Saat ini adalah akhir musim semi. Kelopak bunga telah rontok dari rantingnya dan menyebar di setiap tanah. Hawa panas terkadang mulai datang dan pergi menyambut datangnya musim panas yang sudah di depan mata. Halaman belakang paviliun Meng tampak sejuk, karena pepohonan menghalau cahaya matahari yang datang. Belum lagi angin semilir berhembus lembut menerbangkan sedikit dedaunan di semua pohon, membuat hawa panas tidak terlalu kentara di kebun itu.
Ketiga keluarga Meng tampak berkumpul di halaman itu. Wajah mereka semua tampak muram hingga sepertinya badai salju lah yang datang ke halaman tersebut, alih - alih sebuah hari yang cerah. Tampaknya, tak satupun dari mereka berminat mengagumi pemandangan akan indahnya hari itu.
"Apa ayah yakin akan melakukan itu?" tanya Meng Yue, matanya menatap ke arah sepatunya sedang tangannya menggenggam erat gelas teh di tangannya.
"Tidak ada pilihan lain, saat ini Raja sedang lengah. Jadi hanya ini satu - satunya kesempatan terbaik untuk menyerang," Meng Liu--tuan besar keluarga Meng--menjawab dengan tenang.
"Bagaimana kalau ayah...." Meng Yue tak sanggup melanjutkan perkataannya. Kata - kata selanjutnya itu adalah kemungkinan yang selalu menghantuinya, satu - satunya hal yang tak berani ia hadapi.
Meng Liu tersenyum, "Tidak apa - apa Yue'er, setidaknya kau tahu ayahmu ini tidak akan mati dalam kesia - siaan jika memang harus mati."
"Tidak perlu berkata buruk seperti itu! Bagaimana jika itu membawa petaka untukmu?" Han Xuanrong--istri Meng Liu--menegur dengan tidak suka.
Sekali lagi Meng Haoran tersenyum. Tidak perduli seberapa banyak pertempuran maupun musuh yang ia hadapi, di seluruh dunia ini, hanya mereka berdua yang mampu membuatnya tak berdaya.
"Baik, baik, aku tidak akan mengucapkan kata - kata tidak beruntung itu. Seperti pertempuran lainnya, aku pasti akan kembali dengan selamat juga kali ini," Meng Haoran menghibur dengan senyumnya.
"Meng Jiangjun!"
(T/N: Jiangjun sebutan bawahan kepada seorang Jenderal)
Seorang pemuda dengan baju zirah penuh melapisi tubuhnya berlari dengan tergesa masuk ke dalam halaman belakang Meng Haoran. Keributan yang dibawa oleh langkah dan baju zirahnya itu akhirnya menghancurkan ketenangan yang berselimut kegelisahan di halaman belakang tersebut. Pemuda itu segera berlutut dengan tangan tergenggam di depan Meng Haoran.
"Pasukan kita telah kembali, dan anda benar soal hal tersebut, Kaisar telah terdesak!" serunya.
Meng Haoran tersenyum, dengan sigap tangannya menggenggam pedang panjang yang telah menemaninya selama dua puluh tahun dari atas meja. Ia mendekati pemuda itu dan membelakangi istri dan putrinya yang tengah duduk dengan santai.
"Jika bisa aku akan kembali, tapi jika tengah malam aku tidak kembali. Kalian harus pergi melalui jalur rahasia kita, mengerti?" Meng Haoran berkata pada dua orang di belakangnya. Ia tidak berbalik hingga tak tahu apakah mereka menunduk atau tidak.
"Ayo pergi!" titahnya seraya berjalan dengan tegap menjauh dari halaman belakang itu. Pemuda yang tadi tertunduk juga bergegas berdiri dan mengikuti langkah Meng Haoran dari belakang.
Meng Yue meraih pot teh dan menuangkan isinya ke dalam teh. Matanya menatap dengan tajam pada langkah ayahnya hingga tetesan air panas teh itu membuat pandangannya teralih. Meng Yue dengan gugup menyapu tangannya dengan hanfu-nya lalu meminum teh tersebut.
Pertempuran ini terlalu beresiko dan Meng Yue tak bisa merasa tenang tentang hal ini. Ayahnya memang Jenderal Kavaleri yang hebat hingga selalu menjadi orang yang berada di garis depan ketika pertempuran, dan pulang dengan kemenangan besar dan tubuh yang masih utuh.
