—Buat yang udah baca Arasha di novel My Rose, pasti udh familiar sm chapter ini. Author sengaja tulis lagi di sini biar ceritanya nyambung. Dan juga, barangkali ada yang belum baca di cerita sebelah-
/Masih Flashback/
"Sa, dengerin penjelasan gue dulu…" ucap Arland,mencoba memberi penjelasan pada gadis berambut pirang di depannya.
Arland bisa melihat manik mata Arasha yang terlihat kecewa. Gadis itu berkaca-kaca. Hatinya merasa sangat berat. Dia tidak lagi membutuhkan penjelasan. Yang dibutuhkan adalah sebuah kebenaran.
"Gue gak butuh penjelasan lo. Gue mau lihat wallpaper lo, Arland Mau—" Arasha tercekat, tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi.
Gadis itu tersenyum masam, merasa miris karena selama ini ditipu oleh si brengsek di depannya.
"Gue mau lihat wallpaper lo, Arland." Ucap Arasha penuh penekanan.
Arland tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia akhirnya mengeluarkan ponselnya yang tadi dirinya sembunyikan di balik punggungnya. Arasha segera merebutnya tanpa paksa.
Dia segera menyalakan ponsel pemuda itu, kemudian melirik Arland sewaktu ponsel itu terkunci.
Tanpa bertanya, Arasha segera memasukan kombinasi angka pin untuk membuka ponsel Arland. Ya, Arasha mengetahuinya. Mau pernah bercerita tentang dirinya yang sangat konsisten dalam urusan kombinasi angka sebagai pin. Entah pin handphone atau ATM.
Dan benar saja, ponsel Arland terbuka. Seketika itu juga Arasha menghela nafasnya. Manik mata Arasha memandang Arland tajam. Tak hanya berhenti di sana, Arasha kembali dikejutkan oleh wallpaper ponsel Arland yang berupa foto kucing abu-abu milik Arasha. Foto yang Arasha kirimkan hanya untuk Mau, bukan untuk yang lainnya.
Tangan Arasha kini bergetar hebat. Tubuhnya menegang sempurna. Gadis itu luruh di atas lantai hotel, terduduk di sana dengan kedua tangan yang menutup wajahnya.
Melihat Arasha yang tampak terpukul, Arland menyalahkan dirinya sendiri. Dia segera menghadap gadis itu, berjongkok di depannya. "Sa… sorry… sorry banget… gue tahu lo marah. Gue tahu lo pasti benci banget sama gue sekarang…" ucap Arland. Tangannya membenarkan dress Arasha yang sedikit tersingkap sehingga memperlihatkan paha mulusnya.
"Sa, gue minta maaf. Gue ngaku gue salah.." lirih Arland. Pemuda itu kini terlihat kacau dengan wajah yang tampak frustasi. Pemuda itu nyaris gila rasanya sewaktu melihat Arasha yang hanya diam, menunduk, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Hal itu membuat Arland merasa semakin bersalah. Dia nyaris gila rasanya. Lebih baik mendengar Arasha marah padanya, mengamuk hingga memukulnya dibandingkan Arasha hanya diam seperti ini.
Hingga beberapa detik kemudian, Arland mendengar suara isak tangis. Arland panik, dia segera meraih wajah Arasha, menengadahkan dagu gadis itu sehingga matanya yang basah kini menatap Arland secara langsung.
"Sorry Sa… lo pasti kecewa banget dan kehilangan sosok Mau…" katanya.
Tangan Arasha mengepal, kemudian mulai memukuli tubuh Arland dengan brutal. "Kenapa Land? Kenapa hidup gue seakan-akan berpusat ke lo? Gue muak Land! Gimana bisa lo pura-pura sebagai Mau? Lo—" Arasha menggeleng kuat, merasa tidak bisa berkata-kata lagi.
Dia kembali menunduk, merasa frustasi. Arasha kembali menangis kencang.
Melihat hal itu, Arland tentunya tidak tega. Dia menarik tubuh Arasha, memeluknya erat. Kepala gadis itu disandarkan pada dada bidangnya. Tangan Arland tak henti-hentinya mengusap rambut pirang gadis itu. Tak lupa, bibir Arland sesekali mengecup pucuk kepala Arasha. Pemuda itu merasa hatinya tersakiti saat melihat Arasha menangis.
"I'm sorry Sa… sungguh, gue minta maaf karena udah nyakitin lo. Gue minta maaf karena udah bohongin lo…" bisik Arland.
Cukup lama mereka dalam posisi tersebut, berpelukan dengan tangisan yang masih terdengar. Hingga tiba-tiba, Arland merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya sendiri. Ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dan Arland menyadari hal itu.
Tak hanya Arland, Arasha juga merasakannya. Gadis itu menghentikan tangisnya, kemudian melepaskan dirinya dari dekapan Arland.
"Shh… Land, tubuh gue kenapa panas ya?" gumam Arasha, sembari mengipasi tubuhnya sendiri menggunakan tangan.
Tak berbeda dengan Arasha, Arland juga merasakannya. Pemuda itu menelan ludahnya kasar, berdehem pelan. "Shit! Badan gue juga sama!" umpat Arland sembari melonggarkan dasinya, mencoba melepaskan kancing jasnya.
"Arland, gue kenapa?! Arland, help…" Arasha semakin gila. Dia menggeliat, merasa kepanasan. Tubuhnya terasa sangat sensitif secara tiba-tiba. Sedikit saja bersentuhan dengan Arland, gadis itu bisa menggeliat tidak menentu.
