"Riel itu siapa? Selingkuhan lo?"
Mendengar nama Riel disebut, Arasha membeku bagai patung tak bernyawa. Dia menoleh dengan gerakan yang sangat pelan, bertanya gugup. "T-tau darimana nama itu?"
"Tadi lo ngelindur nyebut-nyebut nama Riel. Selingkuhan lo?" Arland masih menanyakan hal yang sama.
Hati Arasha dihadapkan dua hal. Antara lega dan bingung. Di satu sisi Arasha merasa lega karena ternyata Arland hanya mendengar nama Riel dari racauan tak jelas Arasha, sedangkan di sisi lain, Arasha sendiri bingung harus menjawab apa.
"Cuman temen." Jawabnya gugup. Dia sampai menggigit bibir saking gugupnya.
"Temen? Serius?" Arland yang tak percaya membuka matanya yang menyiratkan keraguan.
Sadar dirinya tak akan bisa kabur dari situasi ini, Arasha memilih untuk mengalihkan perhatian Arland. "Kenapa tanya-tanya, cemburu Land? Kalau iya, bilang aja kali." Ucapnya. Dia berharap Arland terpancing dan mulai lupa dengan pembahasan mengenai Azriel.
Dan benar saja, Arland menurunkan lengannya dari mata, mendelik kesal. "Heh, seenaknya cemburu. Lo kira gue cinta sama lo sampai cemburu?! Jangan mimpi deh!"
"Kalau gak cemburu kenapa nanya-nanya? 'Kan terserah aku juga mau dia temen atau bukan. Ya 'kan? Udah ah, daripada aku ngeladenin suami aku yang lagi cemburu ini, mendingan aku masak." Arasha melenggang pergi meski sempat dilempari bantal oleh Arland.
"Gue gak cemburu!"
***
***
Selesai sarapan, pintu rumah mereka diketuk oleh seseorang. Hal itu membuat Arasha bertanya-tanya tentang siapa yang bertamu. Karena setau Arasha, mertuanya sedang ada urusan di Jerman. Dan orang tuanya sendiri tentu tidak mungkin datang mengingat mereka harus mengurus Azriel.
"Bukain Sa!" Arland yang saat ini sedang menyesap es kopi nya memerintah Arasha. Sebagai istri penurut, Arasha berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Okta?!" Arasha dikagetkan oleh kedatangan Okta, sekretaris baru Arland.
Okta kali ini tampil dalam balutan dress kurang bahan. Hanya sebatas bawa pantat denhan belahan dada yang begitu rendah.
"Hai, Sa! Saya di suruh Pak Arland untuk datang ke sini." Katanya dengan canggung. Dia tau Arasha dan Arland memiliki hubungan yang istimewa. Namun, dia tidak ingin ikut campur lebih banyak lagi. Karena tugasnya hanya dua. Memuaskan Arland dan menurut pada pria itu.
Melihat Okta ada di depan matanya, Arasha sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Pasti setelahnya akan ada suara desahan manja di ruang keluarga. Memang dasar suami bejat nya ini.
"Masuk aja, Okta! Oh iya, lain kali bilangin Arland, suruh nyewa hotel. Kalau perlu gue yang sewain." Arasha membuka pintu untuk Okta, membiarkannya masuk.
Betapa kagetnya Arasha melihat Arland sudah duduk di ruang tamu dengan kedua kakinya yang terbuka. Mengabaikan Arasha, pria tampan bermanik biru safir itu menepuk pahanya mengisyaratkan Okta untuk duduk di sana.
Okta dengan ragu dan canggung mematuhinya. Bagai anjing yang mematuhi tuannya. Dia duduk di atas paha Arland dengan kedua kakinya yang terbuka.
"Kenapa? Minat?" Tanya Arland pada Arasha.
Arasha menggeleng pelan. "Enggak, gak minat sama sekali. Lagian aku yakin punya kamu pasti kecil." Katanya sedikit merendahkan.
Direndahkan seperti itu membuat Arland kesal. Arasha tidak tau saja milik Arland se-jumbo apa.
"Mau gue kasih liat?!" Tantang Arland.
Arasha membelalakkan mata, menggeleng sambil melambaikan tangannya. "Gak usah macam-macam, Arland! Awas kamu!" Kesalnya sambil menjauh dari sana.
Arland tertawa terbahak-bahak, merasa puas melihat istrinya ketakutan.
Setelah Arasha pergi, Arland memerintahkan Okta untuk turun dari pahanya. "Turun, gue lagi gak minat sex!" Pintanya.
Okta menurut. Dia duduk di sofa dekat Arland. "Pak Arland ngapain ya suruh saya ke sini kalau bukan untuk sex?" Tanya Okta.
Arland meraih sebuah dokumen, melemparkannya pada Okta. "Baca!" Pintanya.
Okta kembali menurut. Dia membaca dengan seksama dokumen tersebut, sedikit terkejut dengan isinya. "Kontrak kerja Okta hanya tiga bulan?"
"Hm. Setelah gue pikir-pikir, lo lebih cocok jadi pelacur gue daripada sekretaris gue." Jawabnya.
Okta merasa sedikit sakit hati. Tetapi, dia tidak bisa melakukan apapun. Palingan dia akan mencari pekerjaan di tempat lain. "Baik Pak Arland."
Arland yang tidak ada rasa kasihannya tidak peduli dengan raut wajah sedih Okta. Karena hati nurani Arland memang sudah mati sejak lama. Bisa terlihat bagaimana jauhnya perbedaan sifat pria itu dulu dan sekarang.
Okta disuruh datang hanya untuk menerima kenyataan pahit itu. Setelahnya, dia langsung di suruh Arland untuk pulang. Sedangkan Arland? Pria itu masih berdiri di depan pintu rumah, sedang menghubungi seseorang.
"Hm. Gue mau lo cari tau tentang Riel. Pokoknya cari orang di dekat Arasha yang namanya Riel. Siapapun itu mau Ariel kek, mau Azriel kek. Yang penting ada Riel-Riel nya. Ngerti?"