23.
"What the fuck is that." Sebuah umpatan meluncur dari sebuah bibir manis seorang perempuan cantik berambut pirang yang saat ini sedang berdiri tepat di depan sebuah ballroom tempat pernikahan suaminya.
Disampingnya, terdapat satu-satunya sahabat yang dia miliki. Raya, gadis manis yang baru saja mewarnai rambutnya menjadi warna coklat terang hanya untuk tampil menawan di acara tidak berguna ini. Tangan Raya berada di punggung Arasha, menempel erat bagai terkena lem.
"Sa… yang sabar ya? Walaupun pasti canggung dan nyesek, tapi gak apa-apa. Lihat sisi positifnya." Raya begitu berhati-hati mengatakannya. Dia takut menyinggung Arasha. Meski pada kenyataannya dia sudah melakukan hal tersebut tanpa sengaja.
"Positif palamu, Ray. Kalau kayak gini sisi positifnya bagian mana coba? Makan gratis di hajatan suami gue sendiri?" gerutu Arasha. Gadis itu berjalan memasuki ballroom, diikuti Raya yang mengekor di belakangnya seperti anak ayam.
"Nah, itu salah satunya Ray!" celetuk Raya.
Arasha menghentikan langkah kakinya, melirik Raya dengan tatapan mematikan. "Salah satu, Ray?! Emangnya ada berapa sisi positif dari dateng ke acara nikahan suami sendiri hah?! Lo… astaga, otak lo ketinggalan di rahim nyokap lo atau gimana sih." Arasha pusing mengurus sahabatnya satu ini yang teramat konyol dan selalu saja berpikir positif. Mungkin, saat di rampok dia juga akan berpikir sedang bersedekah.
Menyadari ada kilat kemarahan dalam diri Arasha, Raya langsung menyadari bahwa dirinya salah berbicara. Dia menggaruk tengkuknya sendiri, meminta maaf. "Ya sorry… gue awalnya mau ngomong kalau kalian itu pasangan anti mainstream gitu. Suami istri tapi… musuhan. Kek, gimana sih ya ngomongnya. Dan sisi positif nya ya… lo gak perlu repot-repot ngurusin Arland lagi karena udah ada Ulfa yang bakal urusin dia. Iya 'kan?"
Apa yang Raya katakan ada benarnya. Arasha tidak perlu repot-repot mengurus Arland. Bukankah setelah pernikahan ini, Arland tentunya akan lebih sering menghabiskan waktunya dengan Ulfa. Dan jika hal itu benar-benar terjadi, Arasha akan bebas dari segala macam tingkah menyebalkan Arland. Akan tetapi… ada hal mengganjal dalam dirinya jika hal itu benar-benar terjadi. Yaitu, tujuan Arasha menikahi Arland tidak akan terwujud.
"Tapi habis itu gue sia-sia nikahin sia, Ray." jawab Arasha, seketika membuat Raya merasa sangat prihatin.
Ditatapnya sahabat cantiknya, kemudian di pegangnya kedua pundak Arasha. "Asa, lo cantik sumpah. Lo cantik, baik, body lo juga bagus. Lo pasti bisa dapetin seseorang yang lebih pantas untuk jadi ay—"
"Ibu HRD udah dateng ternyata." Ucapan Raya terpotong oleh seseorang yang tiba-tiba saja datang dan menghampiri mereka.
Arland, sang mempelai kita telah datang dengan setelan putihnya. Persis seperti saat menikah dengan Arasha. Entah sengaja atau tidak, Arland tidak sendiri. Dia sedang menggandeng istri barunya, Ulfa. Perempuan yang saat ini mengenakan imperial dress berwarna putih. Sangat cantik. Meski begitu, kecantikan Ulfa kalah dari Arasha yang bahkan hanya mengenakan one shoulder dress berwarna abu-abu yang panjangnya hingga mata kaki. Pada bagian punggungnya terbuka lebar, serta kakinya yang jenjang terlihat jelas karena detail bukaan hingga ke paha.
Arasha sangat menawan. Sampai-sampai, tanpa sadar Arland terkesima. Meski hanya beberapa detik, namun berharga dan membuat ingatan Arland terlempar sempurna ke masa lalu. Ke saat-saat dimana mereka menjadi pasangan prom night. Bergandengan tangan dengan romantis, mengagumi kecantikan Arasha yang saat itu masih menjadi kekasih Dylan.
//Flashback//
Arland Maurozeas Cashel, si pemilik dua marga yang sangatlah besar. Calon pengusaha kaya raya dan seorang miliarder. Pemuda tampan yang kini berusia delapan belas tahun tersebut sedang melepaskan sabuk pengaman yang sejak tadi tertempel sempurna di tubuhnya. Pemuda itu melirik ke samping, mengamati Arasha yang kini sibuk berkaca.
