sebentar lagi sayambara selesai, hidangan akan dibuka dan kau bisa makan sepuasnya nanti."
Alecta meraih roti itu dan mengangguk. "Terima kasih, bi."
"Sama-sama sayang."
Alecta segera keluar dari ruangan tersebut.
Sembari berjalan mengunyah rotinya, Alecta membuka surat itu dgn senyum yg dari tadi terpancar.
'Hallo Alecta, bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu, ini sudah seminggu. Kenapa kau tidak menemuiku lagi? Apa kau juga tidak diizinkan oleh ibumu? Bagaimana kalo kita bertemu diam-diam? Orangtuaku menutup jalur ke sungai tempat biasa kita bermain, jadi temui aku dipantai setiap hari minggu saja. Semoga harimu menyenangkan.
Nicholas, sahabatmu.'
Alecta mangguk-mangguk mengerti. Pantas saja setiap kali dia menyelinap ke sana, Nicholas tidak pernah ada dijam-jam biasanya. Dia sangat senang dan berniat akan pergi ke pantai sesuai dgn hari yg dikatakan Nicholas.