Akibat kejadian itu nenek Nam jatuh sakit selama seharian penuh. Keesokan harinya, ia terbangun karena menggigil. Kantuk yang masih bersarang menyebabkan manik-manik matanya enggan untuk terbuka.
Suhu udara lebih dingin dari hari biasa, membuat ia tak betah tidur di sofa. Sofa lembut dari kulit itu sudah terasa seperti permukaan porselen dingin yang menusuk-nusuk kulit hingga ke tulang.
''Dia seperti itu sejak kemarin malam. Dan ini sudah lebih dari dua puluh jam. Untuk berjaga-jaga, bagaimana kalau dipindahkan saja ke lantai dua?'' Suara besar dari seorang lansia tampak sedang membicarakan nenek Nam. Beberapa lansia di sekitarnya, mengangguk akan ucapannya.
''Tidak, dia hanya demam saja. Kami sudah memastikannya.'' Jerry membantah. ''Lagi pula tak mungkin dia dipindahkan, di luar cukup berbahaya dan tak ada yang menjamin akan selamat. Seandainya dipindahkan, siapa yang mau menemaninya di lantai dua? Akan lebih sulit bagi kami untuk melindungi kalian,'' lanjut Jerry.
''Jerry benar. Mungkin saja di atas lebih berbahaya,'' Si perawat berkaca mata membenarkan.
Terganggu oleh perseteruan dua kubu beda usia itu membuat nenek Nam beranjak dari Sofa. Ia tertatih, badan yang lemas itu terasa ditarik kembali oleh sofa dingin. Namun, seorang dengan sigap membantunya berdiri.
''Kau memaksakan diri lagi,'' kata kakek Shin. Dia seorang teman yang baik hati. Orangnya tak banyak bicara namun tak segan menolong. Pria itu memiliki punggung besar dan menyempit bagian pinggul dan usianya dua tahun lebih tua dari nenek Nam.
''Shin, sejak kapan kau di sini? Kupikir semua orang sedang berunding.''
''Bukan berunding, Nam. Lebih tepatnya berdebat.''
Dua lansia itu berjalan pelan saling berpegangan tangan agar salah satunya tidak roboh di tengah jalan. Sementara, orang yang berkumpul saling melingkar itu masih sibuk menyuarakan pendapat mereka.
''Kalian tidak takut kah? Dia bisa saja ... seperti Soo Hwan. Satu pun dari kalian tak ada yang menyadari Soo Hwan sudah terinfeksi. Selanjutnya siapa lagi?'' kata seorang kakek berwajah besar dan tubuh seperti tomat.
''Dia benar! Ini mengerikan! Kalau begitu, siapa saja bisa menjadi mayat-mayat hidup itu,'' timpal beberapa nenek dengan pernyataan yang sama persis, mereka membenarkan beramai-ramai.
Perawat berkaca mata dan perawat berkepala botak terdiam, dua orang itu hanya saling melirik seperti orang bocoh. Jerry yang melihat rekannya tampak kehilangan keyakinan, mendengus jengkel. ''Pokoknya, aku tak ingin ada yang dipisah-pisahkan. Semua orang harus tetap di sini!''
Menyadari tak ada dukungan atas keputusannya, Jerry pun mengambil kursi dan duduk sambil menekan emosinya. ''Bodohnya mereka ini. Dipisahkan juga percuma, terlalu berbahaya dan makan banyak korban jika keluar dari kantin. Siapa yang mau bunuh diri hanya demi mengantar satu nenek sakit,'' kata hatinya yang marah.
''Sebelum malam, keluarkan dia saat ini juga!'' Banyaknya suara pengusiran itu membuat para perawat lain kehilangan dorongan untuk mempertahankan kemauan Jerry. Lantas pria bertubuh bugar, Lee Han bencondongkan badan di depan Jerry yang duduk di kursi.
Lee Han berbisik, ''Alangkah baiknya kita kabulkan keinginan mereka. Semua orang akan tetap begini dalam waktu lama kalau tidak diakhiri. Terlebih nenek Nam akan merasa terkucilkan. Kecurigaan bisa saja dilimpahkan kepada yang lain, dan itu dapat memicu keributan.''
Jerry terdesak, kemudian berucap, ''Bagaimana caranya? Di luar sangat berbahaya, dan masalahnya semua persediaan makanan ada di ruangan ini. Setidaknya perlu empat orang memindahkan nenek Nam ke atas. Siapa yang bersedia membahayakan diri? Sama saja bunuh diri.''
''Itu juga yang kupikirkan sejak tadi, Jer.'' Lee Han ikut duduk di samping Jerry sambil memperhatikan beberapa lansia yang berbicara banyak hal. Kericuhan terjadi di depan mereka.
Dalam beberapa detik semua suara mereka lenyap. Keadaan itu membuat Jerry dan Lee Han menoleh ke depan. Rupanya kehadiran nenek Nam membuat mulut orang-orang membisu.
Ketika nenek Nam berjalan menuju Jerry didampingi kakek Shin, mereka membuka jalan seluas-luasnya, seperti enggan untuk berdekatan. Bisik-bisikan para lansia lain bagaikan siulan angin di sekeliling nenek Nam.
Melihat keadaan itu, Jerry jadi tak nyaman. Nenek Nam duduk di satu kursi di depan Jerry dan Lee Han. Lantas ia berkata, ''Aku setuju untuk dipindahkan ke atas. Tolong antarkan aku.'' Suara nenek Nam yang biasa parau dan lantang, kini menjadi layaknya orang sedang sakit.
