"DIAM!" bentak pria yang menginjak pria di lantai.
Pria tua itu tergugu menahan sakit di sekujur tubuhnya yang sudah dihajar oleh beberapa orang di dalam ruangan itu.
"Bos! Harus kita apakan orang ini? Kalau dia mati, kita juga akan lebih rugi. Apa kita jual saja organnya, bos? Aku punya kenalan sindikat penjual organ ilegal di pasar gelap."
Sebuah suara mengusulkan dengan semangat pada sesosok pria angkuh yang duduk di sebuah kursi tunggal di depan mereka. Pria ini duduk menyilangkan kaki sambil mendongak angkuh, bertopang dagu dengan malas. Tapi wajahnya tidak terlihat karena cahaya tidak mengenai wajahnya.
Pria tua yang ditekan wajahnya ke lantai tadi langsung panik dan terlihat histeris.
"TIDAK! TIDAK! TOLONG AMPUNI SAYA! SAYA PASTI AKAN MEMBAYAR KALIAN!"
"DIAM! Kamu mau bayar bagaimana? Kamu tahu jumlah hutangmu berapa? 1 milyar lebih! Sialan!"
Suara keras terdengar lagi di udara.
Kembali pria itu ditendang, tapi kali ini perutnya yang terkena hantaman hingga tubuhnya berbalik dengan rintihan kuat.
"Aarggh! A-aku akan membayarnya... uhuk... uhuk..." rintihnya dengan erangan kesakitan, mata sepet oleh air mata dan darah mengotori wajahnya. Kedua tangannya memegang perutnya yang kesakitan seperti digigit oleh sesuatu.
"Bos! Kita jual saja! Satu ginjalnya bisa laku 1 milyar lebih. Jantung dan hati bisa 2 milyar lebih, dan paru-paru bisa 4 milyar lebih! Kita bisa untung banyak, bos!"
Sang bos yang wajahnya tenggelam dalam kegelapan ruangan remang-remang itu, maju dan menunjukkan seringai bibirnya yang tipis menawan terkena sinar cahaya, berkomentar dengan dingin: "Dia bisa laku bagaimana? Suka minum, rokok, dan judi. Tubuhnya pasti sudah rusak. Tidak bisa dijual baik. Juga sudah tua. Kalau laku paling cuma bisa jual ginjal atau mata saja."
"Ya, sudah, bos. Kita jual ginjal dan matanya saja! Mungkin bisa laku 2-3 milyar!"
Semua orang tertawa mendengarnya, sangat keras dan sangat puas.
Mendengar itu, pria tua yang sudah babak belur di lantai merangkak ke depan dengan tergesa-gesa. Kepala digelengkan kuat-kuat: "Bos! Bos! Ampuni saya, bos! Saya pasti akan membayar semuanya! Saya janji, bos! Tolong jangan ambil ginjal saya! Saya masih mau hidup, bos! Saya juga sudah tua! Tidak bagus untuk dijual!"
Kaki pria yang dipanggil bos itu menginjak kepalanya, "mau bayar bagaimana kalau tidak jual tubuh? Kamu bekerja saja tidak becus. Kerjanya cuma bisa mabuk. Tidak mabuk, pasti judi. Tidak judi, pasti tidur seharian. Menyedihkan."
Lagi-lagi pria itu ditendang kuat hingga terdorong dan mengerang memegangi kepalanya.
"Casilda! Casilda!" jeritnya histeris panik, berguling-guling sejenak lalu dengan susah payah kembali merangkak menuju bos itu, perutnya menggesek permukaan lantai.
"Bos! Saya bisa kasih yang lebih bagus! Anak saya! Anak saya bagus! Masih muda! Mau bos ambil organnya, mau bos jual juga tidak masalah!"
Dengan kejamnya, pria tua yang ternyata adalah ayah Casilda ini, menawarkan putri satu-satunya untuk menyelamatkan hidupnya sendiri.
Semua orang tertawa mendengarnya.
"Hei, Pak tua bau tanah! Memang anakmu itu sebagus apa sampai kamu mau menawarkannya sebagai pengganti dirimu ini? Memang dia nilainya layak 1 milyar lebih?" ledek pria berjas hitam sebelumnya.
