Casilda termenung di dalam mobil usai membersihkan diri seadanya dengan air mineral yang dibelinya di dekat lokasi syuting itu.
Matanya melirik ke arah luar sana, sudah sepi, dan matahari sudah perlahan tenggelam menampilkan guratan kemerah-merahannya.
Wajah Casilda masih sembab, terisak pelan. Kacamata tebalnya bahkan melorot sedikit, pertanda dirinya habis menghapus air matanya yang jatuh berulang kali.
Di tangan kanannya tergenggam uang 5 juta hasil siksaan Arkan beberapa hari lalu hingga tubuhnya jatuh sakit seperti sekarang ini.
Air mata mulai meluruh kembali di wajah merahnya, merah oleh demam yang kini semakin naik. Sudah dipaksanya untuk berhenti mengalir, tapi secara insting terus saja tumpah.
Hatinya sakit bagaikan ditusuk ribuan jarum panas ketika mengingat dirinya begitu rendah dan hina menjilati sepatu lelaki sombong itu, tak pernah menyangka dirinya akan diperlakukan begitu kejam oleh seseorang, sama sekali tidak melihatnya sebagai seorang manusia. Seumur-umur dia hidup miskin dan susah, baru pertama kalinya dia mendapat perlakuan tidak manusiawi seperti itu.
Tangis Casilda yang paling keras akhirnya pecah di dalam mobil, meraung dan terdengar pilu. Haruskah dia menerima nasib seperti ini?
Kata-kata menusuk pria itu terngiang dalam pikirannya, membuat hatinya lemah.
'... kalau kamu sebegitu mendesaknya untuk biaya operasi adik khayalanmu itu, kenapa kamu tidak jual diri saja?'
Ratu Casilda Wijaya bekerja keras selama ini karena ingin menghindari pekerjaan kotor seperti itu.
Tidak peduli jenis pekerjaan apa saja yang diterimanya, asalkan tidak membuat keluarganya malu, pasti akan diterimanya.
Dia juga sudah tidak peduli dengan penampilannya selama bisa bekerja dengan baik dan bukan dari uang kotor, tapi apa yang didengarnya tadi?
Menjual diri?
Menjual ginjal?
Casilda tergugu keras, menghapus air mata di kedua pipinya secara bergantian. Sakit kepala sudah mulai menyerangnya, dan hawa dingin sejak tadi sudah mulai melemahkan tubuhnya.
Suara 'kruyuuuk' terdengar dari perutnya.
Ah... dia lapar... Tapi, nafsu makannya hilang entah ke mana.
Perempuan berkepang satu dengan rambut lengket dan wajah sembab ini, termenung kembali dengan tatapan kosong, persis orang yang tengah depresi di rumah sakit jiwa.
Besok malam dia harus ke mansion Arkan?
Dia tidak bodoh.
Tahu pasti Arkan sudah menyiapkan hal lain untuknya. Namun, dia tidak punya pilihan lain.
Dia seperti masuk ke kandang macan dengan sukarela, tahu dirinya akan mati saat itu juga.
Pria kejam itu memberinya 5 juta, apakah kali ini bisa 500 juta meski hanya pinjaman beserta bunga? Apakah dia benar-benar mau? Dia tidak suka Arkan memperlakukannya semena-mena, tapi ada adiknya yang butuh uang.
Mau seperti apa pun dia disiksa, selama tidak mati, mungkin tidak apa-apa, kan? Asal adiknya selamat, maka tidak perlu memikirkan dirinya sendiri.
Hati Casilda tertekan, air matanya meluruh. Hidupnya tiba-tiba dipenuhi oleh penderitaan sejak bertemu Arkan. Sampai kapan lingkaran setannya itu akan berakhir?
Mata Casilda menatap hampa pada uang 5 juta di pangkuannya.
Tidak boleh menyerah! Tidak boleh menyerah!
Adiknya harus dioperasi secepat mungkin!
Dengan cepat Casilda menggelengkan kepala, mata dipejamkan kuat-kuat mengusir hal-hal sedih dan buruk di hatinya.
"Aku kuat!!! Kamu kuat Casilda! Kamu harus tahan! Pokoknya harus tahan! Ini bukan apa-apa! Kamu jangan lemah! Setidaknya adikmu nanti akan selamat!" ucapnya menyemangati diri sendiri pada kaca spion, tapi suaranya serak dan wajahnya basah oleh air mata yang meleleh tanpa henti. Bibirnya gemetar saat mengucapkan kalimat kecil itu. Kedua pupil matanya bergetar sedih dan terlihat kasihan.
Dengan wajah merah dan napas sudah terasa hangat oleh demam, Casilda menjalankan mobilnya meninggalkan tempat itu. Dia terisak sepanjang jalan dengan hati hampa.
Ketika tiba di kedai, hari sudah larut malam.
"Untung saja kamu menelepon! Aku kira kamu mengalami kecelakaan!" ungkap Bu Hamidah, lalu berbisik jahat di ujung kalimat hingga Casilda tidak mendengarnya, "dapat pekerja murah dan giat seperti ini kapan lagi, coba? Mana dia punya keberuntungan bagus untuk kedai ini pula."
Setelah menyerahkan kunci mobil dan mendapat jatah 1 kotak ayam sebagai bonus tambahan, Casilda akhirnya teringat sesuatu.
"Bos!" sahutnya pelan kepada Bu Hamidah yang sibuk menyapu lantai di dapur.
"Ada apa?" balasnya santai, masih melakukan kegiatannya.
