Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 22 - Rencana Gila

Chapter 22 - Rencana Gila

Malam dingin pada hari itu ...

Dua pasang kaki yang terbelenggu dihadapkan oleh kematian berwujud hitam, menjadi tontonan para lansia dan perawat lain di ruang kantin. Mereka menyeka gorden kaca untuk menyaksikan apa yang terjadi di luar. Ruang dan waktu seakan-akan terhenti, dua pria itu tak kunjung beranjak dari teras.

Bola mata bermanik cokelat muda milik Jerry terpapar oleh cahaya rembulan nan redup sehingga benda bulat itu seperti cermin. Dari sana terlihatlah bayangan di belakang tubuh Lee Han. Melalui mata temannya, Lee Han dengan keberanian yang tersisa mulai mengangkat pipa besi di tangan kanannya. Jerry berkedip cepat, seolah-olah tanda bahwa sebentar lagi temannya itu akan berlari tunggang langgang dari teras.

Pelan tapi pasti, kaki Jerry telah mengambil langkah mundur dan bayangan yang tergambar di bola mata itu makin tak jelas. Lee Han memandang mata Jerry dengan penuh permohonan, akan tetapi Jerry tak membalas tatapannya. Pria bermata cokelat muda itu sudah tenggelam dalam ketakutan setengah mati.

Takut diterkam karena Jerry memancing pergerakan, akhirnya pipa besi yang sudah berkeringat basah melayang ke belakang. Bersamaan dengan suara yang meraung tajam hingga menusuk ke ulu hati. Pipa besi sukses menghantam pelipis sosok yang tak dikenal itu. Bak gunung merapi yang menyemburkan lava, kepala yang terkena serangan Lee Han langsung menyemprotkan darah dalam jumlah banyak sekali. Sehingga darah itu mengotori tembok, sampai membasahi setengah wajah Lee Han. Suara pukulan nan kuat, menggema selama dua detik dalam jarak 6 meter. Para penonton di ruang kantin spontan menjerit-jerit.

Setelah melihat sosok itu terkapar tak bergerak, Lee Han menarik napas lega. Tangannya masih gemetar usai menghantam dengan sekuat tenaga. Bekas bukulan itu bahkan menyisakan jejak darah baru nan merah kehitaman.

Jerry terkesiap, perlawanan temannya itu seolah-olah memukul nyali kecilnya. Ucapnya dalam hati, ''Memalukan sekali. Aku bahkan terpikir untuk meninggalkannya hanya karena bertatapan dengan mayat hidup itu. Benarkah begini seorang pemimpin? Ini menjadi bukti terbuka bahwa aku tak layak menjadi pemimpin mereka. Andai saja ...''

''Jerry!'' panggil Lee Han dengan intonasi pendek.

Jerry tersentak ketika Lee Han memukul perut atasnya dengan pelan. Pria bertubuh kekar itu mencuri-curi pandang padanya seraya mengawasi mayat yang tergeletak di dekat tembok.

''Kita harus ke atas, sebelum ini mengundang mayat hidup lain berdatangan,'' ujar Lee Han. Nada bicaranya sudah berubah, seperti orang yang dikejar-kejar sesuatu. Lee Han tampak mengawasi daerah sekitar, mengabaikan darah yang mengotori setengah pipi hingga lengan kanannya.

...

Setelah sampai di teras balkon, mereka menyaksikan seorang perawat dengan tubuh pucat sedang menggeram keras sambil mendorong pintu sebuah kamar yang terdengar suara beberapa lansia di dalamnya. Lee Han dan Jerry lekas memukul seorang perawat itu hingga tumbang tak bergerak lagi. keributan yang terjadi membuat beberapa lansia keluar dari kamar. Mereka sangat senang melihat nenek Nam dan kawan-kawannya.

Tanpa membuang waktu, Nenek Nam diistirahatkan di salah satu kamar. Para lansia yang sudah sejak pagi berada di lantai dua, kini sibuk menceritakan keadaan lantai dua. Jerry dan Lee Han tak ingin mengganggu pembicaraan itu, mereka keluar dari kamar.

Lampu di lorong dimatikan agar jika ada zombi, mereka dapat bersembunyi karena zombi tak dapat melihat dalam gelap. Sinar rembulan yang menembus jendela, segera dihalau dengan beberapa selimut tebal yang diambil dari salah satu kamar.

Di lantai dua, panti Jompo, terdapat dua lorong yang berseberangan, ada teras balkon yang tersambung antara kedua lorong itu. Di lorong satu, pintu yang terbuat dari kayu dengan kaca tebal di tengah-tengahnya, sedang di rantai dan diikat dengan handuk. Jerry dan Lee Han mengamati daerah luar lorong dari kaca tebal itu. Mereka duduk berjaga demi menekan ketakutan para lansia yang baru saja dipindahkan. Tak jarang terdengar suara-suara langkah kaki melewati pintu lorong itu.

