Eun-A mengeluarkan diska lepas dari saku jas di samping kiri pinggang. Wanita berusia akhir tiga puluhan itu memberikan benda kecil tersebut pada Ha-Kyeong dan memintanya untuk memasukkannya pada laptop. Laki-laki itu pun mengikuti perintah setelah bertukar isyarat dengan sang ketua. Eun-A menyipitkan mata memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Ha-Kyeong undur diri untuk mempersilakan Eun-A naik ke atas mimbar.
Tidak semua orang fokus memperhatikan. Beberapa dari mereka bisik-bisik tetangga membicarakan tabiat Eun-A dan haus promosi sampai harus ikut campur ke kawasan orang lain. Kata profiler memang terdengar hebat dan tidak banyak orang yang paham pada pekerjaannya. Namun, polisi tentu tahu bagaimana cara membuat profil pelaku.
"Suster Sabina–" Tenggorokan wanita itu tiba-tiba tidak mengeluarkan suara. Dia melanjutkan layar dengan poin berupa layar yang dipenuhi data.
"Seperti yang kalian lihat sekarang. Korban yang menggelantung di patung luar gereja dengan tali skiping melilit leher. Terlihat berbeda dan kasusnya ditutup dengan kesimpulan bunuh diri."
Eun-A melanjutkan foto kedua di mana wanita yang memakai rok abu itu menggelantung pada patung di luar gereja. Jari jemari lentik tidak bernyawa itu mengeluarkan bercak darah. Meski gambarnya tidak jelas, hanya hitam putih. Semua orang bisa memastikannya.
"Apa asumsi yang paling mendasar?* tanya salah seorang perwira yang membawa buku catatan kecil sambil menggigit pulpen.
"Modus operandinya. Terlebih barang yang digunakan."
"Tahun berapa?" sela Jin-Kyung.
"2006," balas Eun-A lemah, "musim dingin di tahun tersebut."
A-Yeong menitikkan air mata. Dia teringat kenangan saat gereja belum mendapatkan tragedi tersebut. Dia mengingat semua biarawati yang merawatnya dengan sangat baik. Apakah suster itu melakukan hal yang sama? Tentu saja, tetapi kenapa mereka berakhir setragis itu?
Eun-A melanjutkan dengan foto-foto korban kedua yang posisi mayat yang ditemukan sama persis seperti Suster Verda. Tali skiping terlilit pada kaki kursi tempat duduk para tamu yang ingin mendengarkan misa. Mulut dan mata yang terbuka, tangan yang lemah seakan-akan ingin menggapai sesuatu.
"Kejadian ini terjadi di distrik Yeongtong. Tahun 2007 musim dingin. Pelaku setia melakukannya di musim dingin." Hong Eun-A membenarkan jam tangannya yang ikut bergeser perlahan setiap kali dia menggerakkan tangan.
A-Yeong memandang Eun-A yang melemparkan pandangan padanya. Tersenyum canggung, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk saling memandang penuh tanya.
"Dan pembunuhan selanjutnya ... mungkin," ucap Eun-A menggantung karena napas kasar tiba-tiba mendominasi tenggorokannya.
Dia melanjutkan, "Tidak lebih dari tiga Minggu!"
Para polisi di belakang tertawa keras sambil menggerakkan kepala ke belakang. Perkataan dari si profesional analisis pelaku tersebut memang masuk akal. Akan tetapi, menganggap pertaruhan nyawa itu adalah bom waktu, tentu salah. Mereka semakin frustrasi pada kenyataan, tidak ada bukti dan saksi, apa lagi tersangka.
Jin-Kyung menunduk. Membuka tutup jari-jemari seolah-olah meremas angin. Temperatur dingin bulan Desember memang tidak ada duanya, apa lagi baru memasuki Minggu kedua. Laki-laki itu mengangkat wajah lalu berbalik melihat rekan-rekannya. Lama menatap sang Maknae yang sedang dalam pemikirannya sendiri, Jin-Kyung bangkit.
"Tidak dengar?" tanya Jin-Kyung pada anak buahnya. Tiga orang laki-laki itu menatap pemimpin mereka ragu.
"Waktu kita kurang tiga Minggu. Kita harus berusaha keras untuk menemukan polanya agar bisa menentukan kapan dan di mana pembunuhan selanjutnya akan terjadi, bukan?"
"Gokseon-dong," gumam Eun-A lirih.
Jin-Kyung terkekeh, "Begitukah?"
Jin-Kyung tidak berbalik untuk menatap Eun-A, dia masih setia melihat perempuan yang beranjak dewasa. Dia mengembuskan napas lalu memanggil sang Maknae.
"A-Yeong ssi!"
Perempuan itu memilin ujung baju pada pergelangan tangan. Pandangan yang kosong.
"A-Yeong ssi!" panggil Jin-Kyung lebih keras. Dibantu tepukan Ha-Kyeong gadis itu sadar.
"Ada apa di Gokseon-dong?"