"Apa besok aku boleh cuti sehari?"
Bu Hamidah berhenti menyapu, berjalan mendekat.
"Ada apa? Kamu demam lagi?"
Casilda mengangguk cepat, tidak mau basa-basi. Besok malam dia harus ke mansion Arkan, jika tubuhnya tidak sehat dan jatuh pingsan, bisa-bisa negosiasi pinjaman uangnya bisa batal.
Dia juga tidak tahu permainan apa lagi yang disiapkan untuknya, maka dia pun harus bisa membuat tubuhnya lebih baik daripada hari ini.
Bu Hamidah menyentuh dahinya dengan cepat, langsung menjerit kaget.
"Astaghfirullahaladzim! Dahimu bisa dipakai buat goreng telur, Casilda! Besok tidak usah masuk saja! Kalau kamu tumbang, aku dan kedai ini juga yang akan susah!"
Bu Hamidah mengerutkan keningnya prihatin, tangan kanan yang menyentuh dahi Casilda dikibas-kibaskan dengan panik.
"Apa kubilang?! Sebaiknya aku kasih kamu hari libur 1 hari setiap minggunya saja! Kalau kamu sakit berhari-hari di saat ada pesanan penting, bagaimana? Pantas mukamu terlihat aneh dan kacau begitu. Aku pikir kamu hanya kelelahan, atau habis menangis apalah," lanjutnya dengan cemas, lalu meraih kotak kosong ayam krispi dan mengisinya dengan ayam baru, tapi bukan benar-benar ayam baru. Itu adalah ayam sisa jualan hari ini. Casilda tahu betul hal itu, tapi itu masih terbilang bagus daripada pemberian Bu Hamidah selama ini padanya. Dalam hati, perempuan ini tertawa kecut, begitu miris.
Andai mereka masih kaya....
"Aku tidak butuh libur seperti itu, bos. Cukup kalau sedang sakit yang tidak bisa aku tahan, baru bos kasih aku ijin beberapa hari."
Bu Hamidah membelalakkan matanya senang, langsung menanggapinya riang-gembira, menepuk kedua bahunya, "OK! AKU SETUJU! AKU SETUJU! AKU JUGA TIDAK PERLU CAPEK-CAPEK LAGI MEMIKIRKAN SOLUSI UNTUKMU!"
Sudut bibir Casilda berkedut kesal, entah kenapa ingin marah mendapat perlakuan seperti itu dari bosnya, tapi dia sudah capek. Ingin ke rumah sakit mengecek adiknya saja setelah menemani ibunya sejenak setelah pulang bekerja nanti.
Sudah hampir 2 hari ini dia tidak menjenguk Danish gara-gara harus membujuk iblis kejam tak punya hati.
"Ini untukmu! Aku beri satu kotak lagi! Istirahat yang baik, ya! Jangan paksakan diri! Kamu harus segera sembuh agar bisa kembali lagi ke mari. Kedai ini tanpa dirimu sangat terasa berbeda!"
Mata Bu Hamidah berkaca-kaca, terlihat penuh haru dan kasihan.
Di mata Casilda, mau akting sebagus apa pun Bu Hamidah dengan segala perhatiannya, perempuan berkacamata tebal ini sudah paham niat asli sang bos sejak awal.
Dia hanya bisa mendiamkannya saja, toh, mereka diam-diam menjalin simbiosis mutualisme. Saling membutuhkan, saling menguntungkan.
"Oh, ya, bos, besok sore aku akan datang ke kedai ini mengambil pesanan."
"Pesanan? Apa Tuan Arkan memesan lagi kali ini? Berapa? 300 kotak?"
Mata sang bos seolah muncul huruf berlogo 'Rp' di kedua bola matanya.
Senyum Casilda kecut, dan menjawab sembari meraih kotak baru pemberian bosnya: "Hanya 100 kotak. Lumayan, kan?"
Awalnya, Arkan memang menyebut 10 kotak saat di tenda, tapi begitu di tengah jalan tadi, pria kejam itu tiba-tiba meneleponnya dan menyuruhnya untuk membawah 100 kotak ayam.
Sesaat, Casilda berpikir, apakah pria itu akan syuting di malam hari atau akan melangsungkan pesta kecil-kecilan bersama para kru, karena dia sempat mendengar dari kru yang lewat tadi sore di depannya kalau mereka akan libur 2 hari.
Apakah dia mau membuat pencitraan gaya lain?
Apa pun itu, tak bisa dipungkiri kalau dia sedikit senang pria itu memesan 100 kotak ayam krispi dan mendapat kesempatan baru lagi untuk bisa membujuknya.
Bu Hamidah sedikit kecewa, mulut dimajukan dengan kedua bahu lemas.
"Hmph! Aku kira kali ini akan pesan 300 kotak ayam," cibirnya, tapi langsung tersenyum senang, memukul pelan bahu Casilda dengan wajah malu-malu, "tapi, tidak mengapa, 100 kotak itu memang lumayan. Kamu memang keberuntungan untuk kedai ini!"
Casilda tertawa aneh mendapat pujian tidak tulus itu.
"Tapi, kapan diantarkannya? Seharusnya dia pesan lebih cepat!" keluhnya pura-pura merajuk marah, melipat tangan di dadanya.
"Maaf, bos. Tadi aku baru ingat. Tapi, kurasa tidak apa-apa. Pesanan itu harus aku antarkan pukul 7 malam tepat Sabtu malam ini. Kita masih punya waktu, bukan?"
Bu Hamidah mengangguk setuju, senyumnya sangat lebar.