Kenzo masih tidak mengerti mengapa dirinya begitu baik hati pada gadis asing berpakaian koyak, yang ia anggap sebagai pengemis beberapa saat lalu. Di dalam apartemen pribadinya, gadis itu tampak meringkuk di dekat pintu sembari menenggelamkan kepala dalam tundukan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi Kenzo mulai menyusun sebuah praduga. Gadis itu adalah korban pelecehan seksual. Mungkin!
Sesaat setelah menghela napas, Kenzo bergegas mengambil langkah. Ia berjalan menuju keberadaan gadis itu dengan agak ragu. Di salah satu lengannya, tersampir setelan baju bersih miliknya. Mungkin gadis itu bersedia memakainya agar tak lagi kedinginan. Akan fatal jadinya, jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu, apalagi saat berada di apartemen Kenzo.
"Hei, Nona!" ucap Kenzo agak keras. "Tak bisakah kamu bangkit dan mengganti pakaian? Aku sudah susah payah membawamu kemari bukan untuk melihatmu meringkuk di samping pintu rumahku."
Gadis itu, melainkan seorang Sonya Dewi yang malang, masih saja terdiam. Meski sebenarnya, Sonya mendengar ucapan Kenzo, ia tetap enggan untuk menatap pria yang membantunya tersebut.
"Apa kamu tuli?!" Kenzo muak sekaligus kesal, suaranya kian meninggi juga menggelegar dan menyeramkan. "Hei, Nona!"
Sonya menarik napas sedalam mungkin. Merasa tidak enak, ia lantas mengangkat kepalanya. Di tatapnya seorang Kenzo yang sudah memasang wajah menyeramkan. Namun paras pria itu tetap tak membuat hati Sonya Gentar. Bagaimana tidak, semangat hidupnya sudah redup. Tubuhnya sudah sangat kotor. Mati adalah jalan terbaik, begitu pikirnya. Ia bahkan tidak peduli jika Kenzo akan memakainya setelah tubuhnya digunakan oleh sang ayah tiri.
"Tuan, saya hanya ingin mati. Tapi mengapa Anda justru membantu saya? Seorang gadis yang sudah koyak ini. Kenapa tidak membiarkan saya berada di jalan itu saja?" ucap Sonya lirih. Bibirnya bergetar sehingga suaranya terdengar gemetar. "Apa Anda juga menginginkan tubuh saya?"
"Apa?" Dahi Kenzo berkerut. Heran dan tidak habis pikir mulai melingkupi hatinya. Namun, praduga yang beberapa saat lalu ia pikirkan sepertinya 90% benar. Gadis itu adalah korban kejahatan dari pria biadab dan entah siapa.
"Saya akan menyerahkan tubuh saya, jika Tuan memang menginginkannya. Sebagai tanda terima kasih, sebelum kematian merenggut nyawa saya." Sonya menundukkan kepala.
"Hahaha. Bodoh!" Alih-alih merasa senang lantaran mendapatkan tubuh seorang wanita secara gratisan, Kenzo justru tergelak lalu mengatakan satu butir kata penghinaan. "Kamu pikir aku doyan wanita ternoda sepertimu? Tentu saja tidak, Nona! Jangan gila! Bahkan meski dirimu masih sangat suci, kamu belum tentu masuk sebagai kriteria gadis idamanku. Yang benar saja!"
Terkejut, Sonya sampai membelalakkan matanya. Ucapan Kenzo memang cukup menusuk, tetapi pemikiran pria itu berhasil membuatnya malu. Ya, sebuah rasa yang tiba-tiba muncul di saat nyaris menyerah tentang hidup. Seperti setitik cahaya yang tiba-tiba datang dan memiliki tujuan untuk menghapus keputus-asaannya.
Sonya menyesal karena sudah bersikap begitu tidak tahu malu. Menganggap dirinya sok cantik, padahal dapat dilihat secara gamblang bahwa fisiknya sudah rusak. Banyak bekas merah dari aksi sang ayah tiri. Namun, bisa-bisanya ia justru menawarkan diri pada pria sekaya Kenzo Abraham. Tidak masuk akal, bukan? Bahkan jika Kenzo memang tipikal pria suka jajan, pasti Kenzo akan lebih memilih wanita malam yang tertanda VIP sekaligus mahal, bukan wanita ternoda bekas seperti Sonya.
"Kalau begitu ...." Dengan sisa tenaga, Sonya berusaha untuk bangkit meski kakinya yang terkilir masih terasa super sakit. Namun dengan berpegangan pada handle pintu, akhirnya ia tetap berhasil berdiri, walaupun tidak terlalu tegak.
Detik berikutnya, Sonya menatap Kenzo, kemudian kembali berkata, "Saya ingin pamit saja, Tuan. Lupakan apa yang telah saya katakan barusan. Saya minta maaf, karena membuat Tuan disalahpahami oleh orang lain, sampai rela membawa saya ke tempat mewah ini."
Kenzo mendengkus. Sebenarnya, separuh hatinya merasa senang saat Sonya memiliki pemikiran untuk pergi. Namun sebagian hati yang lain, merasa iba pada gadis itu.
