Kata orang anak yang tidak memiliki orang tua, tidak akan memiliki kehidupan yang layak. Banyak orang tua lain mengatakan, anak tanpa pengawasan orang tua adalah anak yang berantakan. Gadis yang tengah memberi makan adik-adiknya itu salah satunya. Ahn A-Yeong. Dia memang tidak memiliki orang tua, tetapi perkataan orang-orang itu lima puluh persen salah.
Ahn A-Yeong. Entah dari mana nama belakang itu didapatkan. Wujud seperti apa yang memiliki nama belakang ini dan berada di manakah dia. A-Yeong tidak ingin tahu. Sesuatu kepastian yang diketahui A-Yeong bahwa nama itu merupakan sumber kebahagiaan, kekuatan, dan motivasi agar hidupnya lebih tertata.
"A-Yeong-ah!" panggil wanita yang memakai pakai kebesaran serba abu-abu. Baju dan kerudung yang menutupi rambutnya memiliki pelat putih di bagian ujung.
A-Yeong dengan sigap berbalik lantas dengan semangat menjawab, "Nee[1]!"
"Ayo, berangkat! Nanti telat." Wanita itu memperlihatkan kotak makanan sebagai bekal bagi A-Yeong.
Kehangatan setiap pagi membuat A-Yeong terhibur. Sebelum memasuki tempat yang amat menyedihkan. Sekolah. Sekolahnya bukan tempat orang-orang sangat kaya berkumpul, tetapi beberapa yang terkaya di Gwonseon memang diberi fasilitas lebih oleh sekolah. A-Yeong seorang anak yang menerima beasiswa hanya bisa berdiam dan menahan diri saat mereka mencemooh.
Pembelajaran dimulai tepat waktu seperti biasa. Seperti hari-hari lain yang dijalani A-Yeong, mejanya telah penuh sampah sisa susu dan bungkus roti. Bagi gadis berusia delapan belas tahun itu, hal ini sudah menjadi keseharian. Sebelum memasuki kelas, A-Yeong mengintip dari balik jendela untuk melihat bangku dan mejanya, lalu meraih keranjang sampah yang berada di depan kelas dan membawanya ke dalam. Para siswa mulai menutup hidung ketika gadis itu lewat.
Namun, perubahan kecil terjadi ketika murid baru kaya raya datang ke sekolah ini. Ayah dan ibunya yang menyumbang ke gereja tempat A-Yeong hidup. Keramahan orang tua turun pada anaknya. Choi Ha-Kyeong. Pemuda seusia A-Yeong itu memungut sampah-sampah tersebut, membantu A-Yeong sembari tersenyum.
"Kamsa ...." Kalimat A-Yeong menggantung.
Laki-laki itu duduk di tempat duduk yang seharusnya diduduki A-Yeong lalu dengan santai meminta, "Boleh aku duduk di sini? Pemandangan di sini cerah!"
Pun, guru baru yang datang bulan lalu. Goo Sin-Hui yang memberikan bimbingan konseling kepada murid-murid kerap kali membantu A-Yeong, memberi motivasi, serta dukungan hangat. Lesung pipi yang membentuk garis sangat akurat menambah karisma dan wibawa.
Tidak seperti biasanya, perasaan A-Yeong sangat gelisah. Hari-hari mulai membaik meski cercaan masih didapatkan. Hari ini seperti biasa, kelas tiga mendapat jam malam. Meski sudah memakai syal yang membungkus leher, A-Yeong tetap merasa dingin. Gadis itu ingin cepat-cepat pulang.
"Nih!" Ha-Kyeong memberikan penghangat tangan pada A-Yeong ketika dirinya duduk di halte menunggu bus yang beroperasi di jam terakhir.
"Gumawo[2]!" ujar A-Yeong. Laki-laki itu berdiri di samping A-Yeong sambil tersenyum.
Mobil jemputan sang pangeran rupanya telah tiba. Laki-laki itu berpamitan pada A-Yeong dengan gerakan lembut disertai ekspresi hangat di balik senyum yang tulus. Ketika A-Yeong kembali melihat jalanan yang kosong, kaca mobil diturunkan Ha-Kyeong, tetapi yang muncul adalah laki-laki yang amat dihormati A-Yeong.
"Masuk, Nak. Saya antar ke gereja!" tawar Tuan Choi.
A-Yeong menolak dengan tegas karena tidak ingin merepotkan sambil membalas, "Enggak perlu, Pak. Sebentar lagi busnya datang."
"Yaudah kalau gitu. Saya duluan!"
Ternyata bus tidak datang hingga pukul sebelas malam. Temperatur rendah membuat kaki A-Yeong yang tidak mengenakan lapisan lain menggigil. Mau tidak mau, dia harus berlari untuk sampai ke gereja. Memasuki gang-gang kecil agar tidak menempuh jarak yang terlalu jauh, waktu pun tidak terbuang percuma.
