Selama beberapa jam pagi itu, Casilda membantu Bu Hamidah sibuk di dapur.
Jumlah pesanan mereka kali ini benar-benar gila.
Selain memesan ayam krispi, ternyata Tuan Abian juga memesan nasi putih sebagai pelengkapnya.
Alhasil, anak laki-laki semata wayang pemilik kedai dan sang suami pun turut ikut membantu mereka berdua bersama 3 ibu-ibu yang tinggal di dekat kedai itu.
"Kalau begitu, sampai nanti sore, ya!" lambai seorang perempuan dengan baju lime pucat dan rok hijau selutut.
"Kami pergi dulu! Semoga sukses, ya, Bu Hamidah!"
"Dadah! Fighting!"
Ketiga perempuan itu pun meninggalkan kedai Ayam Krispi Yummy, wajah mereka berseri-seri dan bercahaya dengan harapan akan mendapatkan isi amplop yang tebal sesuai perkataan sang suami pemilik kedai tersebut.
Bu Hamidah membalas lambaian itu, dan ketika ketiganya sudah memunggungi kedai, wajah perempuan ini langsung menjadi masam, bibir ditekuk dalam.
Kedua matanya melotot pada sang suami, memberinya tatapan mengomel tanpa suara.
"Lain kali kamu lebih baik cari pegawai tambahan saja, sayang. Aku tidak bisa tiba-tiba minta izin di toko dengan alasan sakit demi hal seperti ini lagi. Pesanan sebanyak itu tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan mengandalkan tenaga yang ada di kedai ini. Untung saja aku memanggil beberapa ibu-ibu dekat rumah untuk menolong kita."
Sang suami tampak duduk bersandar lelah di salah satu kursi pembeli, tangannya sibuk menggoyangkan kipas anyaman bambu pada wajahnya yang berkeringat. Kaos merahnya ditarik-tarik karena kegerahan. Pria tua ini baru saja menggoreng lebih dari 150 potong ayam krispi sebagai rekor terbarunya. Semua punya jatah menggoreng masing-masing, dan ia yang terbanyak di antara 3 orang yang melakukan tugas itu.
"Iya, tapi keuntungan bisnis kita jadi berkurang, kan? Sekarang aku harus membayar mereka sore ini!" koarnya galak, ia menumpuk kotak-kotak ayam krispi di atas meja paling depan di dekat pintu masuk.
"Sudah, sudah. Jangan terlalu serakah! Itu bawa sial, bu!" Ia mengggerak-gerakkan kipasnya di udara, mengarah ke sang istri, sebuah tanda tidak suka akan komentar juteknya. "Itu, anakmu suruh cepat selesaikan angkat kotak-kotaknya, lalu suruh pergi beli es pisang ijo di warung yang baru buka di ujung sana! Cuaca panas begini ditambah kerja goreng ayam, rasanya seperti di neraka. Maunya makan dan minum yang manis dan segar-segar saja. Haaahhh..." ia mendongakkan kepalanya ke langit-langit, mengerutkan wajah berkeringatnya.
Kipas angin yang ada di ruangan itu tak cukup untuk meredakan hawa panas yang menyerangnya.
"Harusnya bapak bilang dulu kalau mau panggil mereka!"
"Ibu cerewet sekali! Sekarang sudah jam berapa? Perjalanan ke sana tidak singkat, bu! Kalau macet, bagaimana? Ibu mau rusak citra kedai ini? Mereka pesan 100 kotak, bu! 500 potong ayam! Kalau mereka tidak mau bayar gara-gara terlambat antarnya, bagaimana? Pikir, bu!"
Bu Hamidah tak mampu membalas perkataan itu, ia hanya menekuk wajahnya masam. Sibuk mendorong troli berisi puluhan kotak-kotak ayam krispi dari dapur.
"Bu! Aku ikut, ya, kali ini! Aku juga mau jalan-jalan lihat rumah orang kaya, bu!" rajuk Ryan, yang muncul tiba-tiba dari pintu masuk kedai.
