Chereads / My Ètoile : Secret Love / Chapter 3 - Langkah Awal

Chapter 3 - Langkah Awal

Matahari di atas sana benar-benar bekerja sangat keras untuk membakar apapun di bawah sini. Walau rasanya seperti dipanggang hidup-hidup, tak banyak orang yang menjauh dari lingkup kerumunan untuk mencari tempat berteduh. Musim panas membuat semangat mereka ikutan menggelora. Tak peduli kulit mulai memerah ataupun keringat bercucuran, orang-orang ini tetap berjoget ria mengiringi alunan musik band semi rock di panggung sana.

Aku cukup kesusahan untuk keluar dari kerumunan ini, sempat menyesal juga kenapa tak mengikuti kepergian Lucas beberapa saat lalu. Meski tak sepenuhnya mudah, setidaknya dua orang lebih baik ketimbang hanya sendirian. Matahari di atas sana benar-benar tak membantu menyingkirkan kepadatan. Rasanya lebih buruk daripada terjebak di sauna. Dan jangan lupakan bau keringat yang menjadi satu sama lain. Astaga! Aku harus berjuang mati-matian keluar dari sini dengan menahan nafas.

Ini musim panas paling mengerikan.

Bajuku sudah tak berbentuk ketika keluar dari kerumunan tadi. Beberapa kali tak sengaja ditarik dan didorong oleh orang tak dikenal. Setidaknya memiliki tubuh agak besar membuatku tak langsung terjatuh saat mendapatkan berbagai rintangan seperti tadi. Keadaan di luar tak jauh berbeda dengan saat berada di tengah penonton, hanya saja sedikit lebih lega dan bisa menghirup udara dengan bebas.

Aku menatap ngeri ke arah tempatku terjebak beberapa saat yang lalu. Seseorang (mungkin staff) terlihat menyiram para kerumunan penonton dengan air dari selang. Seperti sedang menyiram tanaman saja. Bukannya marah, orang-orang tersebut justru semakin liar bergerak. Melompat-lompat, berjoget mengikuti alunan musik yang sangat memekakan telinga.

Benar-benar para pecinta keramaian. Berbanding terbalik dengan diriku.

Terdengar aneh bukan?

Pria yang lebih mencintai kesunyian malahan berakhir di tempat berisik dengan banyak orang mengisi. Tak perlu banyak alasan sebenarnya. Sedari awal aku pun sudah yakin pada keputusanku berada di tempat seperti ini, rutin setiap tahun semenjak hari itu. Tetapi, siapapun juga tahu kalau hal-hal yang mungkin menjadi rutinitas, hal-hal penuh pengulangan akan mencapai masa berakhirnya.

Pekerjaan, sekolah, percintaan, pernikahan semua aspek yang mungkin bisa berlangsung dalam jangka waktu lama tentunya dapat mencapai batas akhir mereka masing-masing.

Barangkali ini juga akhir dari pertemuanku dengan pria itu. Tak ada yang tahu. Maka dari itu, tekadku semakin membulat. Apapun bisa terjadi, masa depan pasti akan berubah. Jadi, sebelum tak ada lagi kesempatan yang bisa ku raih, keberanian membawa kaki ku melangkah untuk mencari keberadaan pria bermana biru shappire.

Secara awas menelusuri setiap tempat yang bisa mataku capai. Mencari dengan teliti keberadaan pria itu. Mungkin, musim panas kali ini tak bisa sepenuhnya dianggap buruk. Karena, hanya butuh beberapa detik ketika aku berhasil menemukan sosok tersebut.

Berdiri di sebelah kanan panggung dengan beberapa orang, ku pastikan mereka adalah anggota grup tari yang sama. Terlihat dari kemiripan pakaian mereka. Rambut pirang keabu-abuan miliknya nampak mencolok di antara anggota lain. Apakah dia sengaja melakukan perubahan warna rambut untuk menjelaskan tentang posisinya sebagai center? Padahal hal itu sama sekali tak diperlukan. Percaya atau tidak, kalau seluruh orang di sini ditanyai secara bergilir mengenai siapa yang paling bersinar di antara anggota grup tari tersebut, aku bisa pastikan kalau semuanya akan setuju tentang pria bermata biru shappire lah yang paling berbeda.

Dia sangat luar biasa. Semakin aku mendekat, semakin aku bisa melihat bagaimana menawannya dia. Rambut pirangnya tampak melambai-lambai tertiup angin. Menambah kadar pesonanya. Setiap kali dia tersenyum, gigi taringnya akan semakin jelah terlihat. Bukannya menyeramkan, justru gigi taring itu membuat wajahnya yang memang sudah manis menjadi bertambah manis.

