Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 21 - Yang di Dalam Kegelapan

Chapter 21 - Yang di Dalam Kegelapan

Derit jangkrit-jangkrit dan burung-burung hantu menjadi suara paling dominan, memperkuat atmosfer ketegangan yang membekap pergerakan Jerry. Ia membawa ransel beserta sepotong pipa besi dan sedang bersembunyi di sebuah tiang besar di teras. Sementara itu, empat meter dari sana, nenek Nam bersama teman-temannya masih berada di depan pintu ruang kantin, menunggu aba-aba. Mereka begitu khawatir, sebab Jerry tak juga beranjak dari persembunyian yang minim keamananya. Mereka telah menduga suara pipa besi nan menggelinding beberapa saat lalu, bisa jadi sebagai tanda kematian Lee Han.

Sebatang pipa besi berkarat itu tak bergerak di depan lorong. Mata Jerry masih tak jenuh menilik tajam pada lorong gelap yang menelan rekan sejawatnya. Napasnya yang berasap memupuk sensasi dingin di paru-paru, mengantarkan gugup hingga ke jantung. Detaknya cepat dan memberikan was-was kepada Jerry.

Mendadak terdengar suara sandal jepit yang terseret-seret menggema dari kejauhan di dalam lorong. Menjalarlah sensasi dingin dari kaki hingga kepala, Jerry mengintip samar-samar sembari mengeratkan pipa besi di tangan kanannya, siap memukul jika ada zombi. Air liurnya kering kerontang, gugup sudah diambang batas. Matanya tak pernah penat menanti pemilik suara sandal keluar dari kegelapan.

Namun tak disangka, sepasang tangan dengan darah yang mengucur menggapai pipa besi yang tergeletak di lantai. Usai mengambil pipa itu, tangan itu kembali bersembunyi di kegelapan. Mata Jerry membola memperhatikan kejadian itu. Tak hanya Jerry semua lansia yang menunggu, dibuat terperangak.

''Lantai atas aman!''

Suara dari dalam lorong membuat telinga Jerry tegak.

''Ayo masuk kemari, apa yang kau tunggu, Jerry?'' Tak salah lagi, suara itu seratus persen milik Lee Han. Akan tetapi anehnya, pria bertubuh kekar itu tak menampakkan diri sama sekali. Hanya siluet yang samar-samar berada di ujung lorong, dengan tangan yang memegangi pipa besi.

Meski sudah diajak dan suara itu telah diyakininya, tetapi ketakutan yang semakin detik semakin menggunung, mencegat tubuhnya untuk menghampiri asal suara itu.

Dalam benaknya, sekelebar ingatan akan riwayat kematian Soo Hwan mulai menghantui. Bukankah Soo Hwan yang terinfeksi juga menyebut namanya, bahkan pemuda itu tersenyum tanpa beban. Oleh karena itu, ia terpikir mungkin saja Lee Han bukan Lee Han yang sebenarnya. Bisa jadi orang itu Lee Han yang terinfeksi, atau perawat lain dari lantai dua. Seingatnya, ada satu perawat yang tertinggal di lantai dua selepas tiga perawat termasuk Yoon Ji dibantai di teras ini.

''Kau ...dengar suara itu?'' tanya Jerry. Selama beberapa detik, orang di dalam lorong seolah-olah tuli. Jerry memperkokoh pegangannya pada pipa besi sambil menunggu jawaban.

''Suara ... yang ... mana?'' sahut suara di dalam lorong.

Mendengar jawaban yang terbata-bata, bulatlah keyakinan Jerry. ''Orang ini bukan Lee Han!'' ucapnya dalam hati.

Kakinya berubah haluan hendak berlari masuk ke kantin, akan tetapi isi pikirannya seolah-olah terbaca oleh orang itu.

''Kau mau meninggalkan aku sendirian, Jerry. Kita sudah sepakat untuk tidak mengkhianati satu sama lain.'' Berbarengan dengan ucapan itu, suara sepatu mendekati Jerry, dari belakang.

Angin berembus lembut, udara dingin merasuki tubuhnya hingga tulang. Adrenalin meningkat menyebabkan udara serasa tipis dan jantungnya berdetak makin cepat. Kedua kaki seperti dipaku sehingga gerakannya terasa berat. Bunyi langkah-langkah kaki di belakang tubuhnya sudah seperti ujung tombak yang siap membunuh.

Bukan main ketakutan yang dirasakan tubuhnya, Jerry pelan-pelan menoleh. Batangan pipa besi yang semula dingin sudah satu suhu dengan tubuhnya. Erat sekali ia menggenggam, sampai-sampai pipa besi itu bergetar.

Matanya berkedip-kedip setelah sempat terdiam ketika menangkap wajah sang teman. Lee Han berdiri di ambang lorong, sinar bulan menampakkan wujudnya nan gagah dan kekar. Jerry memandanginya dari ujung kaki hingga wajah, sungguh tak ada satu kecacatan yang terlihat. Raut wajah Lee Han malah kebingungan melihat dirinya.

''Kau ini kenapa? Sejak tadi aneh sekali ... jangan-jangan ...,'' Lee Han menunjuk wajah Jerry dengan pipa besi.

