Sudah cukup lama waktu terbuang, masih tak ada aktivitas apapun kecuali duduk diam sambil menyemangati satu sama lain. Sedangkan malam telah bergerak menuju pukul delapan, perut mereka sudah kelaparan sejak pagi tadi. Sang juru masak bersama tiga perawat bergerak ke dapur dan mulai menyiapkan makan malam.
Di tengah ruang, dua orang perawat membungkus wajah Yoon Ji dengan serbet hitam agar tidak menimbulkan suara, sementara Jerry dan rekan lainnya menyalakan lilin di meja-meja makan dan beberapa di meja dapur. Dengan demikian teranglah ruang kantin itu dan benturan kembali terdengar di beberapa sisi kantin. Hal itu kembali membuat ketakutan para lansia. Sehingga Jerry dan rekannya harus bekerja ekstra untuk mengembalikan suasana seperti semula. Butuh waktu cukup lama bagi Jerry membujuk dua puluh lansia agar segera makan, sampai sang juru masak dan perawat lain telah menyelesaikan pekerjaan mereka.
Makanan sederhana berupa bubur bawang diharapkan cukup untuk memulihkan tenaga. Si juru masak dibantu para perawat menyajikan bubur itu di atas meja-meja makan. Karena biasanya waktu makan ditandai dengan bunyi lonceng, kali ini nenek Nam yang berperan untuk mengajak mereka agar mau makan meski bau tak sedap menyelubungi seisi kantin. Bau itu tak lain bersumber dari Yoon Ji yang diikat di sebuah tiang besar dalam ruangan. Bau tubuh mayat yang perlahan mulai mengalami pembusukan.
Ketika semua orang sudah mulai menyantap makanan, Jerry yang dikelilingi tiga temannya, celangak-celinguk mencari Soo Hwan yang mendadak menghilang dari pengawasannya.
''Kau lihat di mana Soo Hwan?'' tanya Jerry, ia bingung sendiri.
Sejak semua orang berbagi tugas, bocah magang itu jadi tak diperhatikan.
''Mungkin sedang di toilet, maklum saja kejadian pagi tadi cukup mengocok isi perut. Kami semua muntah sedangkan dia ... aku cukup salut, dia kuat menahan ketakutannya padahal umurnya paling muda di antara kita,'' papar Lee Han, pria bertubuh bugar duduknya di depan Jerry.
''Orang bermental kuat memang seperti itu,'' timpal pria berkumis tipis di samping Lee Han.
Lalu pria berkaca mata, 6 tahun lebih tua dari Jerry, sedang menoleh kesana kemari lantas memperbaiki duduknya. ''Memang tidak terlihat batang hidungnya. Selama dia di sini, aku sering mendapati beberapa orang tua mengajaknya berbicara. Kupikir dia tidak terlihat karena sedang berkumpul bersama mereka.''
Rasa khawatir yang sesak, menyebabkan pantat Jerry beranjak dari kursi. Sendok stainless bergemelenting di atas meja bersamaan deret kaki kursi yang di geser, menyebabkan empat rekannya serentak menengadah padanya. Jerry bermaksud mencari bocah magang itu.
Kebetulan nenek Nam sempat menangkap inti pembicaraan pria-pria dewasa itu. Ia meletakkan semangkuk sup lobak sisa pagi tadi di meja mereka dan meminta si ketua perawat itu untuk tetap melanjutkan makan. Nenek Nam yang kali ini tak ada napsu makan, memilih untuk mencari Soo Hwan.
Ia berkeliling melewati meja-meja makan hingga ke ruang dapur. Selain mencari keberadaan Soo Hwan, ia sengaja menyibukkan diri karena sejak tadi selalu teringat wajah-wajah keluarga anaknya. Tak berapa lama setelah berkeliling dan ujung-ujungnya tak menemukan pemuda magang itu, nenek Nam memutuskan untuk menyendiri, memuntahkan semua kekesalan dalam dirinya.
Di temani dua batang lilin di atas meja bar dapur dan satu batang lilin dekat wastafel, nenek Nam duduk lalu menggunakan celemak plastik dan sarung tangan cuci.
''Jae Suk dan Yeo Ran, aku benar-benar penasaran keadaan mereka. Apa mereka sudah dievakuasi? Atau juga sama sepertiku, terjebak di suatu tempat. Cucu kecilku yang masih sekolah dasar lebih mengganggu lagi. Bagaimana cara memahami pikiran menantuku itu, bisa-bisanya dia menitipkan Yeo Ning-ku pada saudaranya. Kalau begini, siapa yang bisa melindungi bocah ingusan itu. Seandainya bersama Yeo Han, aku mungkin tidak begitu ragu. Yeo Han pasti bisa memukul mayat-mayat hidup itu. Rugi kalau dia tumbang gara-gara dikejar mayat hidup. Seni bela diri yang digaung-gaungkannya itu akan menjadi sebutan di mulut semata,'' racau nenek Nam selagi membersihkan alat dapur. ''Tetapi ... Kalau bukan karena Yeo Han, aku mungkin tidak tahu alamat rumah mereka. Sungguh keterlaluan, tega sekali sampai-sampai alamat rumah saja Jae Suk tidak memberitahu aku.'' Ia membuang napas panjang, seraya menjatuhkan pundak bak orang kehilangan semangat.
''Dari dulu, kedua suami-istri itu otaknya memang masih seperti anak remaja, tubuhnya saja yang dewasa. Lama-lama aku akan dibuat stres oleh mereka berdua.'' Sekitar sepuluh menit membersihkan dapur, mulutnya yang sudah penat meracaukan akhirnya berhenti.
