Di mansion Arkan.
Lantai 2.
Arkan menatap dirinya di depan cermin besar, memasang kancing kemeja putihnya dengan wajah begitu dingin. Rambut basahnya berkilau, seksi, dan menggoda.
'Ma-maaf. Aku benar-benar lupa siapa dirimu....'
'Aku tahu diriku seperti apa di masa lalu, tapi, bagaimana pun juga itu adalah masa laluku yang buruk. Aku tidak seperti itu lagi.'
Pria ini tak bisa melupakan perkataan perempuan yang sudah mengubah hidupnya sedemikian rupa.
Berani sekali dia melupakanku dan berkata seperti itu! Awas saja kau, Ratu Es! batinnya dengan hati masam, tatapan matanya merendah dingin dan angkuh pada pantulan cermin.
"Kau terlihat tampan sekali hari ini," puji sebuah suara perempuan yang terdengar dari arah pintu, merdu, ringan, sangat enak didengar.
Lisa Rosalinda Altezza, tunangan Arkan. Ia melenggang masuk ke dalam kamar dengan penampilan bak seorang dewi. Sangat rupawan dan indah khas seorang model ternama.
Ia mengenakan dress ketat cokelat pucat selutut, dipadu bersama sebuah scraf senada yang dibentuk cantik di lehernya dan sebuah mantel merah indah menutupi tubuhnya. Rambut hitam legamnya tergerai indah sebatas bahu, membuatnya terlihat dewasa dan elegan.
Perempuan ini meletakkan tas cokelat mahalnya di atas tempat tidur, meraih dasi biru tua di sana dan berjalan menuju pria tersebut.
"Lisa? Kenapa tidak menghubungiku dulu?" kening Arkan mengernyit ringan.
"Kenapa? Ingin menjemputku sendiri? Aku tidak mau. Sesekali memberimu kejutan membuatku sedikit puas," jelasnya dengan gerakan tangan mulai memasang dasi pada leher sang pria.
Arkan ingin bilang kalau ia bisa menyuruh supir menjemputnya, tapi ia mengurungkan niat itu.
Mood perempuan di depannya ini mungkin saja bisa hancur setelah mendengarnya. Hari ini mereka akan mengunjungi sebuah panti asuhan sebagai promo drama terbaru yang akan ditayangkan 2 bulan lagi, dan menghadapi temperamen buruk tunangannya saat suasana hatinya buruk bukanlah hal yang bisa dianggap remeh.
"Apa kau sudah sarapan?" tanyanya cuek asal-asalan, berjalan ke arah sofa setelah Lisa memasangkan dasinya. Ia meraih sebuah vest dan jas cokelat gelap dengan perasaan malas.
Lisa melipat tangan di dada.
"Kau tahu kalau seorang model tak boleh makan sembarangan, kan?"
"Ya. Tentu saja aku tahu," balasnya masa bodoh.
Lisa tersenyum tipis, lalu membantu pria itu memakai setelan jasnya di balik punggung.
"Akhir-akhir ini aku dengar kau jarang berolahraga dan tak memerhatikan dietmu."
"Aku tidak punya jadwal pemotretan selama syuting drama terbaru ini, jadi kurasa melanggar sedikit tidak apa-apa."
"Tubuh seorang model adalah harta karunnya. Tolong lebih perhatian lagi ke depannya."
Lisa memeluk punggung lelaki itu dengan mesra.
Entah kenapa ia tak suka dengan apa yang diperbuat oleh sang wanita, padahal dulu meski ia melakukan hal serupa ia tak keberatan sama sekali layaknya sebuah batu. Tapi, kenapa sekarang ia tak begitu nyaman dan dihinggapi oleh perasaan gelisah?
"Orang-orang sudah berkumpul di bawah. Tidak baik membuat mereka semua menunggu terlalu lama."
Arkan melepas tangan Lisa dari dadanya, dan berjalan cepat meraih jam tangan dan ponsel di atas nakas.
Lisa mengerutkan kening, sedikit kesal karena merasa ditolak. Namun, ia menyembunyikan perasaan kesalnya itu, dan melempar sebuah senyum anggun.
"Baiklah. Ayo, segera turun," Lisa berjalan ke arahnya dan menggamit lengan kanannya.