"udah cantik…" sahut Arland tiba-tiba, membuat Arasha sedikit tersentak.
Gadis itu tergagap secara mendadak, kemudian berdehem pelan. Sejak Arland memujinya, suasana berubah menjadi sangat canggung. Entah karena Arasha yang tengah berdebar, atau karena Arland yang merasa gugup.
Meskipun terlihat tenang, Arland sebenarnya sangat amat gugup. Percayalah, jantung pemuda itu sudah memacu sangat cepat, merasa sulit untuk sekedar bernafas setiap di dekat Arasha. Gadis berambut pirang tersebut seolah memiliki sebuah magnet tersendiri untuknya sehingga membuat Arland hanya bisa mematung dan mengagumi kecantikan yang Arasha miliki.
"I-iya, tau… gue 'kan emang cantik. Lo aja yang baru sadar sekarang." Balas Arasha sedikit tergagap.
Gadis itu kini meraih heels nya, kemudian mengenakannya. Arasha sedikit menunduk, membuat dress yang memiliki detail pada belahan dadanya mengekspos sedikit bagian di sana. Dan sialnya, Arland melihat hal itu. Beruntung, Arland bukanlah seorang pria yang suka memanfaatkan keadaan. Pemuda itu justru segera menarik dress bagian belakang Arasha, membuat bagian depannya ikut tertarik sehingga menutupi dada Arasha yang sedikit terekspos.
Arasha yang mendapati perlakuan secara tiba-tiba itu tersentak. Gadis itu segera melirik Arland tajam. "Ngapain?!" ketusnya.
"Bagian depannya kebuka. Gue bantu nutup." Jawab Arland tanpa memikirkan terlebih dahulu ucapannya. Dia mengatakannya dengan sangat ringan seolah ini adalah hal yang sangat sepele.
Lain halnya dengan Arland yang menganggap ini hal sepele, Arasha menganggap hal ini sebagai salah satu bentuk pelecehan. Gadis itu segera menyelesaikan kegiatannya memakai sepatu, kemudian melirik Arland kesal.
"Gue bakal ngadu ke Dylan kalau lo melecehkan gue!" desisnya.
Arland mendelik. Apa tadi Arasha bilang? Melecehkannya? Dia tidak menyangka kalau Arasha ternyata sangatlah pemarah. Bahkan, sekarang gadis itu seolah berniat mengadu domba dia dengan Dylan.
"Pelecehan di bagian mana Arasha Orlean? Gue gak sengaja lihat, terus gue tutupin langsung. Gue bukan cowok brengsek yang suka memanfaatkan situasi." Jelas Arland dengan helaan napas yang kasar. Berbicara dengan Arasha memang membutuhkan kesabaran yang sangat ekstra. Gadis itu pasti akan terus mendebatnya tanpa henti, merasa ingin menang meskipun pada kenyataannya sulit.
"Bohong! Lo pasti pura-pura nutupin 'kan? Padahal lo dari tadi udah melotot ngeliatin terus." Desis Arasha dengan sorot mata curiga yang sangat kentara.
Arland terperangah, tidak percaya bahwa Arasha akan menganggapnya sejelek itu. "Lagian gue gak nafsu Sa! Punya lo gak ada apa-apanya dibandingkan cewe-cewe yang pernah gue tidurin…" lirih Arland.
Apa tadi Arland bilang? Miliknya tidak ada apa-apanya? Bukankah itu artinya, Arland benar-benar melihat milik Arasha? Memang dasar pria itu!
"Lo bilang apa? Punya gue gak ada apa-apanya? Berarti lo liat punya gue dong! Ih, Arland mesum…. Tau ah!" kesalnya sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Terserah deh Sa. Yang jelas kita harus turun sekarang… lo udah siap 'kan?" Arland memilih untuk mengalah. Persetan dengan kemungkinan Arasha akan mengadu pada Dylan dan membuatnya bertengkar. Yang jelas, mereka tidak boleh terlambat untuk masuk karena Arland memegang peranan yang sangat penting dalam acara kali ini.
"Pokoknya gue bakal ngadu ke Dylan!" desis Arasha.
Arland benar-benar tidak mempedulikannya. Pemuda itu segera turun dari mobil, kemudian membukakan pintu mobil untuk Arasha. Sewaktu melihat gadis itu sedikit kesusahan turun, Arland dengan cekatan mengulurkan tangannya.
Arasha terlihat ragu untuk menerima uluran tangan dari Arland. Gadis itu hanya menatap uluran tangan Arland selama beberapa saat, sebelum akhirnya disadarkan oleh si pemilik tangan.
"Gue cuman niat bantu lo doang, gak lebih. Walaupun gue suka sama lo, bukan berarti gue bakal ngejar lo. gue sadar sepenuhnya kalau lo udah punya Dylan. Dan gue juga udah mundur sepenuhnya. Tinggal gimana caranya buat move on aja nanti."