Chereads / Destroyed By A Billionaire / Chapter 8 - 8. Pernikahan Tanpa Senyuman

Chapter 8 - 8. Pernikahan Tanpa Senyuman

8.

Waktu berlalu begitu cepat. Bagai angin yang terus berhembus setiap harinya tanpa bisa dirasakan, waktu juga demikian. Tak terasa, satu minggu telah berlalu.

Dan hari ini menjadi hari yang sangat tidak di tunggu-tunggu oleh kedua mempelai, Arasha dan Arland.

Jika biasanya hari pernikahan adalah hari yang sangat di tunggu-tunggu hingga membuat jantung berdebar tidak karuan, kali ini berbeda. Baik Arasha ataupun Arland tidak ada yang menantikan hari pernikahan mereka.

Karena pada dasarnya, pernikahan ini tidak seharusnya terjadi.

Pernikahan di gelar secara sembunyi-sembunyi atas permintaan Arasha dan Arland. Mereka tentu tidak ingin hubungan mereka diketahui banyak orang dan membuat kehebohan di kantor.

Terutama Arasha. Pastinya, gadis itu akan mendapatkan cacian dari banyak anak kantor yang lainnya. Dan itu agaknya akan sangat menyakitkan.

Maka dari itu, Arasha harus mengantisipasinya. Dan cara terampuh adalah dengan menyembunyikan statusnya hubungannya dan Arland.

Altar pernikaha tampak cukup indah. Di desain dengan mewah dan cantik dengan banyak warna peach di sekitarnya. Warna kesukaan Arasha.

Bahkan, saking sukanya Arasha dengan warna tersebut, dia sampai mengenakan dress berwarna putih dengan banyak detail renda berwarna peach. Empire dress tersebut tampak indah melekat di tubuh Arasha yang meliuk bagaikan jam pasir.

Arasha sudah tampil cantik dengan riasan yang cukup tebal dan rambut pirangnya yang sengaja dia gerai. Pasangan dari Arland itu tampaknya sudah siap untuk naik ke altar pernikahan, di sambut oleh Arland Maurozeas Cashel.

Tak hanya Arasha yang memukau, Arland juga tak mau kalah. Setelan formal serba putih sudah melekat sempurna pada tubuh kekar Arland. Rambutnya yang berwarna kecoklatan seolah menegaskan bahwa dirinya kelahiran Melbourne dengan darah Jerman yang melekat kuat dalam dirinya.

Di saat Arasha sudah berada di balik pintu yang tegak lurus dengan altar pernikahan, Arland justru sudah siap di atas altar untuk menyambut calon istrinya.

Meski wajah Arland saat ini sudah sangat dingin dan tanpa senyuman, tetapi dia tetap menjalankan prosesi pernikahan sebagaimana mestinya. Bahkan, tanpa protes satupun.

Hingga akhirnya, Arasha sudah diperkenankan untuk naik ke atas altar untuk pemberkatan. Dia berjalan dengan anggun dan wajah tanpa senyuman. Mereka benar-benar tidak menunjukkan adanya kebahagiaan sedikitpun.

Dan itu membuat kedua keluarga merasa sedikit kesal.

"Asa, senyum!" Ibu Arasha, Angel sudah berbisik dari bawah sana. Sayang, Arasha yang sudah berjalan di dampingi ayahnya memilih untuk tidak mendengarkan ucapan ibunya.

Fokusnya hanya satu. Yaitu, agar pernikahan ini segera selesai.

Dan sesuai dengan keinginan Arasha, tidak butuh waktu lama untuk keduanya berakhir dalam ikatan pernikahan. Tepat dua jam setelah acara pemberkatan, Arasha langsung di bawa oleh Arland menuju tempat yang akan mereka tinggali.

Yaitu, sebuah rumah mewah yang berada di pusat kota. Rumah yang memiliki desain kontemporer elegan dengan dominasi warna putih dan abu-abu.

Rumah ini memiliki tiga lantai, cukup besar untuk ditinggali dua orang. Dimana lantai pertama berisi dapur, ruang keluarga dan yang lain-lain kecuali kamar tidur karena kamar tidur seluruhnya berada di lantai dua. Sedangkan lantai paling atas diisi oleh tiga ruangan saja. Yaitu, tempat gym, ruang kerja Arland, serta sebuah perpustakaan.

