"Selamat tinggal, Nona Earl. Selamat tinggal cinta ku. Selamat tinggal masa lalu." Lirihnya berpadukan dengan tatapan dalam dan lama sebelum melenggang dari gedung menjulang tinggi bertuliskan, Happy Wedding Leo - Earl.
--
"Silahkan, Sir." Ucapnya seraya membukakan pintu mobil.
"Mana kunci mobil?"
Tanpa banyak bertanya langsung menyerahkannya ke tangan Darren. "Ini, Sir."
Darren terlihat mengambil beberapa lembar dollar lalu, menyerahkannya kepada Dante. Refleks Dante pun langsung membeliakkan tatapannya. "Sir, ini uang untuk-?"
"Ongkos taxi." Singkat, padat, jelas, itulah dua kata yang meluncur dari bibir kokoh, bersamaan dengan itu Bugatti Veyron melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan kawasan yang telah membuat jiwa Darren tercabik - cabik.
Entah sudah berapa lama membelah pusat Kota London. Yang jelas sama sekali tak ada niatan untuk berhenti atau kembali. Mungkin sebagian orang akan berfikir bahwa Darren Ewald Gilbert, sudah gila. Ya, itu memang benar. Lelaki penyandang gelar billionaire tersebut sudah hilang akal sehat akibat patah hati yang diterimanya.
Tidak mau tunduk pada kegilaan dengan memutari pusat kota untuk yang kesekian kalinya. Dia pun terlihat mengarahkan Bugatti Veyron menuju sebuah club.
Dilajukannya mobil berkecapatan tinggi hingga terdengar bunyi decitan. Meskipun begitu sama sekali tak dihiraukan olehnya. Untuk saat ini Darren tidak lagi perduli pada keselamatan diri sendiri. Pertemuannya kembali dengan Calista telah menenggelamkan akal sehat. Yang Darren butuhkan saat ini adalah pelampiasan dari rasa sakit.
Arrgghh, teriaknya frustasi sembari memukulkan tangannya pada setir mobil. Berawal dari hal itulah mobil yang dikendarainya telah hilang keseimbangan. Naasnya, akibat gerakan yang secara tiba - tiba telah membuatnya menginjak pedal gas sehingga laju mobil tak terkendali.
Tanpa dapat terelakkan lagi bagian depan Bugatti Veyron rusak parah setelah menghantam pohon besar. Shitttttt, umpatnya sambil memukulkan ujung siku pada pintu mobil.
"Arrgghh, kenapa tidak sekalian saja kau ambil nyawaku, hah? Kenapa Tuhan? Kenapa? Jawab aku!" Teriaknya berselimut rasa pesakitan. Siapa pun yang mendengarnya pasti bisa merasakan betapa hancurnya seorang Darren Ewald Gilbert.
Tanpa dapat terelakkan lagi air mata sudah menetes membasahi pipi. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa lelaki yang meneteskan air mata adalah lelaki lemah. Namun, anggapan tersebut salah besar. Tetesan air mata seorang lelaki sebagai gambaran kuat bahwa dia berada dititik terendah di dalam hidupnya.
Sungguh, benar - benar miris nasib seorang Darren Ewald Gilbert. Tampan, kaya, pengusaha sukses hingga mendapatkan gelar billionaire. Namun, pada kenyataannya yang melekat kuat di dalam dirinya tak bisa membuat wanita tercinta bertahan disisi. Nyatanya, wanita yang dia cintai dengan sangat dalam tersebut telah memilih cinta masa lalu. Cinta yang telah mengkhianatinya dengan sangat kejam.
Ya, mau bagaimana lagi jika perasaan sudah berbicara. Sebagai hamba yang tak berdaya sepertinya ini bisa apa? Tidak ada yang bisa dilakukan selain pasrah dan menyerah pada keadaan. Mencintai dan dicintai tidak berdasarkan paksaan, akan tetapi lebih pada ketulusan hati.
Ekor matanya berulang kali melirik dari kaca spion menunggu kedatangan Kenzie, selaku orang kepercayaannya. "Shittt, apakah jalanan ini terlalu sulit untuk ditemukan, hah? Dasar bodoh! Tidak berguna!" Umpatnya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian.
Tak berselang lama yang dia tunggu - tunggu pun sudah menunjukkan batang hidungnya. Dengan segera mengetuk kaca mobil sehingga menampilkan wajah tampan dengan rahang mengeras. "I am sorry, Sir." Sembari membungkukkan badan.
