24.
"Hai Asa, Nyonya Arland yang sesungguhnya." sapa Ulfa, perempuan yang kini tampaknya resmi menjadi istri kedua Arland.
Tidak bisa dipungkiri, manik mata Arasha dan Raya sama-sama menelisik penampilan Ulfa saat ini. Mereka dengan kompak menilai penampilan Ulfa yang sedikit norak dan langsung mengomentari penampilan tersebut secara bersamaan di dalam hati.
Merasa harus bersikap elegan di depan istri kedua suaminya, Arasha langsung menegakkan tubuhnya, menarik kedua pundaknya dan mengangkat rahangnya angkuh.
"Dan hai Ulfa… perempuan yang tidak akan pernah bisa menjadi Nyonya Arland." Balas Arasha, sarkastik.
Amarah Ulfa tersulut mendengar ucapan Arasha yang sialnya merupakan sebuah fakta. Sang mempelai hari ini langsung melirik Arasha tajam. Keduanya terlihat tidak bersahabat. Tatapan mata mereka bersitegang, seolah bertarung dalam batin.
"Ya, setidaknya gue gak diselingkuhi sama suami gue sendiri." kesal Ulfa.
Ulfa memang mengetahui tentang Arland dan Arasha. Tentang pernikahan mereka. Arland yang memberi tahunya. Ya, pria gila itu yang memberi tahu kekasihnya perihal semuanya. Perihal hubungannya dengan Arasha.
Entah dimana otak Arland sampai berbuat hal seperti itu. Hidupnya selama ini terlalu santai. Setiap Tindakan yang dia buat tidak pernah dia pikirkan. Semuanya mengalir seolah dirinya selalu benar. Salah satunya adalah dengan menikah lagi.
"Dan setidaknya gue menjadi menantu sah dari keluarga Zeas dan keluarga Cashel. Dan juga, gue mendapat restu mereka." Arasha membalasnya lagi.
Kembali, dua mata itu bersatu, terlihat sedang bersaing satu sama lain. Ketegangan terjadi antara mereka, dan Arland berada di antara keduanya.
"Oh, no problem. Lo yang dikenalin sama keluarganya… tapi, gue yang dikenalin ke semua teman-teman dan orang terdekatnya. Jangan lupa juga kalau di kantor… gue yang dikenal sebagai milik Arland." Desis Ulfa, menyombongkan diri.
Arasha kali ini memilih untuk bungkam. Dia bukannya pengecut atau tidak bisa melawannya lagi. Tetapi karena dia terlalu malas untuk berdebat. Selain itu, dia juga muak dan malas melihat Ulfa terlalu lama.
"Kenapa diem? Ngerasa kalah?" sarkas Ulfa.
"Enggak Lah, gak ngerasa kalah sedikitpun. Gue cuman malas aja berdebat sama seseorang yang gak seharusnya jadi saingan gue." Arasha masih tak mau kalah juga.
Merasa perdebatan akan semakin panas, Arland langsung menengahi kedua istrinya tersebut. "Cukup ngerebutin guenya. Ulfa, lo mendingan urusin sahabat lo yang mulai mabuk." Arland mengusir Ulfa secara halus.
Bukannya Ulfa yang pergi, justru Raya yang merasa tak seharusnya ada di sini yang pergi menjauh dan Arasha tidak menahannya. Dia tahu Raya pasti merasa canggung dan sungkan.
"Kamu ngusir aku, Arland?! Kok gitu sih… aku 'kan pacar kamu. Seharusnya kamu ngusir Asa, bukan aku!" suara ulfa berubah drastis saat berbicara dengan Arland. Menjadi gemulai manja, membuat Arasha yang mendengarnya sakit telinga.
Tak hanya Arasha yang sakit telinga. Karena kenyataannya, Arland juga sama. Merasa muak dengan suara Ulfa kali ini. "Lo bisa gak—fuck! Ulfa… nurut sama gue, sayang. Lo pergi temuin sahabat lo yang mulai mabuk itu. Tinggalin gue sama Asa berdua karena ada yang perlu gue omongin sama dia. Oke?"
Arasha tidak terkejut melihat bagaimana Arland sangat lemah lembut pada Ulfa. Berbeda saat dengannya. Dimana Arland selalu tidak sabaran dan penuh amarah.
Mengerucutkan bibirnya, Ulfa merajuk. Dia mendekati Arland, mencium bibirnya dan melumatnya panas, di depan Arasha.