Tapi kali ini ... Ayahnya akan bertempur melawan keluarga kerajaan. Bahkan jika menang, akan sulit untuk mendapat pujian seperti biasa ketika ia menang.
*
Paviliun Utama di Perguruan Bai adalah tempat yang tenang dan nyaris tidak nyata. Seluruh tempat itu selalu memancarkan ketenangan alami yang akan membuat siapapun sungkan untuk membuat keributan di dekatnya. Paviliun itu terletak di samping danau biru
Feng Xin masih bertanya - tanya mengapa ia dibawa ke sana, ketika mendadak saja ia melihat sesosok orang yang tidak asing berdiri di depan paviliun utama. Alis Feng Xin terajut dalam selagi langkahnya agak melambat di belakang gurunya.
Itu adalah Wu Lei, komandan pasukan infanteri milik pamannya. Apa yang dia lakukan di sini? Sejauh yang Feng Xin ingat, tak pernah ada keluarga kerajaan yang mengunjunginya di sini jika itu bukan pada waktu kunjungan. Itu karena Penatua Bai akan segera mengusirnya, begitu ia mendengarnya. Selain itu juga, jika ada yang berkunjung kemari itu pasti hanya ibunya, Permasuri Fu Rong. Tidak pernah yang lain. Lalu apa yang dia lakukan di sini?
"Salam dianxia! Penatua Bai!" Wu Lei segera berlutut begitu dua orang itu berhenti di depannya.
(T/N : Dianxia merupakan sebutan penghormatan untuk seorang Pangeran. Kata itu berarti 'Yang Mulia')
Feng Xin mengangguk kemudian melambaikan tangannya ke atas, "Bangun" perintahnya.
Wu Lei segera berdir mengikuti perintah, tapi ia masih tak berani mengangkat wajahnya.
"Mohon hukum prajurit rendahan ini, Xinwang Dianxia. Prajurit rendahan ini pantas untuk mendapat sepuluh ribu kematian karena telah menganggu pelajaran anda."
(T/N : Xinwang merupakan gelar Feng Xin.
Xinwang Dianxia berarti : Yang Mulia Pangeran Xin)
"Aku percaya kau tidak bodoh. Berita penting apa yang membawamu kemari?" Feng Xin segera bertanya ke intinya.
"Dianxia! Mohon kesediaan anda untuk kembali ke istana! Pemberontakan telah terjadi di istana dan Kaisar telah terkepung!" katanya tergesa.
"Apa?"
"Seluruh yang saya katakan ini adalah kebenaran! Jenderal Meng telah berkhianat dan sekarang ia berbalik menyerang Kaisar!"
Jenderal Meng?!
Jenderal Meng yang telah mengabdi selama dua puluh tahun pada istana dan selalu membawa kemenangan untuk kerajaan, berkhianat?
"Dianxia sudah tidak ada waktu lagi, anda harus segera ke istana untuk mengambil alih gelar anda!" Wu Lei mendesak lagi.
Feng Xin segera berbalik lalu bersujud di hadapan gurunya.
"Shifu, murid ini tidak berbakti, mohon hukum murid ini karena telah meminta izin keluar."
Penatua Bai menatap Feng Xin dingin, alisnya berkerut tampak tidak suka. Meski pada akhirnya ia hanya menghela napas tak berdaya, "Selama ini dunia Jianghu tidak pernah bersinggungan dengan politik kerajaan," katanya memulai.
"Tapi ini adalah situasi genting ayahmu, jadi aku akan mengizinkanmu, Feng Xin. Tapi kau akan tetap menerima hukuman karena turun gunung sebelum waktunya. Aku tidak mau yang lain menganggap aku membedakan dirimu dari yang lain."
"Saya akan menerima apapun hukuman anda, shifu!"
"Bawa Bai Qingwu bersamamu, anak nakal itu perlu belajar apa itu pertempuran sebenarnya di medan perang," katanya dingin.
"Baik!" seru Feng Xin dengan nada lega. "Terima kasih, shifu!" tutupnya sambil melakukan kowtow.
"Berkemaslah dan katakan juga perintahku pada Bai Qingwu," kata Penatua Bai sebelum mengebaskan bajunya dan melangkah pergi dengan penuh kharisma.
"Siapkan pasukan di depan," kata Feng Xin dingin pada komandan yang mendatanginya tadi. "Kita akan bertempur sampai mati malam ini!"
"Baik dianxia!"