Teriakan menggelegar itu membuat Keisha menghentikan genjotan pinggulnya ke bokong Callysta, ia melirik ke belakang, lalu tercekat dengan wajah yang pucat pasi.
Begitu pula dengan Callysta sendiri. Hanya saja, gadis yang satu itu terlihat anteng-anteng saja menanggapi kemarahan yang jelas terpancar dari sorot mata, wajah, dan tubuh Arni.
"A—Arni…!" Keisha menelan ludah. "I—ini tidak seperti yang kau bayangkan!"
"Sangat!" jerit Arni dengan bola mata menegang, lalu berkaca-kaca dengan cepat, dan dengan cepat pula air mata itu bergulir menuruni pipinya. "Ka—kau, kau bajingan, Keisha!"
"Arni, dengarkan aku," ujar Keisha. "Sungguh, aku… aku terpaksa!"
"Terpaksa?!" teriak Arni. "Alasan macam apa pula itu, hah? Laki-laki keparat!"
"Arni, please… dengarkan aku. Ca—Callsyta, bersama pamannya itu. Me—meraka!"
"Cukup…!" teriak Arni, lagi.