Udara semakin dingin saat menuju pertengahan malam. Dinginnya suasana di lorong itu membuat mereka harus menyalakan secercah api di tengah ruang. Tiga meter jauhnya dari depan pintu, lilin berdiri dengan cahaya yang membias pada wajah mereka. Punggung mereka bersandar pada dua sisi tembok yang berseberangan.

Wajah-wajah yang sebelumnya muram tampak kembali hidup, tetapi tak ada satu goresan senyum di bibir mereka. Otak mereka masih terbayang akan kematian seorang perawat bawahan Yoo Jin. Yang semula mereka kira masih selamat. Sekarang jumlah lansia di lorong itu mencapai dua belas orang, termasuk nenek Nam dan enam lainnya.

Jerry duduk sambil meluruskan salah satu kaki. Di depannya terdapat radio tape milik salah satu lansia. Radio itu berusia cukup tua dan sedang diperbaikinya. Terdapat obeng, plester, pematik, rokok, gunting, sebotol air minum dan sebungkus biskuit udang yang mereka ambil untuk menemani malam.

Jerry berdeham beberapa kali, memperbaiki suaranya. Ia bertanya, ''Lee, sudah kau pastikan lima lansia itu tidak terluka sedikit pun? Sudah cek seluruh tubuh mereka?'' Jawaban dari temannya belum terdengar, Jerry kembali berbicara, ''kita perlu memeriksa pasien di lantai tiga. Tidurlah selama tiga jam, kemudian kita ke atas sebelum matahari terbit.''

Lee Han berbisik, ''Aku setuju-setuju saja, tetapi apakah mereka akan ditinggalkan begitu saja?''

''Kau mencurigai nenek Nam? Kalau begitu, kita pisahkan dia dari mereka malam ini juga. Melihat ada lima lansia yang selamat di lorong ini, kemungkinan juga ada di atas.'' Jerry mendorong badan radio yang belum selesai ia perbaiki.

Sementara itu, Lee Han sedang sibuk membersihkan wajah yang bersimbah darah dengan handuk dan sewadah kecil air untuk mengompres.

Tetes-tetes air dari handuk yang diperas tercium anyir dan warnanya merah bening. Bau cairan itu membuat kepala Jerry terasa berdentam. Terbayang kembali olehnya senyum terakhir seorang pemuda magang nan baik hati, dan kalimat terakhir yang diucapkan dari mulut hitam bawahan termudanya, Soo Hwan. Semua itu kembali membayang-bayangi pikiran Jerry. Rasa sedih dan penyesalan mulai bersarang, menumbuhkan rasa sakit di hati. Namun, Jerry pandai bermuka dua. Dengan sedikit senyum di wajah, ia kembali fokus pada radio butut yang sebentar lagi selesai diperbaiki.

''Dua ransel besar makanan sepertinya tak cukup untuk kita dan 12 lansia itu. Ini tak akan cukup untuk satu minggu. Kulihat masih banyak makanan di ruang penyimpanan tadi. Sudikah mereka membagi seransel lagi untuk kita?'' Lee Han menatap Jerry, menunggu tanggapan.

Radio jadul itu telah selesai dirangkai ulang. Diletakkan Jerry di samping tubuhnya sambil di polesnya dengan handuk kering hingga permukaan radio tampak mengkilat.

Jerry berpaling dan bersua dengan Lee Han sebentar. ''Mungkin tak semudah yang dihayalkan. Jumlah mereka jauh lebih banyak dari kita. Ada 14 lansia dan 4 perawat yang bergantung dari hidup di ruang kantin. Kita perlu mengumpulkan makanan setidaknya cukup untuk dua minggu.'' Jerry mendadak termenung, kelopak matanya berkedip. Namun binar mata pria bernetra cokelat muda itu tak berpindah dari memandangi nyala lilin.

''Kau memikirkan apa, Jerr?'' Lee Han membangunkan lamunan Jerry dengan kakinya.

Seketika itu, Jerry tersadar. Tubuhnya sediki terlonjak lantas melawan tatapan Lee Han. ''Aku baru ingat. Aku melihat kunci mobil berada di saku depan kemeja Tuan Dong Han. Akan lebih mudah keluar dari sini dengan mobil truk itu. Tetapi ...''

''Gila! Kau ingin kita merampas kunci mobil di tubuh mayat hidup? Aku lebih senang jadi patung di sini!'' potong Lee Han secepat kilat.

Jerry tertawa tersedak. Tertawa dalam jiwa yang berselimut sedih dan prustasi. Lalu Jerry berkata lagi, ''Memang itu terlalu berbahaya. Aku punya ide, rooptop memiliki halaman yang luas. Aku ingin kita membuat tanda agar Helikopter mudah menemukan bangunan ini.'' Jerry terdiam sejenak, matanya berkedip-kedip melihat Lee Han. ''Kita mungkin bernasib sial di sana ...''