Pemuda ini seperti sudah menyiapkan idenya dengan baik. Semua itu terlihat dari cara berpakaiannya.
Sehari-harinya, ia hanya memakai kaos polos atau sepak bola, tapi setelah bekerja di dapur, kali ini ia sudah berganti memakai kemeja hitam lengen pendek tak dikancing dengan dalaman putih. Ujung celana hitamnya dilipat dengan sangat rapih dan baik, dihiasi oleh sepatu skets putih yang sangat bersih.
"Buat apa? Kamu disuruh beli es pisang ijo setelah ini! Jangan ganggu Casilda bekerja! Minggir!" bentak ibunya yang melihat sang anak menahan laju trolinya.
"Bu! Sekali saja, bu! Katanya mereka sedang syuting. Kalau anak ganteng ibu ini dilirik sutradara, hayo, bangga tidak?"
Sang ayah hanya menggelengkan kepalanya pasrah, mengibaskan kipas anyamannya dengan santai melihat tingkah anaknya.
"Oh! Tentu ibu bangga, anakku tampan!" pujinya, mencubit gemas ujung dagu sang anak.
Ryan tersenyum-senyum seperti orang bodoh.
"Tapi... Itu hanya dalam mimpimu!!! Orang malas sepertimu memang bisa jadi aktor? Bangun pagi saja tidak bisa! Mau jadi selebriti? Bawa bantal saja sana! Tidur!"
Bu Hamidah menggeser paksa tangan sang anak dan mendorong cepat trolinya.
"Daripada mengkhayal yang tidak-tidak, cepat bawakan sisa kotak yang ada! Casilda punya tanggungjawab besar untuk kedai kita!"
"Bu!" teriak Ryan tidak terima.
"Masih protes juga, ibu potong uang jajanmu!"
Ryan menggaruk-garuk puncak kepalanya dengan kasar, berdecak kesal, dan dengan berat hati menuju ke dapur.
Di luar, Casilda sibuk menghitung jumlah kotak yang sudah masuk ke dalam mobil dan mencentang sesuatu di papan kayu
"Sudah ada berapa yang masuk?" tanya Bu Hamidah antusias.
"Di dalam mobil sekarang sudah ada 70 kotak ayam kripsi, dan 50 kotak nasi putih."
"Baiklah. Susun yang benar, ya. Jangan sampai goyang saat di perjalanan."
Casilda mengangguk ceria dengan perasaan dipaksakan.
Ia butuh uang.
Sedikit apapun yang bisa dikumpulkannya, jika berkali-kali pasti akan jadi banyak juga.
500 juta bukan angka yang sedikit, dan dalam waktu 2 bulan?
Ke mana dia harus mencarinya?
Selama seharian bekerja di kedai, perempuan berkacamata tebal ini sibuk memikirkan bagaimana mendapat pinjaman sebanyak itu.
Saat ibu-ibu dekat kedai datang membantu, ia sempat membahas soal bagaimana mendapat pinjaman di Bank.
Dan ternyata tak semudah yang dipikirkannya.
Ia tak punya jaminan.
Bahkan rumah yang mereka tempati saat ini adalah rumah sewa dengan harga miring, kecil dan sempit. Privasi hanya sebatas dinding triplek dan kain gorden. Mereka sudah sangat beruntung dapat rumah seperti itu di kota besar yang serba mahal.
Orang yang bersedia menyewakannya termasuk orang yang sangat baik hati dan suka menolong. Terkadang bahkan suka membantunya memberikan info pekerjaan tambahan padanya.
Ketika semua kotak sudah dimasukkan ke dalam mobil, Bu Hamidah mengacungkan jempol padanya dari depan pintu masuk kedai. Senyumnya lebar sekali.
Dan Casilda mengangkat jempolnya, membalasnya dengan sebuah senyum kaku.
Detik berikutnya, bos Casilda melambai sejenak, lalu membalik tanda di pintu hingga terlihat tulisan "BUKA", kemudian masuk ke dalam kedai.
Casilda termenung.
Harus ke mansion itu lagi?
Hatinya berpilin. Sangat penuh konflik.
