Pagi harinya, Arland dan Arasha berakhir dengan musuhan. Mereka seperti dua orang yang tidak mengenal. Sibuk dengan urusan masing-masing, berberes untuk kembali ke Indonesia besok siang.
Saking asingnya mereka, Arland bahkan tidak sedikitpun membantu Arasha yang sedang kesusahan. Kaki yang sakit ditambah dengan pangkal pahanya yang masih nyeri membuat ruang geraknya terbatas. Bahkan tak jarang dia terjatuh.
Dan sungguh, Arland yang sesekali melihatnya jatuh dengan kedua mata pria itu sendiri, benar-benar tidak peduli sedikitpun.
Arland marah. Pria itu murka. Padahal, yang seharusnya marah adalah Arasha. Yang paling berhak untuk marah di sini adalah Arasha.
"Susah…" Arasha merengek. Dia menghela nafas panjang, melirik kakinya sendiri. Perbannya memerah. Sepertinya jahitan luka dia lepas.
"Ck! Sial!" Arasha menggeram kesal. Dia mengesot pelan menuju pintu kamar, membukanya dan memanggil Pete yang saat ini sedang mengobrol dengan Arland di koridor.
"Pete!" Panggil Arasha.