Karena tak berselera makan sebab terbayang berbagai peristiwa mengenaskan pagi tadi, nenek Nam memilih mengonsumsi teh hangat. Setidaknya dapat mengisi perutnya.
Sambil menunggu despenser, nenek Nam duduk di kursi seraya memperhatikan orang-orang yang sebagian besar sudah menyelesaikan makan malam. Ada yang sedang mengobrol sambil berbisik, ada yang khusus memperhatikan gerak-gerik mayat hidup di luar. Pikirnya, mungkin orang itu trauma sekali atas peristiwa kematian nenek Jennie dan sebagian karyawan. Sehingga wajah orang itu tak letih-letihnya menatap siluet para zombi.
Suatu ketika, nenek Nam menarik ulurkan teh celuk di gelasnya, perhatiannya teralih pada bunyi kerasak-kerusuk dari arah ruang penyimpanan. Usai menenggak habis teh hangat, ia mencuci gelas itu. Dan lagi-lagi ada bunyi di ruang penyimpanan yang mencolok di telinga. ''Mungkin tikus,'' pikirnya.
Nenek Nam menyeka tangan yang basah memakai tisu. Hendak beranjak si tua itu dari ruang dapur, akan tetapi niatnya diurungkan saat menangkap tangis yang terdengar ditahan-tahan sehingga bunyinya tersedu-sedu. Nenek Nam jadi teringat bahwa ia di sana karena sedang mencari si magang, Soo Hwan.
Nenek Nam memperhatikan Jerry dan orang di sekitar, seperti hanya dia saja yang mendengar suara itu.
''Sebaiknya kulihat terlebih dahulu, mereka akan panik jika kuberitahu,'' gumamnya, yakin.
Maka tanpa pikir apa pun lagi, nenek Nam beranjak dari kursi menuju ruang penyimpanan.
Di ruang penyimpanan itu keadaannya cukup terang meski tidak seterang lilin. Karena sinar lilin di atas bar dapur tidak menjangkau ruang itu, hanya lampu darurat yang sangat kecil dengan kapasitas cahaya yang tak begitu memadai. Nenek Nam berjalan tanpa khawatir karena ia yakin semua pintu telah dikunci sehingga zombi-zombi di luar tak akan masuk.
Begitu dihampirinya, tampaklah si magang berhenti menangis dan punggungnya tak bergetar lagi.
''Hei, Nak. Kau sedang apa di sini? Semua orang sedang mencarimu. Ayo ikut aku, orang di luar sedang makan. Kau juga harus makan.'' Nenek Nam menghentikan ajakannya ketika pemuda magang itu kembali terisak. Di lihat dari sisi kiri tampak air mata Soo Hwan menetes-netes di lantai.
''Aduh, kau ini ...,'' nenek Nam menggeleng-geleng, tak mengerti apa maunya anak muda itu. Sungguh Soo Hwan dianggapnya masihlah bocah kecil yang mesti dihibur. Ia mendengus seraya mendekat lagi.
Tangannya gatal ingin mengusap kepala Soo Hwa, tetapi, diurungkannya saat memperhatikan dengan jeli, yang menetes bukan air mata, melainkan darah pekat yang terlihat hitam dalam cahaya remang.
Mata si tua itu membelalak ketika Soo Hwan menengadah. Matanya sudah memutih, noda-noda hitam menyelimuti sekitar bibir. Dan darah yang semula berjatuhan ternyata dari lengan. Sekarang sudah jelas, Soo Hwan menggigit lengannya sendiri sampai terkoyak. Bukan terisak menangis, melainkan daging yang dikoyak mirip seperti tangisan. Soo Hwan bukan seperti Soo Hwan yang ceria dan selalu tersenyum. Soo Hwan langsung beranjak begitu melihat nenek Nam.
Tak buang waktu, Nenek Nam berbalik dan berlari di antara rak-rak barang. Soo Hwan yang tengah menahan rasa lapar mendorong rak besar itu hingga menimpa tubuh nenek Nam. Si tua itu terhempas dan tubuhnya telengkup di lantai dengan kaki yang tertindih oleh rak beserta barang-barang berat. Darah mengucur dari luka di kakinya akibat gesekan tajam permukaan rak barang. Soo Hwan menelan air liurnya, kakinya yang sedikit kaku itu setengah berlari menuju nenek Nam.
Nenek Nam menggapai-gapai lantai dengan putus ada sambil menarik tubuhnya untuk keluar dari barang-barang. Pinggangnya menungging setelah usahanya berhasil. Baru sebentar nenek Nam berdiri, Soo Hwan memeluk dari belakang, akan tetapi keseimbangan tubuh mereka sama-sama kurang baik, hingga keduanya terhempas di lantai dalam posisi saling berhadapan.
Rasa nyeri pada pinggul si tua itu benar-benar menghentikan semua gerakannya. Kelopak matanya tertutup, keningnya berkerut dan mulutnya memuntahkan keluhan tiada akhir.
''Nenek—Nam!'' Suara serak Soo Hwan memaksa mata nenek Nam terbuka lebar. ''Aku be-nar, ini Nenek Nam, bu-kan?''
Wajah pemuda itu pucah sekali, mata mereka saling berhadapan. Gusi-gusinya menghitam terlihat ketika Soo Hwan tersenyum lebar. ''A-ku Soo Hwan ..., Nek!'' kata pemuda itu lagi.