"Kamu bisa tinggal di sini malam ini. Jangan pergi, apalagi sampai bunuh diri. Jasadmu akan merepotkan banyak orang nantinya. Kalau kamu memang benar, adalah seorang korban dari pelecehan, seharusnya kamu hidup dan balas dendam. Bukan kabur dari kenyataan, menghindari dunia lalu ingin bertemu Tuhan. Memangnya bekalmu untuk ke akhirat sudah sangat cukup?" ucap Kenzo, yang cenderung menceramahi gadis itu.
Mata Sonya mengerjap. Sesaat setelah menelan saliva ia berkata, "Tuhan saja jahat pada saya, kenapa saya harus takut jika bekal ke akhirat masih sangat kurang? Mau di dunia atau di neraka, rasanya pasti akan sama saja. Hidup dengan balutan nestapa, tubuh yang sudah koyak, lalu tanpa harga diri, bukankah sama halnya seperti di neraka?"
Kenzo menghela napas. "Kamu tahu?"
"Tentu saja tidak, Tuan."
"Aku juga seorang penjahat. Aku pernah membunuh seseorang, aku juga sempat ingin bunuh diri karena perasaan bersalah terus membuatku frustrasi. Tapi, lihat sekarang, penjahat ini justru hidup di bawah atap dan rumah yang mewah. Sementara korban dari kejahatanku, sudah mati. Apa kamu benar-benar akan membiarkan penjahat itu hidup foya-foya sepertiku? Bukankah lebih baik, dirimu tetap hidup dan membuat penjahat itu menderita? Agar dia tidak bahagia sepertiku sekarang, Nona," ungkap Kenzo.
Sonya tercenung. Matanya pun menatap lebih lebar pada wajah Kenzo sekarang. Pancaran mata Kenzo jauh lebih sendu, yang sepertinya menyimpan banyak penyesalan dan kesedihan. Secara kasat mata, pria itu tampak tampan menawan, gagah, serta terhormat. Lantas, bagaimana mungkin sosok Kenzo yang se-demikian sempurna ternyata adalah mantan penjahat?
Tidak mungkin, pikir Sonya. Ia pikir Kenzo hanya ingin membuatnya tak berencana untuk melanjutkan niat bunuh diri. Begitu awal pemikiran gadis itu. Namun ketika menyadari bahwa Kenzo adalah orang lain yang 'terpaksa' membawanya pulang, Sonya menjadi tidak begitu yakin dengan pemikirannya sendiri.
Mungkin Kenzo benar-benar memiliki masa lalu yang kelam. Oleh sebab itu, ia sampai rela membantu Sonya yang sudah ternoda. Lagi pula, untuk ukuran pria biasa yang memiliki kehidupan normal, sepertinya akan lebih memilih cari aman. Namun Kenzo tidak begitu, dirinya justru menyelamatkan Sonya, bahkan sampai membawa gadis itu ke rumahnya. Kenzo yang seharusnya bisa menurunkan Sonya di mana saja, malah rela memberikan tumpangan tidur.
"Apa Tuan benar-benar seorang penjahat? Dan membantu saya, selain karena iba dan terpaksa, tetapi juga demi membayar rasa bersalah Anda?" tanya Sonya memberanikan diri.
"Entah," jawab Kenzo singkat dan terlihat tidak berselera membahas hal tersebut.
Sonya menelan saliva, kemudian menunduk lagi. "Seharusnya Anda bisa menurunkan saya di pinggir jalan yang sepi, membiarkan saya kehujanan, sekaligus mati. Lagi pula, sekalipun tetap ingin hidup, saya tidak tahu mau ke mana. Saya memang masih muda, tapi saya adalah orang yang super manja. Saya tidak memiliki tempat tujuan dan pekerjaan. Tanpa bunuh diri, saya pasti akan mati kelaparan."
"Anak muda zaman sekarang mudah sekali menyerah, sebelum mencoba ya," ucap Kenzo sarkastik.
"Ya benar. Tapi hanya saya saja, di luar sana banyak pemuda yang memiliki ambisi besar."
"Kenapa tidak mencoba hidup seperti mereka?"
"Karena saya sudah tidak memiliki semangat hidup, untuk apa mencoba hidup seperti mereka jika akhirnya saya memilih mati karena tidak kuat dengan aib ini?"
Kenzo berdecap, sekaligus geram karena gadis super pesimis tersebut. "Diamlah! Dan pindahlah ke sofa, tidur di sana. Esok pagi silakan pergi. Aku malas berbicara dengan gadis bodoh sepertimu. Buang-buang waktu."
Tak lama kemudian, Kenzo memutuskan untuk berlalu. Ia sudah tidak peduli lagi jika gadis itu masih tidak mau menuruti ucapannya. Lagi pula, gadis itu hanya orang asing yang tidak penting. Bantuan Kenzo sudah sangat cukup, bukan? Sudah tidak ada gunanya menceramahi seseorang yang enggan menerima kenyataan dan sudah berada dalam keadaan kehilangan semangat hidup.
***