"Sangat cantik! Dia sangat cantik, bos! Juga tubuhnya bagus! Kalian pasti akan suka! Aku jamin itu!"
Semua orang terdiam ketika melihat kesungguhan di wajah pria tua yang babak belur ini.
"Bos?" sahut seorang pria berjas hitam lainnya, wajah penuh pertimbangan.
Sang bos yang masih duduk di dalam kegelapan terdiam mengamati.
"Baiklah. Kalau kamu bisa membawanya ke mari, akan kami nilai. Waktumu 24 jam mulai dari sekarang."
"Ide bagus, bos! Kita juga butuh pekerja baru untuk dikirim ke Las Vegas! Mungkin bisa dijual mahal di sana kalau memang benar-benar cantik! Hahaha!"
"24 jam? 24 jam? Itu tidak mungkin! Tolong beri saya seminggu!"
Tendangan kuat mengarah lagi ke perut ayah Casilda.
"Jangan belagu kamu, ya, mentang-mentang bos sudah sedikit baik kepadamu!" bentak pria berjas yang menendangnya.
"Bo-bos! Beri saya waktu! Dia harus saya bujuk dulu! Tolong kasihani saya! Oh, iya! Saya punya fotonya di sini," ucapnya dengan nada gemetar gugup, dengan gerakan patah-patah menahan rasa perih dan sakit, dia mengeluarkan isi dompetnya hingga berhamburan ke lantai.
Isi dompet itu sebagian besar hanya berupa kupon dan kertas-kertas yang berhubungan dengan hobi judi lelaki itu. Uang hanya ada beberapa lembar, tidak cukup untuk biaya makan 3 hari.
Foto keluarga pria ini pun jatuh terlempar ke depan kaki sang bos.
"I-itu fotonya! Cantik, kan?"
Senyum pria tua ini setengah sinting, wajah sangat kacau dan bau.
Pria berjas hitam di dekatnya langsung memungutnya untuk diberikan kepada sang bos, muka langsung berubah kesal hingga urat-urat pelipisnya menyembul.
"Bos! Dia mau menipu kita lagi!" teriaknya lalu berbalik pada orang-orang yang berdiri di belakangnya, "tendang dia! Dasar kurang ajar!"
"Ada apa dengan fotonya?"
Sang bos bertanya malas-malasan.
"Lihat, bos! Beraninya dia bicara sombong begini! Cantik apanya?"
Foto itu diberikan, lalu dilihat oleh sang bos di sana.
Di dalam foto itu, terlihat Casilda dan ibunya berdiri berdampingan di depan sebuah meja, mengapit kedua sisi Danish yang duduk di sebuah kursi roda.
Ketiganya tersenyum menunjukkan kue bertuliskan: Selamat pulang ke rumah! Jaga jantung tetap sehat dengan tersenyum!
Dengan jelas siapa pun yang melihatnya bisa tahu mana sosok Casilda yang dimaksudkannya itu.
Casilda berdiri dengan senyuman pipi bakpaonya, manis dan ceria. Tapi, tubuhnya yang sudah gemuk, semakin gemuk dalam balutan dress cokelat pastel lengan panjang gombrang yang dikenakannya. Di sebelah lain Danish, ibunya memakai pakaian serupa, tapi terlihat tua dan terlihat bodoh dengan wajah linglung.
"Benarkan, bos? Dia benar-benar kurang ajar! Sungguh mempermainkan kita! Tidak bisa dimaafkan! Langsung jual saja, bos!"
Sang bos yang memegang foto itu tidak menjawab.
Dalam kesakitannya menerima tendangan bertubi-tubi, pria tua di lantai langsung cepat menjelaskan dengan suara mengerang histeris yang kuat: "Bos! Bos! Dia hanya gendut, bos! Dia bisa diet! Bos tidak akan rugi! Saya janji, bos! Dia benar-benar cantik!"
Pria berjas hitam yang mengambil foto tadi, langsung emosi dan berjalan ke arahnya dengan kedua tangan mengepal kuat.
"Masih saja berbohong! Mau kasih babi juga pikir-pikir!"
Wajah pria di lantai itu kembali jadi sasarannya.
Darah kental menetes-netes dari bibirnya yang bengkak, masih sibuk ditendang di sekujur tubuhnya secara membabi buta. Erangannya sudah nyaris lenyap menahan serbuan hantaman itu.