A-Yeong membasahi bibirnya lalu menjawab, "Banyak hal kecuali gerej—"
Perempuan itu sadar dan menatap pemimpin tim dan psikolog kriminal itu bergantian. Dia mempunyai kejadian memalukan yang tidak bisa dilupakan di Gokseon-dong. Tidak mungkin dia melupakan rute sialan yang membuat Ha-Kyeong dan Jin-Kyung tertawa kecil menahan geli. Namun meragukan keahlian Eun-A tidak masuk akal.
∆
Semua orang sibuk mencari. Mulai dari CCTV kota sampai kamera dashboard yang terpasang di setiap kendaraan roda empat yang melintas. Rekaman toko yang dilalui pelaku dari tempat kejadian, melakukan pelacakan kembali ke tempat perkara sebelumnya, tetap tidak ditemukan jejak.
Ha-Kyeong yang memiliki banyak koneksi pun kewalahan untuk mencari seseorang yang telah lama menghilang. Masih adakah laki-laki itu atau mati karena nasib sial. Laki-laki itu menatap A-Yeong yang bekerja sangat keras untuk kasus tersebut. Perempuan itu memang pintar saat di sekolah menengah, tetapi tidak ada yang tahu kenapa kreativitasnya menurun.
Dua rekan lain yang bekerja di luar datang. Keduanya menyapa Ha-Kyeong dan A-Yeong yang sama-sama fokus pada layar komputer. Tim satu memang terkenal ramah. Tidak seperti kebanyakan kepolisian, cara mereka tidak pernah memukul fisik si penjahat, kecuali A-Yeong. Mereka bertaruh pada mental seseorang.
"Apa dia punya hubungan sama Jin-Kyung Hyeong?" tanya Na Hyun-Il, laki-laki setinggi Ha-Kyeong yang satu angkatan.
"Molla.[1]" Ha-Kyeong enggan menanggapi. Lagi pula mereka tidak terlalu peduli soal hubungan orang lain. Rasa penasaran suka membunuh orang.
"Yak! Kalian udah makan, mau pesan sesuatu?" Dae-Shim menyela percakapan.
A-Yeong mengacungkan tangan lantas membalas, "Tangsuyuk.[2]"
Dae-Shim tersenyum sambil mengeluarkan ponselnya. Hyun-Il mengekori dari belakang sambil berbisik menu makanan pada rekan kerjanya. Tidak ada keringat yang keluar meski mereka sudah bekerja keras. Salju terus turun di luar sana.
"Tangsuyuk juga. Gumawo!" Jin-Kyung tiba-tiba datang dengan sebundel kertas putih dan menaruhnya di meja kerja. Dia duduk di kursi dengan menjatuhkan tubuhnya. Beruntung tempat duduk itu mengeper.
Hyun-Il langsung berdiri untuk melaporkan apa yang mereka dapatkan dengan mencari di luar sana. Gereja-gereja kecil yang memiliki beberapa biarawati sudah diberitahukan untuk waspada sebelum mereka menemukan sesuatu lebih lanjut.
A-Yeong melihat tulisan yang ada di papan. Nama-nama biarawati, tanggal kejadian, dan tempat kejadian. Foto sebagai penyempurnaan penelitian. Perempuan itu melihat Eun-A bergerak gelisah mondar-mandir tidak jelas di depan papan. Dia berinisiatif mengajak tamu itu mengobrol.
"Eonni?" panggil A-Yeong pelan. Eun-A refleks berbalik dan tersenyum mengangguk.
"Apa analisis perilaku sesulit itu?" A-Yeong bertanya. Padahal dalam hati dia sudah yakin akan jawabannya. Menjadi polisi yang tinggal tangkap saja sulit apalagi menganalisis perilaku mereka. Menebak pikiran si pembunuh? Ah, A-Yeong pusing dan mual.
Eun-A mengambil spidol hitam lalu menjawab sambil mendesah, "Kamu akan tahu rasanya kegagalan menghentikan pembunuhan."
A-Yeong memasang wajah tidak mengerti.
"Hm. Jika gagal menghentikan pembunuhan itu dan korban berjatuhan lebih banyak karena kecerobohan analisis pelaku. Seperti empat tahun lalu, maka—"
Telepon tanpa kabel di meja A-Yeong berdering. Perempuan itu pamit dengan senyum kecut karena kalimat tersebut terdengar lebih menghantui pikiran. Memang tidak ada yang mudah. Dia berlari ke arah meja, gagang telepon di angkat lalu ditempelkan pada telinga kanan.
"Kantor Polisi Suwon—"
"Huh?"
A-Yeong memandangi rekan-rekannya satu per satu. Jin-Kyung berdiri membalas tatapan anak buahnya. Eun-A berbalik setelah menuliskan tanggal. 15/01/22.
Catatan:
[1] Molla: Tidak tahu.
[2] Tangsuyuk: Salah satu makanan yang ada di Korea