Ha-Kyeong berjalan cepat dengan dua tangan menenteng kopi. Dia mendekatkan secangkir kopi di tangan kanannya pada A-Yeong.
"Pastor Hye-Goon belum bisa ditemukan?" tanya Ha-Kyeong pada gadis yang tengah murung itu.
"Belum ...," desah A-Yeong. Perempuan itu menatap ramah pada laki-laki yang memiliki profesi serupa. Kepalanya bergerak ke samping kiri untuk menyuruh Ha-Kyeong duduk.
A-Yeong memandang langit malam seraya menyesap aroma kopi kesukaannya. Rambut sebahu yang ikatannya sudah melonggar, tetap dibiarkan. Raut wajah lesu, tidak bersemangat, dan tidak bergairah sama sekali ketika pembunuhan seperti ini terjadi. Selalu.
"Semangat, Maknae-ah!" tegas Ha-Kyeong seraya menepuk pundak wanita di samping kanannya. "Jangan biarkan kelemahan kita terlihat orang lain!"
"Ia ia, Seonbae-nim!" balas A-Yeong malas, "kita dulu sekelas kenapa aku harus jadi maknae, sih?"
Ha-Kyeong tidak ingin menjawab ocehan temannya itu. Memang benar adanya, mereka satu sekolah dan memiliki jenjang pendidikan yang sama, tetapi kecerdasan seseorang tidak bisa di-sama-rata-kan. Khususnya bagi A-Yeong yang bertindak sepuluh kali dan berpikir sekali.
Ha-Kyeong bangkit tanpa mengatakan apa pun, membuat perempuan yang masih merenggut itu semakin kesal. Tidak terlalu, mungkin. Perempuan itu hanya mengepalkan tinju lalu memijat pahanya sampai ke lutut. Menghangatkan tubuh bagian bawah sebelum akhirnya bangkit menyusul.
Keduanya berjalan memasuki bangunan megah berbentuk kotak dengan tiga lantai. Pada bagian pojok atas tertulis Kepolisian Kota Suwon yang ditulis menggunakan huruf Hangeul. Pada bagian lantai dua dan tiga dinding depan diganti menggunakan kaca tebal.
A-Yeong menarik lengan baju laki-laki yang ada di depannya ketika melihat petinggi kepolisian datang dengan baju dan jas lengkap. Di samping laki-laki tua itu, seorang wanita muda berjalan beriringan. Ha-Kyeong menatap A-Yeong lalu menoleh ke arah pandangan perempuan di depannya.
Mereka masuk dan menunduk ketika melewati dua orang itu. Semua orang berdiri kecuali pemimpin tim satu, pemimpin mereka, Choi Jin-Kyung. A-Yeong berdiri di depan meja bersebelahan dengan Ha-Kyeong lalu melihat lagi ke sekeliling.
"Baik. Perkanalkan saya Hong Eun-A. Saya bertugas sebagai profiler di NCI dan dikirim ke sini untuk membantu. Mohon kerja samanya," ucap perempuan yang berada di dekat inspektur jenderal.
"Dia akan menjadi psikologi kriminal untuk kasus baru 'itu' di kepolisian kita. Jadi, silakan bekerja sama dan berbagi informasi!" Perintah laki-laki tua yang kumisnya pun ikut beruban.
"Ekhem!" Jin-Kyung berdeham. Bangkit sembari tidak peduli dengan bantuan atau pun perintah tersebut. Mengabaikan wanita berambut pirang yang sejak tadi sudah bersikap sopan dan ramah.
Ha-Kyeong dan A-Yeong terkesima dengan perempuan itu ketika mendengarkan penuturan ketua tim. Sejoli itu saling tatap sebelum akhirnya ikut mengangguk sebagai sambutan.
"Kenapa kalian semua?" tanya Bang Ji-Sup, Yeonggam[1]. Berdiri melirik pada Jin-Kyung.
Eun-A menatap A-Yeong dan Ha-Kyeong bergantian. Dia tidak pernah mengira kalau dirinya yang akan menjadi ... manusia yang hidup, tetapi tidak terlihat. Dengan gelar dan kehormatan yang diterimanya di NCI, dia sama sekali tidak dihargai di ranah kepolisian kota.
"Kyeong-ah. Ayo mulai!" titah Jin-Kyung.
"Ya?" balas Ha-Kyeong tidak mengerti sambil melirik A-Yeong.
"Kita harus cari tahu, apa orang-orang NCI berguna bagi kita atau enggak!" sarkas Jin-Kyung, "jangan menyia-nyiakan waktu berharga kita."
Semua orang, tidak terkecuali inspektur jenderal mengerang dan merasa bersalah pada wanita berambut panjang itu.
