Chereads / ZOMBIE AREA / Chapter 19 - Jerry Yang Panik

Chapter 19 - Jerry Yang Panik

Bubur cair dengan kadar air 70% sudah seperti layaknya bubur di panti asuhan miskin yang sering disebut ransum. Topingnya tak seberapa, hanya berupa bawang goreng dan daun-daun bawang yang hijau bertaburan. Baunya memang tak begitu kuat, tapi rasanya patut diacungi jempol. Bubur cair itu tak terasa habis dimakan. Mangkok kecil porselen hanya menyisakan bekas lembab dan sedikit air. Jerry menyeka bibir tipisnya lalu menenggak minuman di botol. Matanya melirik pada satu rekannya yang berkumis tipis. Pria yang satu itu sampai-sampai menjilati sisa bubur di mangkok.

Tahu diperhatikan Jerry, pria itu meletakkan mangkok dan tersenyum malu-malu. ''Bukan karena aku sangat lapar, tapi rasanya enak sekali sayang kalau ada sisa,'' ujar Lee Han. ''Tapi, kalau tiap hari makan seperti ini, lama-lama badan makin kurus.''

''Walau bagaimana pun, tak ada pilihan selain berhemat. Tidak tahu kapan ada bantuan sudi datang kemari. Saluran kominikasi terputus, harapan tipis untuk bertahan. Andai pergi ke luar untuk membeli persediaan makanan, belum tentu di bawah aman.'' Pria botak mengalihkan wajahnya ke arah bayang-bayang mayat hidup yang mondar-mandir di taman. ''Aku berpikir sejak tadi. Mungkin ... wabah itu ditularkan oleh Tuan Choi dan kawannya. Di antara semua orang, cuma dua orang itu yang sering keluar masuk pegunungan ini untuk membeli bahan makanan.''

''Aku merinding, mengingat pagi-pagi sekali Tuan Dae Suk mendatangiku, meminta izin tidak menjaga pos Sekuriti. Dan saat itu bodohnya aku karena tidak memedulikan wajahnya yang pucat sekali.''

Beberapa yang mendengar cerita itu menjadi bergidik ngeri. Tetapi satu orang yang tak menunjukkan reaksi adalah Jerry, sang ketua.

''Kau terlihat depresi, Jerry.'' Pria berkaca mata ikut mengedarkan pandangannya mengikuti pandangan Jerry. ''Apa yang kau cari?''

''Dari tadi, aku tidak melihat nenek Nam. Bukankah dia bilang akan mencari Soo Hwan. Ada yang melihat nenek Nam?'' tanya Jerry, matanya bergerak ke sekitar.

Salah seorang dari rekannya menjawab dengan nada tidak yakin. ''Entah mungkin aku salah lihat, tapi kurasa nenek itu duduk di dekat dapur menyalakan despenser.'' Kemudian pria berkaca mata itu bertanya pada yang lain, namun teman-temannya menggeleng tak tahu.

Padahal ruang itu tak begitu jauh. Seharusnya hanya perlu lima menit untuk mencari Soo Hwan, asalkan pemuda magang itu tak keluyuran di luar. Sekarang, nenek Nam yang membuat Jerry khawatir.

Jerry meninggalkan meja makan dan berpikir untuk segera menemukan dua orang itu dengan kakinya sendiri.

Jerry menghampiri teman-teman Nenek Nam yakni kakek Seo, kakek Shin, nenek Soo Jin, nenek Woon, nenek Han dan Nenek Kadam.

''Kulihat ... dia sedang menyedu teh di sana,'' tunjuk nenek Kadam. ''Ia masuk ke ruang itu dan tak keluar lagi.''

Lalu buru-buru Jerry pergi menyusul nenek Nam, ia terpikir, ''Bisa saja nenek Nam yang nekat itu, membuka pintu belakang ruangan penyimpanan dan pergi keluar gedung.''

Jerry meminta sebagian rekannya untuk menjaga semua orang di dalam ruangan, sementara dia dan dua orang lainnya pergi ke ruang penyimpanan. Suasana berubah diselimuti ketegangan, pergerakan mereka yang cepat menarik perhatian para lansia. Terjadi pembicaraan serius antara orang-orang renta itu, membuat suasana semakin berkecamuh.

Di sisi lain, Jerry berjalan pelan-pelan memasuki ruang menyimpanan yang minim cahaya. Di belakangnya, dua orang kesana kemari mencari benda untuk perlindungan diri. Baru tiga langkah berada di dalam ruang penyimpanan, Jerry bergegas memeriksa ketika mendapati rak-rak besar saling bertumpang tindih di lantai. Barang-barang berserakan di mana-mana.

''Bagaimana rak besi ini bisa roboh?'' Jerry benar-benar tidak habis pikir, tenaga apa yang bisa membuat semua ini berantakan.

Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu mendekati beberapa rak. Bola matanya bergerak-gerak mencari keberadaan nenek Nam. Pintu belakang ruang itu tidak terlihat terbuka, yang berarti nenek Nam tidak keluar dari pintu itu.

Begitu melewati empat rak besar yang bertumpang-tindih, di ujung ruang, ia menemukan punggung berbaju terang tergeletak di lantai bersama nenek Nam.

Jerry terperanjat ketika Soo Hwan menoleh. Tampak jelas olehnya, mata putih abu-abu dengan noda hitam di sekitar bibir serta wajah sangat pucat berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Wajah itu bukan lagi Soo Hwan si pemuda manis berpipi kemerahan berseri.

''Kak Jerry!'' panggil Soo Hwan seraya tersenyum menampilkan gigi dengan gus-gusi hitam.

