Gagang pada tali skiping mengayun lantas berbenturan dengan kursi-kursi kayu yang tersusun rapi. Kegiatan itu mengeluarkan irama yang khas pun dinamis. Tubuh tinggi yang memakai pakaian serba hitam, jas dan celana bahannya. Tali skiping melilit di tangan kanan yang terbungkus sarung berbahan lateks tidak dapat menghentikan kegiatan, tangan lain yang sama-sama terbungkus pun membenarkan dasi yang terbingkai indah di kerah.
Bunyi benturan itu menggema di ruangan besar tanpa penghuni. Banyak gambar abstrak sebagai hiasan pada kaca yang tersebar rapi terhubung ke dinding. Di bagian paling dalam bangunan tersebut terdapat sebuah mimbar besar yang biasa digunakan pastor untuk memimpin misa. Sosok itu mendekat ke arah mimbar lalu berdiri di atasnya, mengetuk-ngetuk meja dengan gagang kayu, dan menghirup udara sambil mengurai senyum.
Laki-laki itu berjongkok untuk melihat kolong mimbar yang kosong. Dia tertawa sampai bahunya bergetar, tetapi sorot mata itu berubah. Mata sipit laki-laki itu menoleh ketika bunyi benda berat terseret terdengar. Senyum kembali muncul bersama tatapan kian tajam.
"Berhenti main-main, keluar!" titah laki-laki itu dengan sentakan.
Wanita tua yang mengenakan pakaian hitam berpelat putih bersembunyi di bawah kolong meja. Belakang mimbar. Wanita itu bersembunyi seraya menutup mulut, sesekali kedua tangan menyatu dan memegang erat salib, memohon perlindungan dari Tuhannya. Air mata mengalir sangat deras ketika bunyi langkah kaki semakin mendekat ke arahnya. Tubuh ringkih itu sudah lelah, suara pun hilang untuk sekadar berteriak meminta pertolongan.
"Ta-da!" kejut pemuda itu yang mengenakan topeng untuk menutupi setengah wajahnya.
"Aa!" teriak wanita itu.
Kalung salib miliknya terjatuh ketika tali skiping warna putih melingkar di leher. Tangan kanan terulur untuk meraih dan tangan kiri berusaha untuk melepas, tetapi kekuatannya tidak setimpal. Tangisan terakhir sang biarawati, ketika tahu nyawanya telah berakhir bukan di sisi Tuhannya.
Pria berjas itu mengaitkan gagang kayu pada mik di atas mimbar dan mengikatnya di sana. Bibir merapal mantra lalu mendoakan seraya tersenyum hangat.
"Amen!" ucap lirih laki-laki itu, dia berdiri tegak dengan tangan di samping badan, kemudian membungkuk penuh penghormatan.
Dengan senyum lebar menemani langkah ringan, pria itu keluar sembari merenggangkan kedua tangannya. Menghirup oksigen dengan mata terpejam dan melepas setengah topengnya.
∆
Unit Kejahatan Kepolisian Suwon langsung menghampiri Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Gwonseon-dong. A-Yeong, inspektur junior yang baru masuk ke unit ini disuguhi laporan pembunuhan. Dengan semangat luar biasa, sang maknae berlari terlebih dahulu setelah mobil berhenti tidak jauh dari gereja.
Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu mengeluarkan kartu nama ketika dua penjaga di dekat garis polisi menghentikannya. A-Yeong memasuki ruangan besar itu lalu sejenak menunduk, dia bergegas mendekati meja besar di belakang mimbar. Perempuan itu menutup mulut, napas menderu. Mata tidak kuasa menahan air yang ingin jatuh, hidung bangir A-Yeong ikut kembang kempis.
"Sialan!" umpat A-Yeong ketika air mata tidak bisa lagi ditahan.
"Aku?" sela salah satu tim forensik yang menyelidiki TKP, pun teman dekat A-Yeong.
"A-ni[1]!" balas A-Yeong cepat. "Apa kabar, Yeong-Ju?"
Han Yeong-Ju tersenyum ramah sambil menepuk pelan kepala A-Yeong.
A-Yeong menelisik sekitar. Gereja itu berwarna merah bata dengan gaya klasik, mengingatkan perempuan itu pada tempat suci yang selalu dikunjunginya. Air mata kembali menetes ketika dia ikut menyelidiki TKP. Setiap bangku panjang yang berjajar rapi di kedua sisi diteliti satu per satu. Tidak ada tanda-tanda kekerasan pada bangku-bangku itu. A-Yeong menunggu para seniornya sebelum melihat lebih jauh.
