10.
Baru hari pertama menikah, kesabaran Arasha sudah benar-benar hampir habis. Dia dikerjai habis-habisan oleh Arland sialan yang seenaknya menyuruh dia untuk memasak rendang di tengah malam.
Bayangkan, dia sudah memasak selama dua jam lebih hanya untuk menuruti kemauan suami sialannya itu. Dan menyakitkannya, Arland justru tidak makan sedikitpun masakan darinya. Jangankan makan, melihatnya saja tidak. Yang dia lakukan justru tidur dan menyalahkannya. Mengatakan bahwa dia memasak terlalu lama.
Selama semalam suntuk Arasha mendumel tanpa henti. Dia marah, kesal, dan tak henti-hentinya mengumpati Arland.
Bahkan, hingga pagi telah tiba, Arasha masih saja mendumel dari mulai dia bangun tidur sampai saat ini dia sedang makan rendang buatannya semalam.
"Ck! Bajingan satu itu. Dia pikir gue pembantu apa ya? Seenaknya nyuruh-nyuruh, habis itu tidur seenak jidat. Dia gak tau aja kalau rendang buatan gue enaknya gak ketulungan." Di tengah ocehan Arasha, dia tidak sadar bahwa dirinya sejak tadi tengah diperhatikan oleh sang suami yang kini tengah bersandar pada pegangan tangga, persis di belakangnya.
Arland, suaminya itu bukannya merasa kasihan dengan sang istri. Alih-alih merasa kasihan, dia justru merasa sangat senang melihat bagaimana tersiksanya seorang gadis muda yang kini sudah resmi menjadi istrinya.
Bahkan, sejujurnya Arland masih belum bisa puas untuk mengerjai Arasha lebih jauh lagi.
"Awas aja ya, kalau sampai dia bangun dan muncul di depan muka gue tanpa minta maaf, siap-siap aja bakal gue—"
"Bakal apa?" Ucapan Arasha terpotong begitu saja oleh Arland yang tiba-tiba datang. Pria itu duduk di kursi dekat Arasha, meraih air putih dan menuangkannya ke dalam gelas.
Sebelum sempat meneguk habis air tersebut, Arland menyempatkan diri untuk menyeringai. Seolah merasa menang atas permainan yang dia lakukan terhadap gadis di depannya.
Berbeda jauh dengan Arland yang tampaknya sangat santai, Arasha justru sudah merasa sangat jengkel. Ingin rasanya dia menendang kaki Arland saat ini juga. Namun, apa daya? Dia tidak bisa melakukannya.
Bagaimanapun juga Arland adalah suaminya. Dan Arasha sangat menyadari hal itu.
"Ayo, bakal apa?" Arland yang merasa tak kunjung mendapat jawaban dari Arasha kian mendesak gadis itu untuk menjawabnya.
Desakan yang Arland berikan membuat Arasha mau tidak mau harus menjawabnya. Dia menarik nafas panjang, menatap Arland cukup dingin. "Bakal siapin sarapan buat kamu. Rendang yang semalem masih ada, kamu—" untuk yang kedua kalinya, ucapan Arasha dipotong oleh Arland begitu saja.
"— cih! Pengecut lo. Gue kirain lo bakal ngancem sesuatu. Minimal marahin gue kek. Jadi, dengan gitu gue ada alasan buat ceraiin lo." Potong Arland. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menyeringai sinis.
Arasha melihat ekspresi wajah Arland saat ini. Dan dia merasa muak dengan seringaian pria itu. Merasa tak lagi bisa menahan amarahnya, Arasha meledak tanpa sadar. "Lo tau? Gue pengen banget marahin lo! Gue pengen banget cakar muka lo karena lo gak menghargai gue, Arland! Gue udah masak susah payah buat lo tadi malam. Tapi, lo malah enak-enakan tidur. Gue tahu, lo sengaja 'kan ngelakuinnya?"
Ya, Arasha naik pitam. Dan semua unek-unek yang tersimpan dalam hatinya dia keluarkan begitu saja tanpa terkecuali.
Sayangnya, amarah Arasha gagal membuat Arland merasa tersinggung atau menyesal. Bahkan, membuat Arland marah saja tidak. Alih-alih tersinggung atau merasa bersalah, Arland justru tersenyum miring, mendekati Arasha dan mencekram erat rahang gadis itu.
"Lemah lo, baru masalah ini aja udah marah-marah. Lo tau? Rasa sakit yang lo dapet, rasa capek yang lo dapet semalem baru satu diantara jutaan yang ada. Dan lagi on the way… jadi, sebelum lo beneran hancur… mending lo nyerah, Asa." Ancam Arland. Pria itu sangat ingin Arasha menyerah dengan pernikahan ini. Lebih baik dia disandang sebagai seorang duda daripada harus menikahi perempuan yang dicintai kakak tercintanya.
