"Thank you," ucap Agnes menerima sapu tangan dari pria yang tidak ia kenali.
"Suka sama sahabat sendiri emang susah, tapi lebih baik diungkapkan sebelum terlambat kaya saya," celetuk lelaki itu duduk di samping Agnes.
Agnes menoleh, menunggu perkataan selanjutnya.
Lelaki itu menoleh sambil tersenyum. "Saya pernah ada diposisi kamu, cukup lama... tapi karena ketakutan dan kecupuan saya, dia pergi ... selamanya."
"Maksud kamu? Dia meninggal?"
Lelaki itu tersenyum miris. "Iya, bahkan sampai dia meninggal saya belum pernah mengatakan perasaan saya sama dia."
Agnes terdiam, ia mematung untuk sesaat. Mendengar cerita dari lelaki itu membuat ketakutan semakin bertambah, kehilangan orang yang kita cintai pasti sangat menyakitkan. Apalagi kehilangan selamanya.
"Selagi masih ada kesempatan, katakan. Karena tak semua orang punya kesempatan kedua," ucap lelaki itu sebelum pergi meninggalkan Agnes sendiri.
Agnes menghela nafas berat. Perkataan lelaki itu memang benar tapi tak semudah itu melakukan. Terlalu banyak pertimbangan yang harus ia pikirkan, sementara waktu untuk memikirkan diri sendiri selalu terpotong oleh pasien-pasiennya.
*****
Agnes telah kembali ke ruangannya, ia langsung menghempaskan dirinya di kursi. Menatap nanar semua dokumen yang belum ia selesaikan.
"Dokter Agnes ... kata dokter Andi, beliau datang jam 17.00 ya," ucap Anna muncul dari pintu.
Agnes menatap Anna sendu. "Tumben lama banget? Emang poli penyakit dalam ramai?"
"Rame banget, Dok ... Tadi kata bagian pendaftaran ada hampir lima ratus orang sejak pagi," seru Anna.
"Baiklah, oh iya Anna ... boleh aku minta tolong?" tanya Agnes.
Anna langsung mengangguk antusias karena selama ia menjadi asisten Agnes. Agnes tidak pernah meminta tolong seperti ini, dokternya itu lebih suka mengerjakan apa yang masih bisa ia kerjakan sendiri.
"Boleh, dokter mau minta tolong apa?"
"Saya butuh coffe, boleh kamu belikan ke kantin?"
Anna mengangguk. "Boleh, tunggu sebentar Dok."
Setelah memberikan uang pada Anna, Agnes menyandarkan kepalanya di kursi, masih ada 20 menit sebelum dokter Andi datang. Ia memejamkan matanya sejenak, kepalanya terasa berat! Mungkin karena menangis tadi.
Tak butuh waktu lama, Anna datang dengan dua buah cup coffe bertuliskan brand ternama kesukaan Agnes.
"Nih, Dok," kata Anna meletakkan dua cup coffe di atas meja beserta uang yang tadi diberikan oleh Agnes.
"Janji jiwa? Kok cepet banget? Terus ini kenapa uangnya dikembalikan?" tanya Agnes dengan kening yang berkerut dan ekspresi yang bingung.
"Dari your crush, Dokter Agnes," jawab Anna dengan nada suara meledek sambil mengulum senyumnya.
"Crush? Siapa?"
Anna memutar bola matanya malas. "Siapa lagi kalo bukan Pak Reyhan yang sering ngasih makanan ke sini."
"Reyhan?"
Anna mengangguk malas. "Iya, Dok."
"Reyhan masih mengingat coffe kesukaan ku?" gumam Agnes pelan bahkan hampir tak terdengar. Seutas garis melengkung pun terlihat nyata di bibir Agnes, ia nampak salah tingkah namun berusaha untuk tidak menunjukkannya.
*****
Pukul 19.00
Agnes baru kembali dari operasi dadakan bersama dokter Andi, niat awal mereka membahas tentang operasi laparoskopi dari salah satu pasiennya tertunda lagi karena ada operasi dadakan.
Baru saja menyandarkan kepalanya di kursi, Agnes mengurungkan niatnya melihat Anna hendak pergi.
"Anna... mau kemana?" tanya Agnes seorang perawat yang sering menjadi asistennya selama ini.
