Chereads / My Ètoile : Secret Love / Chapter 2 - Cinta Pandangan Pertama

Chapter 2 - Cinta Pandangan Pertama

Katanya, cinta pada pandangan pertama tak akan bertahan lama. Barangkali hanya sebatas kekaguman belaka. Perasaan serius macam 'cinta' terdengar kurang meyakinkan.

Bagaimana kau bisa yakin akan mencintai orang yang baru kau temui?

Tak jarang kita akan menyukai seseorang jika melihat dari parasnya yang menawan. Cantik dan tampan itu sebenarnya relatif. Seiring berlalunya waktu, perasaan kagum yang awalnya menggebu akan terasa biasa saja. Malahan bisa hilang tanpa bekas.

Awalnya ku pikir akan berakhir seperti itu. Kekagumanku pada sosoknya mungkin hanya berlaku beberapa waktu, dan akan menghilang dengan kurangnya intensitas di antara kami.

Namun ternyata pernyataan tadi salah besar. Itu tak berlaku padaku.

Aku pun merasa aneh. Maksudnya, bagaimana kau bisa merasa berdebar setiap kali melihat sosoknya meski dari jarak lumayan jauh.

Musim panas tahun lalu, tepatnya ketika festival musik tahunan selalu diadakan di kota ku. Negara bagian selatan yang lebih panas ketimbang sisi utara. Di sini memang tak terlalu luas, namun kota ini tak terlalu terlalu tertinggal kalau dibandingkan dengan kota besar lainnya.

Sama seperti kebanyakan siswa Sekolah Menengah Atas, apalagi dengan statusku yang masih berada di kelas dua membuatku tak terlalu memikirkan bagaimana sistem pelajaran berlangsung. Hal yang biasa terjadi selama liburan musim panas. Pesta hingga pagi, menenggak berbotol-botol minuman keras, berlibur mengelilingi negara bagian lain, atau bergumul di atas ranjang dengan orang random.

Well, beberapa temanku melakukan hal-hal tersebut. Seperti itulah hidup, kata mereka ketika aku menasihatinya untuk tak terlalu berlebihan. Darah muda yang sedang mendidih, begitulah aku mengibaratkan. Mungkin itu juga yang membuatku tak memiliki banyak teman.

Satu-satunya orang yang selalu mengikutiku kemanapun adalah si pengganggu ini, Lucas. Meski aku menyebutnya sebagai pengganggu, diam-diam aku merasa beruntung karena keberadaannya tak membuatku merasa sepi.

Kita memang dekat, namun bukan berarti dia akan serta merta mengerti bagaimana perasaanku. Maksudku, apa yang bisa kau harapkan ketika bercerita mengenai orang yang kau sukai pada temanmu?

Aku tak akan mengambil resiko besar kalau harus mengatakan hal tersebut pada Lucas. Melihat dari bagaimana respon pemuda itu menanggapi tarian para lelaki di atas panggung sedikit membuat mataku terbuka. Bahwa, sekalipun kau sangat dekat dengan temanmu, tak menjamin dia akan mengerti apa yang kau rasakan.

Sebenarnya, baik diriku sendiri juga sama-sama tak paham dengan perasaan ini.

Terlalu aneh dan tiba-tiba.

Aku ingat benar bagaimana pertama kali merasakan sensasi geli di dalam perutku. Saat Festival musik musim panas di adakan, dimana sebenarnya bukan hanya jajaran band-band lokal yang unjuk bakat, tetapi juga beberapa pertunjukan seni lain ikut tampil. Kebanyakan diisi oleh para mahasiswa-mahasiswi seni yang memang memiliki tujuan sendiri pada penampilan mereka. Bisa dibilang sebagai usaha mengambil hati beberapa produser besar, mereka juga datang demi menonton pertunjukan bakat dan diam-diam memberikan kartu nama pada sekelompok mahasiswa yang beruntung.

Aku mendengar semua itu dari Lucas. Bisa dibilang wawasannya lebih luas daripada diriku.

Tetapi, aku terlalu malu untuk menanyakan perihal salah satu kelompok tari yang cukup membuatku terperangah. Bukan tentang seberapa kompak tarian mereka, atau seberapa hebat koreografi yang membuat gerakan mereka sangat indah.