Tidak, tidak. Arasha tidak panas atau marah. Dia justru merasa jijik. Ini bukan di Amerika dan mereka berciuman di depan public tanpa tahu malu. Ini Indonesia, dimana berciuman bibir di public adalah hal yang sangat tabu.
"Iyuw." Sindir Arasha.
Arland melepas ciuman Ulfa, mengelap bibir istri barunya dengan begitu lembut. "Go!"
"Okay, sayang…"
Ulfa benar-benar pergi, menyisakan Arland dan Arasha berdua di tengah keramaian yang ada. Di antara banyaknya karyawan yang sedang berpesta, bahkan berdansa.
"Cepetan ngomong. Aku gak mau ada yang curiga." Desak Arasha.
Arland menggeram kesal, merasa bahwa Arasha tidak seharusnya menyuruhnya untuk cepat. "Ck! Lo gak ada hak apapun buat nyuruh gue. Termasuk nyuruh gue ngomong cepet."
Sejak kapan Arland jadi serumit dan se-sensitif ini? Masalah sederhana seperti ini saja ini dia permasalahkan. Apa tidak ada masalah yang lebih rumit di hidupnya sampai hal-hal sederhana seperti ini saja dia peributkan?!
"Lah? Arland, berhenti basa-basi. Aku gak ada waktu." Kembali, Arasha mendesak suaminya satu itu.
Arland mulai berjalan pelan, diikuti Arasha di belakangnya. Selama keduanya berjalan beriringan, Arland mulai berbicara. "Setelah ini gue bakal jarang di rumah. Dan juga, gue bakalan bulan madu sama Ulfa kurang lebih dua minggu ke Amalfi Coast, Italia."
Langkah Arasha langsung terhenti begitu mendengar nama tempat yang akan Arland kunjungi. Dia mengerjapkan matanya, menunduk.
Arland menyadari hal itu. Dia sadar sang istri tak lagi berjalan bersamanya. "Kenapa berhenti?" tanya Arland.
Arasha mengangkat wajahnya, menjawab. "Kenapa harus Amalfi Coast?" tanya Arasha.
Kening Arland berkerut, tidak mengerti. "Ya terserah gue lah mau kemana. Lagian, itu tempat bagus buat honeymoon… romantic dan juga jauh dari lo."
Sebuah gelengan singkat Arasha berikan. "Arland… kamu mau tahu sesuatu tentang rahasia yang gak pernah aku kasih tahu kepada siapapun termasuk Dylan? Sesuatu yang hanya aku simpan dengan harapan bisa terwujud?"
Entah apa yang terjadi, Arland merasa sangat penasaran. Selama ini, dia merasa telah mengenal Arasha. Semua yang Arasha rasakan dan sukai, semua yang Arasha tidak sukai, Arland pikir dia mengetahuinya. Tetapi, rupanya ada yang tertinggal. Sebuah rahasia yang ternyata terpendam sejak lama. Sesuatu yang terlewat dari apa yang dia ketahui.
"Hm." Hanya sebuah deheman. Tetapi, berhasil membuat Arasha mengatakannya.
"Aku berharap suatu hari nanti bisa ke Amalfi Coast dengan siapapun yang aku cintai." Akhirnya, sesuatu yang selama ini dia pendam dalam-dalam keluar dari bibir manisnya. Meluncur dengan bebas tanpa bisa ditahan lagi.
Arland tercekat, merasa tidak menyangka. "Seriously?"
"Hm. Itu mimpi yang aku punya sejak dulu dan gak pernah aku kasih tahu kepada siapapun." Jawab Arasha.
Arland merasa bersalah. Tetapi, ini bukan alasan untuknya mengubah tujuan bulan madunya nanti.
Dia terdiam selama beberapa saat, kemudian berujar pelan. "T-tapi, yang lo cintai adalah Dylan, bukan gue."
Arasha mendengarnya. Dan dia menghela nafas panjang. "No… aku sedang tidak mencintai siapapun. Semoga bulan madu kalian lancar. Aku… harus pulang sekarang. Oh iya, hari ini aku tidur di rumah Mamah. Lagian, kamu hari ini bakal sama Ulfa 'kan? Bye…" Arasha melambaikan tangannya, menerobos kerumunan dan pergi meninggalkan Arland yang mematung di antara kerumunan.
"Asshole! Lo selalu berhasil bikin gue merasa bersalah, Asa…"