Arasha tahu hal itu. Dia tahu Arland bisa bertindak lebih kejam daripada hal konyol semalam. Akan tetapi, sayangnya Arasha tidak akan semudah itu untuk menyerah. Alasannya bertahan adalah sesuatu yang sangat penting sehingga dia akan melakukan apapun untuk mempertahankan rumah tangga ini. Bahkan, jika harus memperbesar rasa sabarnya lagi.
Dan Arasha melakukannya. Dia menggeleng kuat, menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum simpul. "Aku gak akan nyerah, Arland. Kamu milik aku. Sejak dulu. Dan aku gak akan melepaskan kamu."
***
***
***
'Kamu milik aku. Sejak dulu. Dan aku gak akan melepaskan kamu.'
"Fuck! Bajingan!" Arland mengumpat kesal karena ucapan Arasha terus saja terngiang-ngiang di dalam benaknya. Sebuah dugaan muncul dalam otak Arland saat mendengar ucapan gadis itu.
Yaitu, dugaan bahwa Arasha mencintainya.
Tetapi, bagaimana bisa?
Arasha mencintainya? Rasanya itu adalah sesuatu hal yang sangat mustahil.
Dan jika memang Arasha mencintainya, artinya bisa saja dia sengaja meminta kepada ibunya untuk dijodohkan dengan Arland. Yang mana berarti, Arasha sangat licik.
Semua hal ini membuat Arland sakit kepala. Dia terus berada di dalam kantornya, memegangi kepalanya menggunakan dua tangan.
Ya, Arland sedang bekerja. Tepat satu hari setelah pernikahannya. Begitu pula dengan Arasha. Dia juga sudah kembali bekerja. Ah, bukan kembali bekerja. Tetapi, memang dia tidak pernah mengambil cuti. Bahkan, mereka menikah di hari libur hanya demi tidak perlu mengambil cuti bersama.
Di tengah ruangan yang sangat lengang, Arland memikirkan segala cara untuk menjauhkan Arasha darinya.
Ya, untuk menceraikan seorang gadis yang baru satu hari menjadi istri resminya.
Gadis cantik berambut pirang yang kini sialnya sudah berdiri di hadapan Arland seraya membawa sebuah tumpukan berkas yang cukup banyak.
Arasha sudah ada di sini dari sekitar lima menit yang lalu. Dan dia tidak berani mengacaukan bosnya yang tampaknya sedang banyak pikiran.
Sayangnya, tindakan Arasha yang hanya diam tanpa memanggil Arland justru sangat dibenci oleh Arland. Karena, sewaktu Arland mengangkat kepalanya, alangkah terkejutnya dia saat melihat sosok istrinya sudah ada di depannya dengan sebuah bekas luka cekraman pada bagian rahang.
Arasha benar-benar mengekspose nya. Seolah sengaja memberitahu dunia bahwa dia mendapat kekerasan rumah tangga.
Ah, tunggu dulu. Bukan itu poin penting yang harus Arland khawatirkan. Tetapi, yang lain. Tentang alasan mengapa Arasha ada di sini.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Arland ketus.
Arasha meletakkan setumpuk dokumen yang rasanya sangat berat dia bawa sejak tadi. Dia bersikap sopan, melangkah mundur sebelum menjawab. "Karena saya sudah bisa bertemu dengan Anda dan tidak perlu lagi bersembunyi, saya mau menawarkan secara langsung apakah Anda mau mewawancarai para pelamar kerja di perusahaan Anda. Dan itu semua adalah CV pelamar kerja yang lolos ke tahap wawancara, Sir." Jelas Arasha.
Arland melirik banyaknya berkas di depan dia. Pria itu menyandarkan punggungnya ke sofa, memindai penampilan Arasha. Dan sialnya, dia semoat terpukau selama beberapa saat. Karena sejujurnya, Arasha memang sangat cantik.
"Gue gak mau. Ngapain gue buang-buang waktu buat wawancara kalau misalkan ada lo yang bisa ngelakuinnya." Ketus Arland sebagai jawaban.
Arasha mengulum bibirnya, kemudian berkata. "Tetapi, ini adalah para pelamar kerja untuk posisi sekretaris Anda mengingat Ulfa tiba-tiba saja mengundurkan diri." Kata Arasha.
Ya, Ulfa mengundurkan diri. Dia sendiri tidak tahu apa alasannya.
Mendengar Arasha menyinggung soal Ulfa, Arland jadi memiliki sebuah ide jahanam. Dia mendorong kursinya, mendekati Arasha. "Lo gak kepo kenapa tiba-tiba Ulfa mengundurkan diri?" Tanya Arland.
Arasha menggeleng. Karena nyatanya memang begitu.
Sayang, Arland tidak suka mendengar jawaban Arasha. Dia menyatukan kedua tangannya hingga ruas-ruas jarinya saling mengisi. "Karena gue mau nikahin dia secara diam-diam di belakang lo. Gue mau jadiin dia istri kedua. Gimana? Seru 'kan pasti? Punya dua istri di satu rumah."