"Yak!" elak Ji-Sup, "sebentar lagi kita brifing. Jadi, lanjutkan istirahat kalian sampai jam sembilan. Kita enggak akan bisa pulang malam ini."
Dua tubuh, dua jiwa, dan dua kepribadian, tetapi satu otak. Dua laki-laki itu saling tatap dan menunduk saat inspektur jenderal pergi meninggalkan si profiler dan semua orang yang ada di ruangan itu. Kemudian saling tertawa kecil. Cara mereka menahan bawahannya memang berbeda, tetapi tetap saja prinsipnya sama.
Ha-Kyeong langsung fokus menyiapkan segala materi tentang brifing. Sesekali dia melirik rekan kerja di sampingnya dan menahan sesuatu untuk diutarakan. Ke sepuluh jarinya teramat lancar bermain di papan ketik dan mouse. Bola mata mengikuti setiap kalimat di monitor, naik turun. Tangan kiri meraih kopi yang tinggal satu teguk lagi.
Suasana kantor makin berisik mengikuti waktu yang bergulir. Kian malam, A-Yeong mengantuk. Dia menunggu kabar dari seseorang yang biasanya datang menghibur. Seorang yang menggantikan Suster Ver ... bahkan di hatinya nama itu sulit untuk disebut.
Ke mana perginya Pastor Michael? Ada apa dengan Bapa? A-Yeong menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Kelopak mata tertutup, embusan napas berat serta pendek. Kedua tangan di samping pahanya terkepal kuat saat bayangannya melintas jauh melewati masa. Enam tahun lamanya.
"Jeogi[2]...," bisik Eun-A menepuk pelan bahu A-Yeong. Perempuan itu membuka mata perlahan. Wanita cantik di depannya tersenyum anggun sambil memegang rambutnya yang terjulur ke depan jika menunduk.
"Nee ... ehm ... a ...." A-Yeong bingung dengan nama panggilan yang harus diberikan. Seonbae? Eonni? Atau pangkat yang sudah diraihnya? Apa pangkatnya?
Wanita itu terkekeh sambil menegakkan punggung lalu menjawab, "Panggil Eonni juga enggak apa-apa, A-Yeong."
"Ah, gitu ... ia, Eon—"
"Ha-Kyeong?" potong Jin-Kyung dengan memanggil laki-laki di sebelah kanan A-Yeong.
"Ia?"
"Nanti saja perkenalannya." Jin-Kyung menegaskan kepada dua wanita yang kini menatapnya tanpa kata-kata.
"Sekarang ... mari kita berbagi informasi," lanjutnya sarkas. Eun-A yang mendengar itu melipat tangan di dada sambil berusaha mengatur emosi.
Semua orang berkumpul di ruangan besar. Meja berbentuk leter U dengan setiap satu meter di hiasi mik. Ada dua puluh delapan kursi yang berjejer mengikuti bentuk meja. Inspektur senior Bang sudah berada di kursi pertama sebelah kiri. Jin-Kyung duduk berseberangan diikuti anggota tim satu dan dua.
Inspektur senior Bang meminta Eun-A duduk di belakangnya agar mudah menganalisis. Akan tetapi, Eun-A menolak dan memilih duduk di belakang A-Yeong yang jauh dari layar.
Kaca jendela yang menghias dinding di belakang punggung Bang Ji-Sup ditutup tirai hingga rapat. Gelap. Sinar dari alat proyeksi muncul, menampilkan sebuah gambar salib berdarah menggantung sebuah kalung dengan tali skiping. Semua orang memperhatikan dengan saksama karena harus membiasakan diri. A-Yeong menunduk sambil mengepalkan tangan dan mengurut kakinya dinamis dari paha sampai lutut.
"Pembunuhan pertama ...." Ha-Kyeong memimpin rapat. Sekali lagi dia harus melihat kesedihan terdalam. Tidak bisa dilupakan tahun terpuruk yang dialami sahabatnya.
"Gereja St. Michael di Gwonseon-dong. Seorang biarawati tercekik—"
"Pembunuhan pertama?" potong Eun-A dengan sepasang mata fokus pada layar dan beralih pada A-Yeong.
Semua orang menoleh ke belakang. Sumber suara yang sedang bersiap dengan mengikat rambutnya lebih tinggi dari telinga. Memperlihatkan tanda lahir seperti memar di sisi kiri lehernya. Hong Eun-A berjalan ke depan sambil menanggapi kalimat tanya yang dilontarkan pembawa acara.
"Suster Verda jelas target peningkatan si pelaku. Tidak mungkin pembunuhan yang pertama!" sanggah Eun-A. Membuat orang saling beradu tatap dalam kebingungan.
Catatan:
[1] Yeonggam: Inspektur
[2] Jeogi: Permisi