"Apa jalanan ini terlalu susah untuk kau temukan, hah?" Bentaknya berpadukan dengan tatapan nyalang senyalang mata Iblis Lucifer ketika akan menelan habis para musuh – musuhnya.
Tidak ada yang Kenzie ucapkan selain kata permintaan maaf. Bermanjakan pada sikap Kenzie yang menurutnya sangat memuakkan semakin menenggelamkan Darren ke dalam luapan amarah.
Tanpa dapat terelakkan lagi, satu pukulan telak telah dia hadiahkan sehingga pelipis orang kepercayaannya tersebut mengeluarkan darah segar. "Itulah hadiah spesial dari cara kerja mu yang tidak becus!"
Kenzie tidak menjawab kecuali menanggapi kemarahan Tuan nya dengan menundukkan wajah.
"Mana kunci mobil!" Bentaknya hingga suara bentakannya terasa memekak telinga. Tanpa banyak bertanya langsung menyerahkan kunci mobil ke tangan Darren.
Sebelum melenggang dari sana, ekor matanya tampak melirik pada Bugatti Veyron yang rusak parah. Tidak ada satu patah kata pun yang mengiringi pergerakan bibir kokoh. Meskipun begitu Kenzie sangat tahu maksud dari Tuan nya tersebut.
"Baik, Sir. Kekacauan disana akan segera saya bereskan." Sembari melirik sekilas pada Bugatti Veyron. Setelahnya, tatapannya beralih ke arah semula. Sialnya, Tuan nya sudah tidak ada di sana. Huh, Mr. Darren ini manusia apa Iblis sih? Cepat sekali menghilangnya. Umpat Kenzie dalam hati.
Tidak mau terkena siraman air raksa untuk yang kesekian kalinya. Dengan segera menjalankan perintah dari Tuan nya tersebut. Sementara sang Tuan nya sendiri terlihat sudah membelokkan mobil menuju club kesayangan.
Bermanjakan kedatangan sang billionaire. Para petugas yang berjaga bergegas mendekat lalu, membukakan pintu mobil. "Selamat malam, Mr. Qilbert." Sapa mereka dengan penuh penghormatan.
Sayangnya, yang disapa sama sekali tidak menanggapi. Bahkan sekedar melempar senyum tipis pun sama sekali tidak. Jangankan melempar senyum tipis. Sekedar melirik saja enggan dia lakukan.
Dengan segera turun dari mobil setelah membungkus siluet biru dengan kaca mata hitam yang semakin menambah ketampanannya menjadi berkali - kali lipat. Bersamaan dengan itu melemparkan kunci mobil ke arah para bodyguard supaya memarkirkan Bugatti Veyron di tempat yang seharusnya.
Tak ayal kedatangan Darren ke club ini pun langsung membuat para wanita bertubuh molek menjerit histeris. Mereka saling berlomba untuk bisa melemparkan tubuh di antara lengan kekar. Sayangnya, angan hanya tinggal angan ketika sang billionaire terkesan mengabaikan.
Untuk malam ini, Darren hanya ingin sendiri tanpa gangguan dari para wanita yang seolah - olah tergila - gila padanya. Nyatanya, yang mereka gilai bukanlah Darren semata, akan tetapi sesuatu yang silau yang melekat kuat di dalam dirinya.
Sialnya, ada satu wanita berkepala batu - Merry Qarrshicx - yang tidak mau menjauh dari sisinya. Merry, masih saja menempel bagai lalat. Bahkan tanpa segan - segan meliukkan jemari lentik di antara lengan kekar.
Muak, itulah satu kata yang menggambarkan bagaimana perasaan Darren bermanjakan wanita tak tahu malu tersebut. "Jauhkan tangan mu dan jangan memaksaku berbuat kasar, Nona."
"Uh, Tuan ku Qilbert. Yang kau katakan ini terdengar sangat menyenangkan. Jangan membuatku berfantasi liar membayangkan tubuh mu yang kekar ini sedang me-"
"Stop!" Desis Darren dengan sorot mata nyalang. "Pergilah atau kau lebih suka menerima hadiah dariku. Hadiah spesial yang pastinya tidak pernah terfikirkan oleh mu sebelumnya, Nona." Geramnya beriringan dengan seulas senyum jahat.
Sayangnya, Merry terlalu naif sehingga terkesan mengabaikan. Baginya bisa berada dekat dengan sang billionaire adalah kesempatan langka dan kesempatan seperti itu tidak boleh dilewatkan begitu saja.
🍁🍁🍁
Next chapter ...