Pria berjas itu ingin menolak sekali lagi, tapi Lisa menahan lengannya dengan sangat kuat.
Dengan terpaksa ia pun turun dengan gaya bergandengan tangan menuju tangga.
Ketika keduanya hendak mulai menuruni tangga, seorang kru pria bertopi merah dan berpakaian kasual hitam-putih dengan kemeja tartan biru tua terikat di pinggangnya, berteriak pada Arkan di anak tangga terakhir di lantai satu.
"Maaf, Arkan! Mobilnya masih sedang dipersiapkan. Pesanan ayam yang akan dibawa ke panti asuhan masih sedang diatur bersama bingkisan lainnya. Tolong tunggu beberapa menit lagi," ia kemudian melihat jamnya, "kira-kira 10 menit saja. Kemudian kita semua akan segera berangkat bersamaan ke sana."
Arkan mengangguk khidmat, lalu melihat pria itu pergi dengan lambaian tangan di udara.
"Kita akan ke panti asuhan. Memang kau bakal betah bertemu anak-anak?" Lisa meliriknya pelan, ada nada mengejek dalam suaranya.
Arkan tak menjawab pertanyaan itu, terdiam memikirkan hal lain.
Di luar, tak jauh dari pintu masuk utama mansion, Casilda sibuk melakukan panggilan telepon atas perintah seorang kru yang menerima pesanan itu.
"Iya. Katanya mereka ingin minta tenaga ekstra. Mereka akan membayar layanan ekstranya, bos. Bagaimana?"
Dalam hati, ia sangat berharap Bu Hamidah menyetujuinya karena bayarannya membuat Casilda menelan air liur tanpa sadar saat mendengarnya.
"Apa kau bodoh? Tentu saja! Layani mereka dengan baik. Lagipula kita tidak akan menerima pesanan antar lagi hari ini selain di kedai."
Bu Hamidah tertawa keras dan puas di seberang sana.
"Oh, ya! Apa anakku ada di sana? Dari tadi aku mencarinya tapi sama sekali tidak melihatnya," nada suara Bu Hamidah terdengar ketus.
-----
Info:
Kalian bisa baca kelanjutannya di lapak hijau sebelah, ya! Udah 95 bab per 28 Maret 2022.
Cek feis.buk saya untuk info lebih lanjut: Natsumi Hikaru (gambar kue ikan)
Instag-rem: natsuhika.author
Updatenya saya pelan-pelan, karena harus edit dan revisi beberapa bab sebelum upload. Jadi, tidak bisa update banyak sekaligus, karena harus memperhatikan kualitas konten lebih baik lagi (typo yang kadang selalu terlewat, dll).
Selain itu, saya juga on going beberapa cerita di tempat lain di saat yang sama, jadi semuanya harus digilir updatenya, ya. Terima kasih!^^
-----
"Eng... itu..."
Casilda mengarahkan pandangannya pada Ryan yang sibuk mengamati keadaan mansion mewah itu di dekat mobil mereka, dan sesekali menyapa pada kru wanita yang tertarik padanya.
Hadeh! Dia percaya diri sekali tebar pesona seperti itu, batin Casilda dengan mata menyipit datar.
Ryan menangkap tatapan matanya, kemudian tersenyum lebar dan menaikkan jempol kanannya.
"Jika memang dia ada di sana, tolong awasi dia baik-baik, Casilda. Setelah pulang nanti, aku akan memberinya pelajaran. Haaah... tapi setidaknya dia akan membantumu juga. Kalian dibayar perorangan, kan?"
"Iya, mereka bilang seperti itu. 5 juta per orang," jawabnya dengan nada suara pelan.
"Luar biasa! Itu namanya durian runtuh! Hahaha! Ya, sudah. Itu artinya kalian akan digaji lebih banyak. Pastikan saja dia tidak mengacau di sana. Memang kalian akan ke mana, sih?"
"Katanya mereka akan ke sebuah panti asuhan di kota B."
"Oh. Begitu. Oke. Jangan mengecewakanku. Kalau kalian menjaga kualitas layanan tetap prima, bisa jadi mereka akan tetap terus memesan dan menjadi pelanggan utama kita! Dunia hiburan itu, kan, uangnya banyak. Hahaha! Bayarannya saja sangat luar biasa demi layanan ekstra! Bagaimana jika kita dapat proyek dari mereka? Ingat kerja yang benar, ya!"
