Kelompok terakhir memasuki lift, dan lobi cukup jelas sehingga aku bisa melihat ke dalam. Itu cukup terang, dinding marmer putih. Saat lift berjalan, itu cukup besar, dan sekarang lobi tidak begitu sibuk, seharusnya tidak terlalu penuh. Jackson berdiri di sampingku, amarahnya membara tapi masih sabar. Dia tidak mendesak ku, malah membiarkan ku membuat keputusan. Aku menarik napas dalam-dalam, memusatkan napasku, berkonsentrasi pada udara yang bergerak masuk dan keluar dari paru-paruku. Kata-kata tajam kami yang tak terduga telah melemparkan ku, reaksi ku tidak biasa, dan aku merasa tidak nyaman. Aku perlu fokus untuk naik lift dan keluar dari mata publik sehingga Jackson dan aku bisa menjernihkan suasana.
"Siap?" Suara Jackson tegang dan rendah. Meskipun dia marah, dia bersikap toleran.
"Ya."