Tuduhan yang bau-baunya diketahui Jerry membuat ia menyangkal dengan cepat. ''Tidak-tidak. Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Sejak tadi aku tak beranjak, masih menunggumu. Kau lah yang aneh. Kupikir kau—''

Lee Han menyela, ''Mayat hidup! Dan baru saja kau tertangkap basah akan meninggalkan aku!''

Perseteruan dalam lingkaran bisik-bisikan itu membuat nenek Nam dan enam lainnya mendengus jengkel. ''Apa yang mereka lakukan di sana?'' tanya kakek Seo. ''Kakiku keram menunggu terlalu lama,'' keluhnya lantas mengambil kursi dan didik di dekat pintu sambil memijat telapak kaki.

''Mereka malah berdebat. Kupikir terjadi sesuatu. Ini membuat jantung ku terasa mau copot,'' cerocos Nenek Woon, lalu ikut duduk di kursi sambil menonton Jerry dan Lee Han.

Kakek Shin meletakkan ransel makanan di lantai dan meregangkan punggungnya. ''Mereka sok berani, padahal sama-sama takut.''

Angin kembali berembus lembut, suara jangkrit melantun di sekitar teras. Ketika itu terdengar lagi suara sandal jepit yang diseret-seret.

Lalu Jerry pun bertanya pada Lee Han, ''Dengarkan baik-baik, bukankah suaranya cukup jelas?''

Lee Han memutar bola mata ke atas kemudian menanggalkan satu headset di telinga kirinya. ''Ah ... mungkin gara-gara ini. Tadi aku ke atas dan menemukan headset. Ada radio yang mengabarkan berita di kota-kota terdekat.''

''Sialan!'' umpar Jerry. Karena sejak tadi dia pikir Lee Han terluka, ternyata malah bersenag-senang dengan headset baru.

''Jangan mengumpati aku begitu! Beruntunglah karena aku, kita punya informasi baru mengenai wabah ini,'' Lee Han tersenyum miring lalu membuang napas pendek.

Ada semacam ketidakberesan yang mendadak mencuat di pikiran Jerry, lantas tanpa ragu ia bertanya, ''Tapi ... darah apa yang ada di tanganmu?''

Mendadak sunyi bermain di antara mereka. Suara jangkrik pun berpindah tempat, menjauh. Akan tetapi suara burung-burung hantu bernyanyi riang sekali. Sepeti kejut listrik, suara sekitar menarik aura dingin dari kaki hingga ke jantung Jerry.

Dalam diam ia menatap wajah Lee Han, tumbuh kembali keraguan akan sosok temannya itu. Sedangkan Lee Han menunduk, menilik darah mengucur di lengannya yang sedang memegang pipa besi.

''Darah segar itu milik siapa?'' pertanyaan Jerry dalam sekejap membuat dua teman itu menjadi asing kembali.

Lee Han menarik matanya ke depan, melawan kilatan mata Jerry. ''Menurutmu?'' senyum kecil muncul di bibir Lee Han.

''Sungguh ini situasi yang paling kubenci. Apakah dia mengelabuhi ku, dengan cara mengajak masuk ke dalam lorong gelap itu dan menghabisiku di sana. Bisa saja setelah itu, ia akan memanggil keluar nenek Nam dan teman-temannya.'' pikiran Jerry berkecamuh.

Lee Han tertawa selagi mencopot headset dan mengalungkannya di leher. Dengan wajah gembira serta senyum lebar ia berkata, ''Sekarang aku tahu belang mu, Jerry. Jelas-jelas ini sambal tomat, bahkan kau bisa menjilatnya jika kau ingin memastikannya. Aku terlalu lapar setelah memeriksa keamanan di lantai dua, lalu duduk cukup lama mengambil makanan dalam ransel. Aku takut kau memarahiku jikalau tahu aku mengambil makanan sesuka hati. Bubur cair yang tadi disantap tak sampai memenuhi isi otot ku. Ah ... aku terpaksa ke bawah karena khawatir pipa besi yang tak sengaja jatuh menarik perhatian mayat-mayat hidup itu.''

Bukan main, emosi Jerry langsung memenuhi ubun-ubunnya. Ia terasa dikerjai dan bisa-bisanya teman sejawat itu mempermainkan perasaan. Mengubah rasa gugup menjadi ketakutan dan menghasilkan detak jantung nan kelewat cepat.

''Puas kau, membuat nyaliku mengecut!'' Jerry memukulkan pelan pipa itu di dada Lee Han. Dan tawa Lee Han kembali terdengar ditahan-tahan.

Momen canda dan kekesalan itu berubah derastis. Atmosfer yang sama seperti beberapa saat lalu kembali tumbuh. Bukan karena Lee Han, melainkan sosok tinggi tepat di belakang Lee Han. Bola mata sosok itu memerah keabu-abuan, wajah penuh darah, lehernya bergerak-gerak diikuti suara langkah dari alas kaki berupa sanda jepit.

Mata Jerry gemetar, menatap sambil membelalak dan telunjuknya terangkat ingin memberitaku Lee Han. Tetapi temannya seperti orang bodoh karena tak langsung menangkap gelagap ketakutan dalam dirinya.

Lee Han terdiam mengartikan ekpresi Jerry, bau busuk mendadak memenuhi sekitar. Ia menelan saliva dengan susah payah.

Pria bertubuh kekar itu akhirnya paham maksud tatapan Jerry.