Pertemuan baru saja terjalin beberapa detik, tanpa pikir panjang lagi Jerry memukul kepala pemuda itu hingga terhempas di lantai. Nenek Nam menjerit begitu darah dari kepala Soo Hwan menyembur ke wajahnya.

Jerry dengan napas sengal, membantu nenek Nam berdiri. Bukan karena lelah, melainkan memukul orang sampai keluar isi otak baru kali pertama ia lakukan. Terlebih yang dipukul bukan sembarang orang, melainkan teman sendiri. Dengan tangan yang gemetaran diusapnya uban-uban yang berhamburan itu kemudian dipeluknya Nenek Nam agar mereka sama-sama tenang. Saat itu juga, dua orang perawat datang, mereka terduduk kaget melihat tubuh berseragam perawat terlengkup dengan kepala yang menyamping. Lantai basah oleh lautan darah, jari-jari Soo Hwan masih tampak bergerak-gerak.

Dua perawat yang bernyali kecil itu disuruh Jerry untuk membawa nenek Nam ke luar. Setelah jantungnya terasa tenang dan dua rekannya sudah tidak berada di ruangan itu, Jerry mencari beberapa plastik besar. Dengan mata yang berkaca-kaca, tubuh kaku Soo Hwan dengan jari-jari yang masih aktif bergerak, dibalutnya dengan plastik.

Hal yang selalu ia peringatkan kepada rekan-rekannya dalam setiap minggu pertemuan, agar mereka tidak saling melepaskan genggaman dan melukai satu sama lain. Namun, malam ini Jerry lah orang pertama yang melanggar peraturan itu. Saat membungkus tubuh si anak magang, menjalar dingin rasa takutnya hingga ke ubun-ubun.

Setelah plastik membalut seluruh tubuh pemuda malang itu, diberinya lakban, agar terbungkus dengan kuat. Mata Soo Hwan berkedip-kedip menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Maka semakin menjadi-jadilah tangis Jerry lantaran kasihan melihat Soo Hwan. Sungguh, Soo Hwan terlalu muda untuk merasakan hal ini.

''Maafkan aku ... Sowan,'' kata Jerry saat kepala Soo Hwan dibungkusnya dengan plastik hitam.

''A-ku, ingin me-ngatakan se-suatu ... ma-yat hi-dup itu, aku ... bisa mera-sa-kan--'' jari-jari Soo Hwan yang sempat bergerak-gerak akhirnya kaku sebagaimana sekujur tubuh pucat itu.

Jatuh air mata Jerry ketika menyadari bawah Soo Hwan masihlah Soo hwan yang dulu. Si magang yang paling muda itu, masih memiliki kesadaran dan rasa kemanusiaan, tetapi ia mengakhiri napas Soo Hwan dengan pukulan, tanpa memastikan terlebih dahulu. Perbuatannya beberapa saat lalu, sedikit banyaknya memupuk penyesalan.

Dilanda kebingungan dan kesedihan, Jerry duduk cukup lama bersama mayat Soo Hwan, mengabaikan suara-suara ribut para lansia yang menyambut nenek Nam.

...

Waktu telah sampai pada pertengahan malam, Nenek Nam berbaring menyamping dekat temannya yang sama-sama tak bisa tidur. Matanya tertuju pada cahaya malam yang kelam menembus kaca dan gorden. Bayang-bayang pemakan daging berkeliaran bebas di teras, Ponsel di tangan dinyalakannya. Pikirannya sedang kacau sekali, ia tak bisa tenang dan terus khawatir akan keselamatan anak serta cucunya.

Tiap kali terbayang mayat-mayat yang bangkit dengan tampilan yang mengerikan seperti Soo Hwan, muncul rasa takutnya. Pikirnya, bagaimana jika anak dan cucunya telah menjadi makhluk mengerikan itu? Lalu kemana ia akan menyandarkan hidup tuanya. Rasanya tak tega jika suatu saat melalui matanya yang tak senormal dulu, menatap wajah keturunannya yang menyeramkan. Nenek nam menarik napas dalam-dalam dan membuangnya.

''Nam, aku tahu kau belum tidur juga,'' bisik nenek Woon yang berbaring membelakangi.

''Ah, kau memang sahabatku.''

''Apa kau memikirkan keadaan keluargamu?'' tebak nenek Soo Jin.

''Tidak. Aku hanya merasa pasrah saja,'' Nenek Nam berkilah. ''Alangkah baiknya, jika aku mati dalam tidurku. Mengerikan kalau terbayang aku akan menjadi makhluk kanibal itu.''

''Sungguh kasihan, si pemuda imut itu telah menjadi mayat hidup. Rasanya nyaman sekali akrab dengannya, meski ia baru berada di sini,'' kata nenek Woon.

''Aku takut, cucuku akan menjadi seperti dia. Menurutmu, kenapa bisa ada mayat hidup?'' tanya nenek Nam, ia berbisik.

Nenek Soo Jin tak bersuara lagi. Ia tertidur lelap sekali. Uban-uban yang mencuat dari kepala nenek Soo Jin terus dipandanginya.

Apakah umurnya akan panjang dalam kekacauan ini? Apa tempat ini akan menjadi saksi kematian tuanya. Jika benar, ia harap dapat melihat cucunya pada waktu terakhir. Mati dengan tenang di depan wajah cucunya menjadi sisa semangat dalam hidupnya saat ini.

Malam menjadi hening, suara-suara di luar tak lagi terdengar. Perlahan, mata tuanya tertutup hingga kesadarannya tak lagi berada dalam tubuhnya.