Arland menyadari sesuatu. Dia mengingat tentang gerak gerik Felix dan Gebi yang sangat mencurigakan untuknya.
"Fuck! Sialan Felix." Geram Arland setelah menyadari sesuatu.
Dia segera bangkit, diikuti Arasha yang kini sudah berdiri di depannya dengan wajah yang terlihat gelisah. "Land, ada apa sama tubuh gue?" lirih Arasha.
Arland berdehem. Dia melirik ke sekitar, kemudian melihat sebuah kamar yang tak jauh di sana. Arasha tidak banyak bertanya lagi. Gadis itu sudah tidak bisa fokus ke sekitar. Dia sedang sibuk mengurusi dirinya sendiri sehingga hanya bisa mengekor Arland tanpa bertanya apapun lagi.
"Land, lo ngapain?" tanya gadis itu sewaktu melihat Arland yang sedang mencoba membuka kamar di depannya dengan masterkey yang memang Arland pegang sebagai ketua panitia.
Arland tidak menjawab apapun. Dia segera masuk, diikuti Arasha yang sedikit ragu. Dengan helaan nafas yang berat, Arland menatap Arasha sejenak. Batinnya berkali, kali mencoba tetap waras. Dia tidak boleh menerjang Arasha. Gadis itu milik Dylan!
"Felix… dia masukin obat perangsang di bir yang gue minum…" Arland menjeda kalimatnya, menyadari sesuatu. Bukankah hanya dirinya yang meminum bir tersebut? Lalu mengapa Arasha juga merasakan hal yang sama?
"Bir?" gumam Arasha dengan suara yang mulai berubah. Bahkan, tatapan mata gadis itu terlihat sayu. Dia bergairah, dan ini terasa sangat menyiksanya!
"Shit! Gue minum itu juga!" rutuk Arasha, membuat Arland membelalak kaget.
"Lo minum juga?" tanya Arland. Suara Arland sudah sangat serak dan berat. Dia menahan diri ,mati-matian untuk tidak menerkam Arasha.
"I-iya…"
Arland berdecak, mengumpat geram mendengarnya. Tetapi, dia tidak bisa menyalahkan gadis itu. Semua sudah terjadi, dan kini keduanya terjebak bersama.
"Land, gue harus gimana? G-gue nyaris gila rasanya…" rengek gadis itu.
Arasha sudah menjambak rambutnya sendiri, menahan gairah mati-matian. Gadis itu nyaris gila rasanya. Tubuhnya panas dan sangat sensitif. Bahkan, tersentuh saja membuat gadis itu menggeliat dan mendesah pelan.
"Lo mandi… barangkali bisa meredakan ini." Kata Arland. Dia merasa tidak tega dengan Arasha. Gadis itu pasti sangat tersiksa. Meski sejujurnya Arland juga sama tersiksanya, setidaknya ini bukan kali pertama Arland terjebak oleh obat nakal ini.
Arasha mengangguk. Dia menyambar sebuah bathrobe yang ada di dekat sana, kemudian berlari menuju ke kamar mandi. Sesaat sebelum gadis itu masuk ke dalam kamar mandi, Arasha menghentikan langkah kakinya, membalik tubuhnya menatap Arland yang kini sedang meremas rambutnya sendiri.
"Lo sendiri gimana?" tanya Arasha.
Arland menengadah, menatap gadis itu kemudian tersenyum hangat. "Jangan pikirin gue, Sa… gue gak apa-apa…" Arland berdehem pelan, berusaha menormalkan suaranya.
"Lo serius?" tanya Arasha.
Arland mengangguk pelan. Shit! Dia ingin mendorong Arasha agar segera masuk kedalam kamar mandi. Dengan kondisi seperti ini, melihat Arasha seperti melihat sesuatu yang harus segera dihabiskan.
"Sa, mending lo cepetan masuk ke kamar mandi deh…" lirih Arland.
Mendengar hal itu, Arasha menurut. Dia segera masuk ke dalam kamar mandi, dan mulai untuk menyiramkan air dingin ke tubuhnya yang telah tanpa busana. Gadis itu sangat berharap rasa panas yang ada bisa berkurang.
Di sisi lain, Arland semakin tidak tahan. Pemuda itu berniat untuk mencari kamar yang lain. Namun, baru saja tangannya berniat membuka pintu. Suara pintu kamar mandi terdengar. Arland segera memutar tubuhnya, berniat langsung masuk ke dalam kamar mandi.
"Land, percuma… mandi gak ngaruh sama sekali." Lirih Arasha yang kini berdiri di depannya dengan bathrobe yang sudah melilit tubuhnya.
Mendengar hal itu, Arland memukul tembok di belakang Arasha. Pemuda itu mengetatkan kepalan tangannya, melirik gadis yang kini tengah menatapnya sayu.
Dengan kesadaran yang mulai minim, Arland mendekati Arasha. Pemuda itu berdiri tepat di depan gadis itu, kemudian menatapnya penuh gairah.
"Sa, sorry… tapi gue gak bisa." detik itu juga, Arland meraih tengkuk Arasha, mendaratkan bibirnya di bibir kenyal gadis itu dan menciumnya secara brutal.
Arasha terkejut bukan main mendapati hal tersebut. Sayangnya, tubuh gadis itu tak kuasa menolak. Dia membalas ciuman Arland hingga akhirnya mereka telah larut dalam gairah yang melambung tinggi.