Atas keputusan dan persetujuan nenek Nam, mengejukan Kakek Shin beserta teman-temannya. Lalu kata kakek Shin, ''Jangan semata-mata karena ucapan mereka, kau rela membahayakan diri.''
Nenek Soo Jin, nenek Han, nenek Woon dan kakek Seo berkumpul menyerukan ketidaksetujuan mereka. ''Kau harus tetap di sini, Nam. Aku akan membuat semua orang diam!'' ujar kakek Seo, wajahnya mendadak terlihat garang.
''Apakah Nam harus telanjang, agar mereka percaya bahwa dia tak digigit! Bodohnya mereka, main tuduh saja!'' geram nenek Woon, ia berdiri di depan nenek Soo Jin dan nenek Kadam dan sengaja melantangkan suara untuk membuat takut lansia lainnya.
Melihat para lansia telah terbagi menjadi dua kubu, Jerry yang saat ini pusing lantas beranjak dengan gelagat yang marah, ia memukul lututnya lalu berjalan menjauhi keramaian.
Nenek Nam tak mendengarkan perkataan teman-temannya. Ia mendatangi Jerry dengan tubuh yang lemah dan belum pulih sempurna, sampai-sampai ia hampir merosot kalau saja kakek Seo yang tinggi itu menahan tubuhnya.
Keadaan lemah nenek Nam, meledakkan simpati di hati Lee Han. Tak tega dirinya melihat tua renta itu menjadi perbincangan.
''Semakin lama adu mulut ini akan mengundang para pemakan daging itu untuk mengepung kantin. Aku akan membawa nenek Nam ke atas, walaupun kau tidak bersedia,'' ujar Lee Han, tegas. Ia hendak berbalik, namun dadanya di tahan Jerry.
''Aku akan ikut!'' Jerry memutuskan dengan berat hati, menumbuhkan senyum pahit nenek Nam. Jerry tahu, nenek Nam sedang kecewa.
Kakek Seo, kakek Shin, nenek Soo Jin, nenek Woon dan nenek Han bersikeras untuk ikut bersama nenek Nam. Masalah baru, muncul dalam sekejap mata. Melihat jumlah lansia yang ikut bersama nenek Nam, tak cukup jika hanya Jerry dan Lee Han saja yang mengantar. Mereka perlu dua orang lagi untuk ikut, tetapi tampaknya empat perawat lain memilih menghindari mata Jerry yang sedang memohon.
''Mereka tak cukup nyali untuk ikut bersama kita,'' kata Lee Han berbisik kepada Jerry.
Jerry menoleh pada Lee Han lantas menanggapi dengan suara yang ditekan, ''Hendak sekali aku meneriaki mereka.'' Lalu ia menepul pundak rekannya, ''Siapkan beberapa kotak untuk diangkut ke lantai dua. Pinta kakek Seo dan kakek Shin untuk mengemasi makanan. Aku akan mengisi botol-botol air dan mencari senjata.''
Selagi mereka menyiapkan peralatan, teman-teman nenek Nam mendengarkan perbincangan tak mengenakkan hati dari kebanyakan lansia lain. Mereka mendiskriminasi keberadaan nenek Kadam. Si tua belanteran itu terkucilkan tanpa seorang teman. Duduk di Sofa sendirian sambil memijat telapak tangan.
Sungguh kasihan melihatnya, nenek Soo Jin berhenti mengemasi barang dan memilih mendekati nenek Kadam. Ia mengajak nenek Kadam untuk bergabung bersama teman-teman nenek Nam. Ia yakin si cantik ini bukan karena kecantikannya yang menyebabkan sebagian besar lansia bergunjing ria, melainkan karena nenek Kadam yang dikenal penakut, mudah sekali berteriak ketika mentalnya tertekan.
...
Sebelum tengah malam, Jerry dan satu rekannya berjalan lebih dulu. Mereka bersembunyi di tembok-tembok. Tubuh mereka bau anyir darah hitam milik Soo Hwan. Mereka yakin dengan melumuri tangan dengan benda menjijikkan itu dapat mengelabuni para zombi.
Lorong teras nan gelap adalah jalan utama menuju tangga lantai dua. Bulu kuduk mereka berdiri memperhatikan lorong hitam yang menganga itu. Napas mereka mengeluarkan asap, udara dingin menimpiskan oksigen sehingga bunyi tarikan napas dapat terdengar satu sama lain.
''Kau yakin di sana tidak tampak apapun?'' tanya Jerry pada Lee Han.
Lee Han tak menjawab karena tak yakin. ''Aku akan berjalan lebih dulu untuk memastikannya.''
Pria bertubuh bugar itu mengendap-endap memasuki lorong gelap. Tubuhnya ditelan kegelapan sehingga lenyap tak terlihat. Sedangkan, Jerry menunggu dengan jantung yang berdebat kencang sekali. Perutnya keram karena gugup. Sudah ditunggu lebih lima menit, sang rekan belum tampak batang hidungnya.
Beberapa saat, ia sempat ragu untuk melanjutkan perjalanan. Sesekali Jerry menoleh pada nenek Nam. Mereka bertujuh sudah siap di depan pintu kantin dan hanya menunggu aba-aba Jerry untuk ke luar.
Kemudian, terdengar gema suara keras yang mengusik kesunyian. Suara benda berat bermaterial besi berkali-kali terbentur anak-anak tangga hingga jatuh di dasar lantai. Menggelinding keluar dari kegelapan dan rupanya sebuah pipa besi milik Lee Han. Entah apa yang terjadi, pipa itu tak beserta tuannya. Senyap masih menelan keadaan, tak ada tanda-tanda keberadaan si pemilik pipa itu.