Delima tersenyum dan kembali menunduk, memandangi jemari kakinya yang setengah terbenam di pasir lalu pecahan ombak membasahi kakinya itu.
Kembali Latifa mendesah dan kali ini cukup panjang demi melihat kondisi sahabatnya tersebut.
"Apakah kau tahu di mana laki-laki itu tinggal?" tanya Latifa kemudian. "Maksudku, di Jakarta itu?"
Delima lantas menggeleng lemah.
"Jangan kau memaksakan dirimu, Delima," ujar Latifa.
"Aku tidak memaksakan diri," kata Delima. "Aku hanya…"
Ya, rasa sesak itu kembali hadir sehingga membuat Delima melenguh pendek dengan mata berkaca-kaca.
"Hei…"
Latifa pun menggeser lagi pinggulnya yang bersisik untuk lebih mendekat ke Delima. Lalu merangkulkan tangan kirinya ke bahu Delima. Kepala mereka saling beradu dengan lembut.
"Dengar, Delima," ujar Latifa kemudian. "Seperti apa pun rasanya rasa rindu yang kau alami itu, aku merasa kau hanya akan mempersulit dirimu sendiri seandainya kau nekat mengunjungi laki-laki itu ke Jakarta."