"Anna mau ke ruang auditorium katanya dokter baru yang ganteng itu udah datang ... jadi Anna nggak boleh ketinggalan."
"Dasar Anna, kamu ya kalo cowok ganteng aja," ujar Agnes geleng-geleng kepala.
"Iya, nggak apa-apa dong, Dok. Anna kan single, jadi sekalian ...."
"Baiklah. Ya udah sana duluan. Nanti saya menyusul!"
"Ih! Dokter nggak usah ke sana ... nanti Anna kalah saing," ujar Anna mencebikkan bibirnya.
"Ya nggak apa-apa. Saya kan cuma mau tahu aja," ujar Agnes santai lalu mengalihkan pandangannya pada berkas pasien di hadapannya.
"Ya udah, saya duluan ya, Dok."
Agnes mengganguk tanpa menoleh pada Anna."Iya, jomblo." Anna mencebikkan bibirnya merespon perkataan Agnes, kalau saja ia tidak buru-buru ingin melihat siapa orang baru yang akan satu lokasi dengan dia, mungkin Anna sudah meladeni Agnes yang meledeknya.
***
Setelah menyelesaikan pekerjaannya. Agnes langsung menyusul Anna dan yang lainnya ke auditorium rumah sakit.
Agnes sampai bersamaan dengan direktur rumah sakit yang adalah pamannya dan seorang pemuda tampan di sampingnya. Agnes sempat terpana namun hanya beberapa saat, setelah itu Agnes sadar siapa lelaki di samping pamannya itu.
"Baru datang?"
Agnes mengangguk. "Iya, saya tadi ada operasi dadakan jadi terlambat datang," jawab Agnes berusaha seformal mungkin agar tidak ada yang menyadari kedekatannya dengan direktur rumah sakit.
"Lalu bagaimana operasinya? Lancar?"
Agnes mengangguk, ingin rasanya ia menggebuki pamannya yang terus mengajaknya berbicara. "Lancar, Pak," saut Agnes berusaha senetral mungkin daripada menimbulkan kecurigaan di antara tenaga kesehatan yang sedang menoleh ke arah mereka.
"Dia ternyata dokter juga!"celetuk Agnes saat ia menghentikan langkahnya tepat di baris paling depan.
"Maksud dokter?" tanya Anna yang tiba-tiba sudah berada di sisinya.
Agnes menoleh karena terkejut. "Iya itu, cowok itu ternyata dokter yang dimaksud."
"Emang dokter udah pernah ketemu?" tanya Anna penasaran.
"Udah, beberapa jam yang lalu." Agnes tidak menyangka kalau ternyata lelaki yang beberapa jam yang lalu ia temui adalah seorang dokter juga.
"Selamat malam semuanya."
"Malam ...," jawab semua orang di ruangan itu kompak.
"Hari ini kalian mendapatkan patner baru dalam bekerja," jelas direktur rumah sakit itu serius.
"Silahkan dr.Ricard Alberto perkenalkan diri anda."
Ricard mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih, Pak." Ricard menundukkan kepalanya hormat pada direktur rumah sakit.
"Selamat malam semuanya, nama saya Ricard Alberto, bisa dipanggil Ricard saya dokter intership di sini. Salam kenal semua semoga bisa bekerja sama dengan baik," ucap Ricard mengakhiri perkenalannya.
"Ada pertanyaan?" tanya direktur rumah sakit, hampir semua orang nampak menga
Dari jauh terlihat Anna mengacungkan tangannya. "Iya, Anna! Mau tanya apa? Dokter Ricard udah punya pacar belum?" tanya Anna tanpa rasa malu.
Ricard tersenyum sambil menggeleng membuat Anna senyum-senyum tak jelas.
"Okay, apakah ada pertanyaan lain?" tanya direkturnya lagi dan kali ini semua benar-benar menggeleng.
"Baiklah, kalau begitu. Silahkan kembali keruangan masing-masing," ucap direktur rumah sakit sebelum mereka semua membubarkan diri.
Saat yang lain sudah membubarkan diri, Agnes pun hendak membubarkan diri namun seruan dari pamannya menghentikan langkahnya.
"Agnes ...."
Agnes menoleh. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang menyadari seruan itu.
"Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Agnes memasang raut wajah senetral mungkin. Padahal, entah untuk alasan apa, ingin rasanya Agnes meneriaki paman yang suka membuatnya jantungan hanya karena memanggil namanya. Ia tidak ingin membuat semua orang curiga dengan kedekatannya dengan direktur rumah sakit.
"Ini, Dokter Agnes perkenalkan ini Dokter Richard yang akan praktek di unit bedah sentral dan Dokter Richard perkenalkan ini Dokter Agnes, beliau yang bertanggung jawab untuk unit bedah sentral saat ini!"
Dari sudut matanya, Agnes dapat melihat dengan jelas bahwa pamannya itu sengaja memperkenalkan dirinya dengan Ricard. Namun, ia tidak bisa protes saat ini.
"Salam kenal, saya Ricard."
"Halo, dokter Agnes," seru Agnes menerima jabatan tangan Ricard sambil tersenyum tipis.
"Oh iya, Agnes. Dia ini dokter yang akan menggantikan dokter Bram untuk sementara waktu," ucap Pamannya.
Agnes mengangguk paham. "Baik, nanti saya minta asisten saya untuk menyerahkan berkas-berkas penting dari pasien dokter Bram yang belum selesai."
"Oke, dokter Agnes ... tolong dibantu ya, saya tinggal ke ruangan dulu," seru pamannya meninggalkan Agnes bersama dokter baru itu sendirian.
"Ternyata kamu dokter bedah," ucap Ricard merubah cara bicaranya.
Agnes mengangguk. "Iya, nanti kalo ada yang belum paham atau apa, ke ruangan saja!" seru Agnes sambil tersenyum tipis, entah kenapa moodnya tidak begitu baik untuk meladeni percakapan diluar kerjaan hari ini.
Ricard mengangguk dari sudut matanya terlihat ia tertarik dengan Agnes karena sejak tadi ia tidak berhenti tersenyum menatap Agnes.
"Baik, terima kasih," saut Ricard.
Agnes mengangguk. "Kalau begitu saya permisi dulu," seru Agnes ramah.
Agnes berusaha senetral mungkin, ia tidak ingin membuat calon rekan kerjanya itu merasa tidak nyaman. Apalagi pamannya menitipkan pesan agar ia membantu dokter Ricard selama ia dalam masa penyesuaian untuk menjadi pengganti dokter Bram yang memutuskan pindah setelah menikah.
"Tunggu ...," seru Ricard menghentikan Agnes yang baru beberapa langkah menjauh.
Agnes berbalik. "Iya, ada apa?" tanya Agnes acuh sambil menatap Ricard datar.
"Mau makan malam bersama?" tawar Ricard sambil tersenyum penuh harap.
"Maaf. Tapi mungkin lain kali, karena saya sedang banyak pasien." jawab Agnes tanpa berpikir sambil menunjuk raut wajah menyesal.
"Oke, next time."
Agnes mengangguk, setelah itu Agnes berjalan cepat menuju ruangannya hanya karena tidak ingin Ricard mengejarnya, walaupun pada akhirnya mereka akan berasa dalam satu tim yang sama. Tapi, hari ini moodnya sedang tidak ingin melakukan hal lain selain menyelesaikan pekerjaannya.
Tanpa Agnes sadari, dari sisi lain. Sepasang mata sedang memperhatikan dirinya dengan raut wajah yang sulit diungkapkan. Kini, lelaki itu tak hanya memperhatikan Agnes tapi berjalan ke arahnya.
"Agnes shift malam?"
Agnes sontak menoleh karena merasa kenal dengan suara itu. Tepat seperti dugaannya. Reyhan! Lelaki itu yang memanggil dirinya.
"Eh Rey, iya ... Aku shift malam hari ini, kenapa?"
"Oh, enggak! Kamu udah makan malam?" tanya Reyhan lembut sambil menatap mata Agnes intens.
Agnes menggeleng."Belum, ini baru mau ke kantin."
"Bareng?" ujar Reyhan menawarkan diri.
Tanpa berpikir Agnes langsung mengangguk. "Boleh," sautnya sambil tersenyum lebar.
****
_____
Auditorium : bangunan atau ruangan besar yang digunakan untuk mengadakan pertemuan umum.
____
CONTINUE ...
THANKS