Di balik umpatan ada rasa kalut yang menggelayut di dalam hati A-Yeong. Sudah lima tahun berlalu dan dirinya belum bisa melepaskan kejadian itu. Melupakan? Tidak ada niat sama sekali. Dia harus menjadikan ingatan itu sebuah motivasi agar tidak pernah berhenti. A-Yeong duduk di kursi panjang ketika senior yang paling dihormatinya datang.
"Gwaencanha?[2]" tanya pria yang gaya rambutnya berat ke samping kanan.
"Yee, Seonbae![3]" balas A-Yeong berdiri.
Inspektur senior sekaligus pemimpin tim di unit kejahatan itu langsung menelusuri seluruh tempat. Semua yang telah A-Yeong jelajahi sampai seluk-beluk ruangan terdalamnya. Mata elang pria berusia tiga puluh lima tahun itu sangat menakjubkan. Tidak sedikit yang memuji akan keterampilannya. Hal yang tidak bisa dilihat kebanyakan manusia, dapat ditemukannya walau hanya serpihan plastik setipis balon.
"Apa ini?"
Belum hati A-Yeong memuji lebih jauh, laki-laki itu sudah menunjukkan bakat istimewa. Serpihan hitam yang diapit jempol dan telunjuk itu seperti pecahan beling, menimbulkan pantulan cahaya. Membuat A-Yeong mendekat lalu menelusurinya bersama. Salah satu kebahagiaan terbesar A-Yeong.
"Jin-Kyung Seonbae!" panggil A-Yeong, "Penglihatan Seonbae benar-benar luar biasa!"
"Pujian tiba-tiba?" Jin-Kyung tidak pernah menanggapi dengan serius karena dia tahu apa sebenarnya yang diinginkan maknae-nya itu.
Semua orang yang telah berpencar, kini berkumpul di TKP untuk mengidentifikasi mayat. Mulai dari tali skiping yang melilit sangat kuat di leher lalu menguncinya pada tiang permanen yang berdiri kokoh sehingga mayat kepalanya terangkat ke atas. Tangan yang hendak meraih kalung salib yang tergelatak. Pun baju biarawati yang dikenakan.
Yeong-Ju menghampiri A-Yeong dan Jin-Kyung yang sedang mendiskusikan sesuatu. Melihat teman baiknya telah berubah sedikit demi sedikit membuat perempuan itu mengeluarkan seulas senyum. Jin-Kyung Seonbae pun tidak lagi merasa risi atau ilfil pada A-Yeong.
"Yeong-Ju!" panggil Jin-Kyung ketika melihat bawahannya itu hanya melihat dari jarak jauh.
"Ada jejak?"
Yeong-Ju seketika kehilangan senyum manisnya. Ekspresi wajah berubah menjadi kecut pun terlihat frustrasi. Perempuan itu berjalan perlahan seraya membuka sarung tangan yang membuatnya gerah.
"Padahal temperatur lumayan rendah, tapi keringat kayak enggak ada habisnya!" keluh Yeong-Ju melihat A-Yeong yang ikut memelas untuk menunjukkan antusiasme.
"Enggak ada?" tanya Jin-Kyung membutuhkan jawaban pasti.
Yeong-Ju dan A-Yeong berpandangan. Yeong-Ju hanya bisa menggeleng.
Setelah membersihkan TKP, para petugas bersiap untuk pulang. A-Yeong meminta izin untuk ke luar sebentar. Perempuan itu menahan sesak sedari tadi dan tidak mampu lagi menahan. Cairan asin mulai mengalir deras seolah-olah tidak akan habis sebanyak apa pun si empunya mengeluarkan.
"Eommonim, mianhae[4] ...," ungkapnya di sela tangisan.
Eomma ..., bantu A-Yeong, batinnya terisak.
Seluruh tim kembali ke posisi masing-masing. Tim kejahatan mulai melakukan brifing. Kasus yang belum terpecahkan dalam enam tahun ini membuat malu para petinggi dan tim kejahatan serius.
"Kita akan dibantu oleh NCI. Mereka akan memberi bantuan psikolog kriminal untuk mempelajari gerak-gerik pembunuh. Mereka juga akan memberi tahu ciri-ciri khususnya setelah penelitian!" terang Jin-Kyung pada rekan satu timnya.
A-Yeong kehilangan harapan. Dia tidak pernah menduga bahwa kalau pembunuh itu masih hidup setelah berhenti membunuh dalam dua tahun ini. Kenyataannya ... tidak ada yang bisa menghentikannya. Pembunuh orang suci.
Catatan:
[1] A-ni: Enggak.
[2] Gwaenchanha?: Baik-baik aja, kan?
[3] Yee, Seonbae: Ia, Senior.
[4] Eommonim, mianhae: Ibu, aku minta maaf.