A-Yeong berlari dengan sepatu sekolah hitam putih. Ransel di punggung dan syal yang melilit leher membuat A-Yeong beberapa kali berhenti untuk membenarkannya. Napas yang keluar dari mulutnya mengeluarkan asap, rambut yang tadi digerai kini diikat menjadi satu, membuat angin menyerah untuk menggoyangkannya seperti tadi.
Semua lampu di luar dan di dalam gereja padam. A-Yeong mengulum senyum karena mengingat kejadian dua hari lalu, kelelahan para sunyeo-nim[3] menyambut tamu ketika acara membuat mereka lupa untuk menyalakan lampu depan agar orang yang melintas bisa melihat jalan. Hye-Goon sinbu[4] pun sudah memperingatkan. A-Yeong melangkahkan kaki melewati jalan samping untuk langsung masuk ke kamarnya dengan Suster Verda, wanita yang merawatnya. Namun, kakinya berhenti ketika melihat pintu gereja terbuka. Meski enggan, gadis itu tetap berjalan mendekati pintu dan meraih gagangnya untuk menutup. Pintu terbuka lebih lebar dan sebuah tangan terkulai membuat A-Yeong terkejut.
"Suster?" A-Yeong membuka pintu lebih lebar.
"Aaa!" kepala yang terlilit tali skiping putih terikat ke gagang pintu dari dalam. Mulut Suster Verda menganga, mata yang menunjukkan ketakutan dan kesedihan terbuka lebar memandangi A-Yeong.
Teriakan A-Yeong memanggil semua orang yang telah terlelap. Gereja kecil beranggotakan dua puluh tiga orang. Didominasi anak-anak Didominasi anak-anak yatim piatu dan sunyeo-nim serta dua orang sinbu. Pastor. Suster Angela yang datang pertama kali ikut berteriak dan terduduk di samping A-Yeong.
"Eun-Ji Eonni[5]!" panggil Suster Angela, "Eon ... eon–eonni."
Suster Angela memberanikan diri untuk bangkit dan melihat keadaan kakak asuhnya itu. Akan tetapi, dia berhenti lalu menangis histeris sambil memeluk dan menenangkan A-Yeong. Suster Angela menelepon polisi.
Para penghuni di persilakan menempati kamar belakang dan beristirahat. Sedangkan A-Yeong yang pertama kali menemukan korban menunggu di mobil polisi bersama Suster Angela. Seragam sekolah yang dikenakan mengingatkannya pada sosok yang kini dikerumuni para petugas yang dibawa polisi.
"Minum tehnya," ujar seseorang yang memakai tanda pengenal di leher. Choi Jin-Kyung, nama yang tertera. Tidak terlihat jabatan apa yang dia emban.
"Tenangkan diri terlebih dahulu sebelum cerita. Saya yakin ...."
"Yak, Maknae[6]-ya!" teriak seseorang. Laki-laki berkumis tebal dengan tubuh gemuk itu membenarkan jaket dengan tangan kiri dan melambaikan yang satunya. Memanggil Jin-Kyung yang sedang berinteraksi dengan saksi.
"Oy," teriaknya lagi.
Jin-Kyung tersenyum pada A-Yeong dan Suster Angela sebelum berbalik memenuhi panggilan. Laki-laki itu memutar tubuh untuk menghadap sang pemimpin. Dia menerima selembar kertas bersama bisikan.
Pemimpin berbadan tambun itu masuk ke mobil menggantikan Jin-Kyung. Celananya yang kedodoran ditarik sampai memperlihatkan mata kakinya. Membuat pemandangan A-Yeong dan fokusnya buyar.
"Kalau terus memikirkan kejadian barusan, saya yakin kalian enggak akan bisa melanjutkan hidup." Perkataan yang tidak bertele-tele membuat A-Yeong menyeka air matanya lantas berdiri tegap.
"Jadi, bisa kita mulai dengan mengingat apa yang terjadi hari ini?" Polisi itu tidak pandang bulu. Tatapan mata bak singa yang mengintai mangsanya membuat Suster Angela menekan kuku-kukunya pada kulit tangan.
A-Yeong menggenggam tangan wanita yang ikut merawatnya sejak dini. Dia menarik napas dalam lalu menjawab, "Sejak pagi, kami sibuk mempersiapkan acara untuk Gereja di Seoul. Suster Angela dan Suster Ver ...."
Keyakinan A-Yeong melemah. Kehilangan sosok yang amat dicintai dan dihormati teramat pedih. Separuh jiwa yang telah mati, akankah dapat tetap hidup? A-Yeong menggeleng lemah, tangis kembali pecah.
[1] Nee: Ia
[2] Gumawo: Terima kasih
[3] Sunyeo-nim: Biarawati
[4] Sinbu: Pastor/Bapa
[5] Eonni: Panggilan dari perempuan kepada perempuan yang lebih tua
[6] Maknae: Yang termuda