Namun, ada secercah harapan dalam hatinya. Kalau tak bertemu dengan pria psikopat yang mencekeknya dulu, maka tak apa-apa, bukan?
Ia bergidik sejenak.
Sudah berkali-kali ia menyesal dengan sikap buruknya di masa lalu, mau bagaimanapun sudah terjadi.
Mau nasib buruk atau tidak, ia tetap harus mencari uang saat ini.
Casilda meraih topi baseball hitam di atas dashboard, lalu memakainya.
"Kalau begini, setidaknya tidak akan dikenali kalau kami berpapasan nantinya, kan?" gumamnya melirik pantulan wajahnya di kaca spion depan.
Ia memasang senyum untuk menyemangati dirinya.
Tepat ketika mesin mobil dinyalakan, pintu di sebelahnya terbuka.
"Cepat! Cepat jalan!" bisik seorang pria dalam nada panik dan memerintah, wajahnya disembunyikan dari balik kemeja hitamnya.
"Ryan? Kamu mau apa?"
Casilda kaget melihat Ryan masuk dengan cara diam-diam dan setengah membungkuk.
"Cepat! Jalankan saja mobilnya!"
"Bu Hamidah sudah kasih ijin?"
Ryan menaikkan kepalanya menatap perempuan itu, sudut bibirnya berkedut kesal.
"Jalankan mobilnya! Jangan cerewet!"
Casilda tidak terima, ia pun membalikkan tubuhnya dengan niat membuka pintu mobil lalu melapor pada bosnya di dalam kedai.
BRAK!
"Kau keluar dari sini aku akan menciummu sekarang," bisik Ryan di telinga Casilda, sedikit seksi dan serak.
Wajah Casilda memerah di balik kacamata tebalnya.
Kaget karena tiba-tiba pemuda itu menghentikan gerakannya membuka pintu, mengungkungnya dengan tangan kiri menahan pintu mobil.
"Ryan! Apa-apaan kau! Bercanda juga ada batasnya!"
Perempuan itu menyikutnya hingga terdorong ke kursinya, marah.
Ryan terlihat cuek dengan tangan dilipat di dada.
"Jalankan mobilnya!" perintahnya seraya mengedikkan kepalanya angkuh, "bukan kau saja yang mau jalan-jalan ke perumahan elit."
"Ibumu pasti akan marah besar nantinya!"
"Tidak akan selama dia tidak tahu. Dan kau tutup mulut."
BUK!
BUK!
BUK!
Ryan memukul dashboard dengan tidak sabaran.
"Jalankan mobilnya, wanita jelek!"
"Turun!"
"Kau memerintahku?! Benar-benar minta dicium, ya!" ucap Ryan kesal.
"Kamu jangan kurang ajar, ya!"
Casilda mulai merasa tidak nyaman. Sejak kapan pemuda itu berkata hal seberani itu padanya?
"Sudah pukul berapa sekarang? Mau berdebat sampai kapan?" ia menunjukkan jam di ponselnya.
Casilda memucat, dan buru-buru memperbaiki duduknya.
"Awas kalau kau membuat masalah nantinya!" ancamnya seraya mulai menjalankan mobil dan berpikir untuk mencari rute tercepat sampai ke tempat tujuan.
"Tidak akan!" jawabnya lantang dengan wajah tersenyum berseri-seri, memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya yang berkilau indah.
***
-----
Info:
Kalian bisa baca kelanjutannya di lapak hijau sebelah, ya! Udah 95 bab per 28 Maret 2022.
Cek feis.buk saya untuk info lebih lanjut: Natsumi Hikaru (gambar kue ikan)
Instag-rem: natsuhika.author
Updatenya saya pelan-pelan, karena harus edit dan revisi beberapa bab sebelum upload. Jadi, tidak bisa update banyak sekaligus, karena harus memperhatikan kualitas konten lebih baik lagi (typo yang kadang selalu terlewat, dll).
Selain itu, saya juga on going beberapa cerita di tempat lain di saat yang sama, jadi semuanya harus digilir updatenya, ya. Terima kasih!^^