"Ah... ba-baiklah," ucapnya dengan perasaan tak yakin.
Tapi ia setuju soal Ryan.
Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu benar adanya, ia hanya perlu mengawasi Ryan dengan baik, maka dirinya juga akan mendapatkan uang tambahan demi biaya operasi sang adik.
Casilda menghela napas berat, sedikit bersyukur karena rejeki sepertinya datang bagaikan jackpot ketika ia membutuhkannya. Namun, apakah akan terkumpul dalam 2 bulan? Jelas ia sangat meragukannya.
500 juta dalam 2 bulan?
Dirinya butuh keajaiban besar untuk mencapai jumlah uang sebanyak itu.
Hatinya resah, tapi percuma saja memikirkan tanpa melakukan apa-apa.
Setelah menutup telepon, perempuan bertopi hitam dan memakai kaos rajut orange tua itu melapor pada seorang pria yang memakai jas hitam, sepertinya seseorang yang penting tanpa ia perlu menanyakan identitasnya.
"Kami bersedia memberikan layanan ekstra. Tinggal dimasukkan saja semuanya pada tagihan pesanan itu," terangnya dengan penuh semangat.
"Bagus. Kalau begitu kalian siap-siap di mobil, ini kartu pengenal kalian, tolong jangan sampai hilang, ya! Tanpa ini kalian bisa diusir jika tak bisa menunjukkannya di sana."
"Heh?" Casilda terbodoh sejenak.
Memangnya ke sebuah panti asuhan serepot itu, kah?
Yang didengarnya, mereka akan melakukan promosi drama di sebuah panti asuhan yang menjadi salah satu setting penting dari drama tersebut. Pemilihan panti asuhan itu dilakukan oleh sang sutradara yang memiliki perasaan sentimentil pada tempat itu karena ia besar dan tumbuh di sana.
Tapi, jika seketat itu, tidakkah terlalu berlebihan?
Apakah pria berjas hitam ini adalah bodyguard?
Casilda bertanya-tanya seraya melirik beberapa pria berpakaian serupa di beberapa sudut ruangan. Yang membedakannya adalah, pria di depannya ini sedikit terlihat lebih bijaksana dan pakaiannya terlihat lebih berwibawa.
Apa dia adalah ketua para bodyguard, itu, ya? pikir Casilda asal.
"Ah! Arkan! Arkan! Sang Top Star kebanggaanku! Kau benar-benar sangat tampan! Dan Lisa, kau sangat cantik. Sangat, sangat cantik! Benar-benar pasangan serasi! Kalian berdua adalah bintang keberuntunganku!"
Tiba-tiba sebuah suara berteriak di belakang Casilda dengan menggunakan sebuah pengeras suara.
Kaget, ia pun berbalik melihatnya.
"Hah! Pak sutradara itu suka sekali heboh sendiri," komentar sang pria berjas hitam di sebelah Casilda.
Casilda mengikuti arah kepergian sang sutradara, dan secepat kilat menurunkan ujung topinya, tak ingin dikenali oleh aktor sadis yang tengah dihampiri oleh sutradara itu.
"Halo, pak sutradara. Pagi ini Anda semangat sekali, ya?" puji Lisa dengan senyum manisnya.
Arkan hanya terdiam, lalu mengarahkan pandangannya ke arah pintu keluar melihat sosok Casilda yang dengan cepat menyembunyikan wajahnya dengan topi, tidak sempat melihat wajahnya dengan jelas.
Casilda pun berbalik dan berbicara pada pria di sebelahnya dengan nada terburu-buru.
"Jika tidak ada hal lain, saya akan menunggu di mobil sampai semuanya siap, Pak."
"Ah, ya! Ini alamat yang akan kita tuju."
Pria itu memberinya sebuah kartu nama.
"Baik. Tolong beritahu kami jika kita sudah siap berangkat," katanya cepat dan membungkukkan badannya sebelum pergi dari sana.
Arkan memiringkan kepalanya melihat sosok bertopi hitam dengan tubuh berisi itu, ada denyar aneh bermain di matanya.