Baru saja masuk ke lantai satu, Arasha langsung merasa cukup nyaman dengan rumah ini. Entah mengapa, rumah ini rasanya sangat sesuai dengan keinginan Arasha. Sesuai dengan selera rumah yang ingin Arasha miliki.

Naik ke lantai dua, Arasha dihadapkan oleh empat kamar tidur. Yaitu, kamar tidur utama yang pastinya akan di tempati oleh mereka—

"Kamar lo yang di pojok. Kamar tidur utama punya gue. Lo gak boleh masuk. Ngerti?" Tegas Arland, mengacaukan pikiran Arasha.

Tidak, Arasha bukannya berharap untuk tidur dengan Arland. Dia hanya mengira bahwa mereka akan tidur bersama mengingat mereka sudah sah dalam ikatan pernikahan. Tetapi, rupanya pemikiran Arasha sepenuhnya salah. Mereka tidur terpisah. Dan Arasha tidak mempermasalahkan hal itu.

"Oh, oke." Arasha menjawab ucapan Arland dengan santainya. Bahkan, dia saat ini sudah berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Arland yang memperhatikan Arasha dengan seksama.

Tidak bisa dipungkiri, Arasha cantik menurut Arland. Bahkan, bisa dibilang salah satu perempuan paling cantik yang pernah Arland temui. Namun, sayangnya hati Arland sudah mati untuk gadis itu. Mati sejak beberapa tahun yang lalu semenjak tahu bahwa Arasha sangat kurang ajar menyakiti hati Dylan.

Dengan langkah yang berat, Arland memasuki kamar utama rumah ini, membaringkan tubuhnya di atas ranjang setelah melepas jas dan kemejanya, kemudian mulai terlelap.

***

***

***

Gedubrak!

Suara yang sangat keras dari lantai bawah berhasil membuat mata Arland yang semula terpejam erat, terbuka dengan sangat cepat. Dia melirik jam digital yang ada di dekat ranjang, menyadari bahwa dirinya sudah tertidur selama kurang lebih empat jam.

"Shit. Gue ketiduran." Umpat pria itu. Dia turun dari ranjang, mengusap wajahnya agar nyawa yang tercecer segera terkumpul dan segera keluar dari kamar untuk memeriksa suara bising yang sialnya mengganggu tidur Arland.

Rupanya, suara tersebut berasal dari lantai satu. Dimana ada seorang gadis cantik sedang sibuk di dapur, membelakangi dirinya.

Arland sedikit kebingungan. Siapa yang berani masuk ke rumah pribadinya ini?

Setelah beberapa saat menerka-nerka, akhirnya Arland memilih untuk memanggil gadis itu secara asal. "Ulfa?" Tebak Arland.

Gadis yang tadi dia panggil dengan sebutan Ulfa menoleh cepat, memperlihatkan wajah cantiknya.

Dan bertepatan dengan itu, Arland menepuk keningnya sendiri. Ulfa tidak memiliki rambut pirang. Melainkan hitam.

"Ngapain lo di sini? Dan darimana lo tahu tentang rumah ini?" Arland berjalan santai menuju lemari pendingin, menegak air putih dingin di sana.

Arasha, gadis yang tadi sibuk di dapur dan membuat kebisingan mengerutkan keningnya. "Kamu yang bawa aku ke sini, Land. Kamu lupa?"

"Lah? Ngapain gue bawa lo kesini?" Desis Arland dengan wajahnya yang sangat keras.

Arasha menghela nafasnya, menyandarkan punggungnya di pantry dapur. "Kita udah nikah, Land. Barusan nikah. Dan kita akan tinggal di sini."

Byur!

Arland yang semula tengah meminum air putih dingin langsung menyemburkannya cepat hingga mengenai wajah Arasha, istrinya.

Dia baru ingat bahwa dirinya dan Arasha sudah menikah. Dan dia sendiri yang memutuskan untuk tinggal di rumah ini dengan Arasha.

Arasha yang terkena semburan Arland langsung meraih tisu dan membersihkannya. Dia memasang wajah marah. Namun, tampaknya Arland tidak merasa bersalah terhadap hal itu.

Alih-alih merasa bersalah, dia justru menyeringai tajam, mendekati Arasha dan meletakkan jemarinya pada rahang gadis itu. "Jadi, lo istri gue sekarang?" Tanya Arland dengan suara yang terdengar sangat rendah.

Arasha sedikit merinding mendengarnya. Arland terlihat sangat menyeramkan. "Hm. Gue istri lo."

"Berarti gue bebas lakuin apapun sama lo, 'kan?"