Mataku tak bisa lepas pada satu sosok. Dia yang selalu terlihat berada di tengah panggung, menjadi center dari koreografi tersebut, menjadi titik pusat semua perhatian. Rambut berwarna pirang ke abu-abuan tampak melambai-lambai seiring tubuhnya semakin meliuk-liuk. Bergerak dari satu sisi ke sisi lain, pergantian posisi terlihat indah dan elegan. Baju yang melekat terlihat cukup ketat, membuat setiap lekukan pada tubuhnya menjadi semakin jelas. Lengannya cukup kurus untuk ukuran pria, tetapi dalam mataku sangat indah. Walaupun jarak kami terkesan jauh, namun secara ajaib aku bisa melihat bagaimana jari-jemarinya terpahat dengan lentik. Begitu juga dengan dadanya, tak terlalu bidang—

EH?

Aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lain. Ini sudah terlalu jauh bagi orang asing sepertiku untuk mengamati tubuh seseorang sedetail itu. Aku merasa malu pada diriku sendiri. Betapa tidak bermoralnya pandanganku yang secara reflek menyusuri setiap jengkal tubuh seorang pria asing.

Tapi harus ku akui, pria itu sangat mempesona.

Perasaan aneh menghantuiku setelahnya. Gejolak asing yang tak pernah ku rasakan sebelumnya, kini sering ku rasakan setiap kali tanpa sadar pikiranku tertuju padanya.

Sejak pertemuan waktu itu, lebih kurangnya sudah berlalu setahun lebih. Sejak itu pula aku dan dia tak pernah lagi bertemu. Tentu saja ini sangat wajar. Bagaimana bisa orang biasa-biasa sepertiku bertemu kembali dengan sosok bintang bersinar itu. Meski kota ini terbilang kecil, tetapi kemungkinan bertemu orang asing untuk kedua kalinya jarang terjadi.

Ini hanya perasaan kagum, tidak lebih.

Berkali-kali aku selalu mengatakan itu setiap kali pikiranku menjadi tidak terkontrol. Dalam artian, bisa saja muncul bayangan tentang pria tersebut kapanpun, tak terduga.

Sebenarnya ini sangat membuatku stres. Aku tak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi gejolak aneh tidak jelas. Sudah bukan waktunya untuk merasakan pubertas. Menginjak usia delapan belas, kurasa itu cukup dewasa untuk berpikir secara logis.

Cinta pada pandangan pertama tak akan kekal.

Tetapi penolakan realitas di dalam alam bawah sadar rupanya tak berjalan lancar. Ketika aku mendapati diriku terperangkap pada manik mata biru shappire, aku menyadari bahwa ini bukanlah candaan belaka.

Ini nyata. Mau tak mau aku harus mengakui kalau aku sudah jatuh terlalu dalam pada sosoknya.

"Akh! Panas sekali!" Suara bass mengintrupsi lamunanku. Lucas tengah mengipas-ngipas sisi kiri wajahnya dengan tangan kiri, sedang yang kanan sedang menempelkan gelas berisikan batu-batu es pada pelipisnya. "Ku rasa kita harus mencari tempat berteduh."

"Well, ini memang musim panas kan.." sahut ku. "Akan tidak wajar kalau saat musim panas malah turun salju."

"Haha. Lucu sekali Bung."

Lucas memutar bola matanya jengah. Sepertinya dia benar-benar tak kuat berada di bawah terik matahari seperti ini.

"Aku masih ingin berada di sini."

"Terserah, aku akan mencari tempat lebih sejuk."

Aku tak mengikuti ketika pemuda berkulit kecoklatan itu melangkah menjauh. Terlihat cukup kesusahan mengingat banyaknya orang yang masih setia memadati area ini. Lucas harus memberi sedikit dorongan pada siapa saja di depannya demi mendapatkan akses jalan.

Lucas yang malang.

Sebenarnya salah satu alasanku tetap berada di sini tak lain karena posisiku berdiri terbilang terlalu di tengah. Butuh tenaga ekstra untuk keluar dari kerumunan masa. Aku juga tak ingin merelakan spot paling strategis yang sudah ku dapatkan dengan menunggu beberapa jam sebelum pertunjukan di mulai. Semua ini ku lakukan demi bisa melihat dengan jelas orang itu—

Huh?

Panggung telah berganti setting, dimana diisi oleh peralatan band. Tak ada grup tari. Tak ada orang itu.

"Sialan."

Ini semua karena Lucas. Kalau saja dia tak mengobrol tadi, aku tak akan kehilangan momentum terakhir penampilan orang itu.

Lalu apa yang harus ku lakukan? Menunggu sampai festival musim panas tahun depan?

"Tidak. Tak ada lagi kata menunggu. Sekarang atau tidak sama sekali."