Aku tak mengerti bagaimana bisa seorang pria bisa berwajah semanis itu. Apakah dia perwujudan dari Dewi Aprodite? Manusia jarang memiliki wajah semenawan dirinya.

Ini membuatku agak, tidak percaya diri.

Yeah, kau tahu, aku bukanlah pria tampan ataupun kaya. Rambutku pendek dan kecoklatan, kulitku juga sekarang sedang tak baik-baik saja karena terpapar sinar matahari terlalu lama. Menjadi kemerahan seperti kepiting rebus. Dan aku sedang tak membawa buket bunga ataupun satu keranjang cokelat untuk ku berikan padanya. Hanya ada segelas minuman pemberian Lucas yang sudah hampir habis. Tentu saja itu bukanlah ide yang bagus kalau aku datang dengan tangan kosong.

Terlihat seperti pecundang.

Aku tak ingin kesan pertama yang ku berikan malahan membawa citra buruk untuk terus diingat. Ini bisa jadi pertemuan terakhirku dengan pria itu.

Ku putuskan untuk mencari apapun yang sekiranya bisa merepresentasikan ketulusanku. Beberapa stand berdiri saling bersebelahan satu sama lain. Tetapi terpisah menurut apa yang mereka tawarkan. Jejeran stand sebelah kanan berfungsi sebagai penyewaan permainan. Sasaran tembak, mencetak skor dengan melemparkan bola tenis, melemparkan gelang-gelang kecil pada satu titik. Permainan apapun dengan iming-iming hadiah paling besar kalau kau bisa memperoleh poin besar juga. Tetapi, di usiaku yang cukup dewasa ini, segala yang tampak menyenangkan itu hanyalah tipuan semata yang dilakukan oleh si pemilik kios. Lucas pula yang memberitahuku perkara tersebut.

Di sebelah kiri, kios-kios makanan dipadati oleh banyaknya orang-orang. Antriannya sangat panjang. Kalau begini, kesempatanku untuk bertemu dengan dia semakin menipis. Tetapi, jika aku datang dengan tangan kosong saja, itu lebih memalukan.

Tidak, aku tak boleh menyerah.

Pasti masih ada satu kios yang tak terlalu dipadati oleh pengunjung.

Pencarianku membuahkan hasil, sebuah kios terlihat lumayan lengang. Hanya ada satu pembeli saat aku tiba di sana. Seorang anak kecil yang langsung pergi tepat setelah aku sampai. Well, ini berarti aku tak perlu mengantri lagi.

"Permisi.."

"Silakan Tuan~"

Ada berbagai macam buah-buahan berbalut karamel di depanku. Anggur, strawberry, apel dan nanas. Tetapi yang paling familiar untukku adalah permen apel berwarna merah dan mengkilap. Hasil dari zat gluktosa yang mengeras membuat sensasi manis tak membosankan menyebar di seluruh dinding-dinding mulut. Karamel telah mengeras akan pecah ketika digigit, lalu kau bisa merasakan serbuk-serbuk keras yang nantinya meleleh oleh suhu hangat lidah. Rasa yang tak pernah mengecewakan untuk dicoba terus menerus.

Aku sering menikmati permen apel ini ketika kecil. Saat mengunjungi festival atau ke wahana taman bermain, daripada makan permen kapas yang sembilan puluh persen berisi lebih banyak angin daripada gula. Bentuk besarnya menipu mata. Maka pilihan paling benar adalah permen apel.

"Tolong permen apelnya satu."

"Hanya satu saja? Saat ini sedang ada promo beli dua gratis satu, Anda tak akan rugi."

Walaupun aku tahu itu hanyalah teknik marketing belaka, tawaran tersebut tak sepenuhnya merugikanku.

"Tentu, aku beli dua kalau begitu."

Pria bertopi putih dengan beberapa bercak kuning tersenyum lebar. Merasa bahwa teknik marketingnya sukses besar terhadapku. Dia dengan cekatan mengantongi tiga buah permen apel merah mengkilap dalam satu bungkus yang sama.

"Berapa?" tanyaku sembari mengeluarkan dompet, menghitung lembaran uang yang biasanya ku berikan seharga dua buah permen apel. Bisa dibilang pertanyaanku barusan sekedar basa-basi semata, karena aku sudah terlalu hapal berapa harga untuk satu buah permen apel.

"11 dolar."

Sekarang aku mengerti alasan pria ini tersenyum lebar.