Suaranya kini menjadi desisan tercekat, "a-aku tidak bohong, bos! Di sela dompet masih ada foto lamanya! Bos bisa lihat! Dia sangat cantik, bos!" jelasnya terbatuk.
Sang bos menaikkan tangan, tanda menyuruh untuk berhenti menendang.
Semua orang di ruangan itu langsung menjadi tegang.
Sosok yang dipanggil bos ini memilik aura yang membuat orang lain bisa langsung tunduk begitu saja.
"Bos.... sungguh, bos... saya tidak bohong..." rintih ayah Casilda, terbatuk menyedihkan.
Muntahan warna merah kembali menghiasi lantai, menarik tubuhnya maju ke arah bos tersebut, begitu menyedihkan dengan babak belur di wajah seperti sudah mau pingsan saja.
Tangannya yang gemetar mencoba meraih dompetnya yang tergeser di depannya. Pria tua ini terus terbatuk kesakitan, napas pendek-pendek.
"Ugh... Casilda... Casilda cantik... sangat cantik, bos... jika dirawat, dia bisa mengalahkan artis cantik mana pun di negeri ini...." erangnya terbatuk dengan suara berupa cicitan kecil, sebelah tangan memegangi perutnya di lantai, tangan kanannya yang penuh darah menyodorkan dompetnya dengan susah payah di udara.
"Bos! Tangannya menjijikkan! Jangan sentuh, bos!"
Anak buahnya sudah melarang keras. Tapi, pria yang duduk di dalam kegelapan ini mengabaikan peringatan anak buahnya, meraih dompet kumal dan terlihat busuk itu dengan cuek.
"Bos!" seru sang anak buah panik.
Satu gerakan jari sang bos di udara langsung membuatnya terdiam.
Ruangan langsung hening, kecuali suara erangan kesakitan ayah Casilda di lantai.
Begitu pria misterius yang dipanggil bos ini mengutak-atik isi dompet itu, dia menemukan sebuah foto yang dilipat khusus dan tersembunyi di sudut tertentu, dompet itu pun dilempar ke lantai seperti sampah.
Dengan masih duduk bersandar dalam kegelapan, tidak menunjukkan wajahnya, kedua tangannya santai dan pelan membuka lipatan foto yang terlihat sudah lama dan sedikit menguning.
Kedua tangan pria yang memegang foto tersebut langsung berhenti bergerak ketika foto itu akhirnya terbuka lebar.
Kali ini adalah sebuah foto keluarga lengkap dari keluarga Wijaya yang masih dalam masa keemasannya.
Semuanya memakai pakaian mahal dan indah di sebuah studio foto, utamanya Casilda yang bertubuh langsing dalam balutan dress abu-abu muda bermotif bunga-bunga kecil, berlengan panjang dan sebatas lutut. Rambut hitam ikalnya digerai indah di satu sisi bahunya, dewasa dan manis. Sapuan make up natural dan bibir ombre yang menawan membuat pesona perempuan muda ini membuat siapa pun akan terdiam dalam kekaguman.
"Siapa nama perempuan ini?" tanya sang bos dengan nada penuh minat.
"Casilda! Casilda! Ratu Casilda Wijaya! Dia sangat cantik, bukan?! Benar-benar cantik seperti kata saya! Hanya perlu diet dan perawatan! Pasti laku dijual! Saya jamin! Organnya juga lebih sehat daripada saya yang sudah tua ini!"
Sementara sosok misterius dalam kegelapan ini jelas-jelas telah terpana dengan foto itu, ayah Casilda malah sudah bersemangat dengan mata berbinar-binarnya penuh rasa bangga dan lega sudah selamat dari ujung maut.
"Bawa aku bertemu dengannya," titah pria misterius ini.
"Tentu! Tentu saja!" balas ayah Casilda dengan cepat, merangkak kembali tergesa-gesa dengan perutnya menggesek lantai.
"Asal semua hutang saya lunas, dia akan menjadi milik Anda selamanya!" lanjutnya dengan wajah berseri-seri yang penuh memar, tersenyum setengah sinting dan sangat gembira.
Sangat jelek dan menjijikkan.