Berantakan seperti kapal pecah, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kamar Rio saat ini. Bagaimana tidak? hampir semua pakaian dikeluarkan dari dalam lemari, dan berserakan di lantai. Buku-buku pelajaran juga ikut menambah keadaan kamar semakin memprihatinkan. Sangat berantakan. Lalu, seprei pada kasur sudah menggulung menjadi satu, bantal dan guling juga sudah terlempar di sudut ruangan.
Kamar Rio yang sempit, terlihat semakin sempit dengan kondisi yang sangat acak-acakan.
Dengan wajah frustasi, Rio menjatuhkan dirinya, terduduk di tepi depan. Ia terlihat sangat kelelahan__dadanya bergerak naik turun, setelah mengeluarkan banyak tenaga__mengubah keadaan kamar yang tadinya sangat rapih, menjadi sangat memprihatinkan.
Rio benar-benar tidak tahu lagi, apa yang akan ia lakukan.
Laki-laki, hamil?
Sebagai anak IPA, tentunya ia tidak pernah menemukan teori apapun, yang menyatakan kalau laki-laki bisa mengandung atau hamil. Tapi kenyataannya, saat ini ia tengah hamil, ada janin di dalam perut Rio. Oleh sebab itu, jangan salahkan Rio jika ia merasa sangat shock, frustasi, dan hampir depresi. Bagi Rio ini adalah mimpi buruk yang menjadi nyata.
Kalau kehamilannya sampai diketahui banyak orang, seperti; tetangga, sodara, dan teman-temannya di sekolah, tentunya ia akan merasa sangat malu. Ditambah lagi dengan sebuah kenyataan pahit, kalau orang yang sudah menanam benih dalam perutnya itu, adalah orang yang paling ia benci di dunia ini. Siapa lagi kalau bukan 'Jamaludin'.
Dosa apa yang pernah ia perbuat? hingga ia mendapatkan hukuman yang begitu sangat berat.
"HAAAAAAAKKKK.....!!"
Rio berteriak, sambil mendongakan wajahnya__mentap langit-langit.
"Brengsek...!! anjeeeeng...!!"
Sepertinya ia belum puasa mengumpat saat sedang mengacak-acak apa aja yang ada di dalam kamar. Sehingga pada saat duduk ia masih saja mengeluarkan kata-kata kasar.
"Ri..."
Suara ibu Hartati terdengar sangat lembut saat akan memasuki kamar anaknya. Sebelumnya ia hanya berani menguping, mendengar suara teriakan dan benda-benda dibanting sama Rio.
Ibu Hartati sengaja membiarkan Rio melampiaskan segala emosinya, karena biasanya kemarahan seseorang akan langsung redah, jika orang sudah membanting benda atau barang apapun sampai pecah. Selain itu ia tahu persis keadaan mental anaknya saat ini. Belum siap, atau mungkin tidak akan pernah siap menerima kenyataan bahwa ia benar-benar hamil. Mengingat jenis kelamin anaknya yang seorang laki-laki.
Ibu Hartati melangkah penuh hati-hati__menghindari benda-benda yang berserakan di lantai.
"Ri..." panggil ibu Hartati, dengan lembut. Secara perlahan telapak tangannya mengulur, lalu menyentuh punggung Rio yang sedang bergerak naik turun__akibat terseguk. "Ibu tau, ini pasti berat buat kamu. Marah juga percuma, nggak akan bisa mengubah kenyataan. Yang harus kita lakukan cuma pasrah, nerima kenyataan. Anggep itu rezeki."
Meskipun ibu Hartati sebenarnya juga merasa terpukul dengan kehamilan Rio, tapi ia berusaha bijak. Sebagai ibu yang baik ibu Hartati berusaha menguatkan anaknya walau sebenarnya ia sendiri lemah.
"Tapi aku ini kan laki-laki, bu. Aku nggak mau hamil."
Rio memutar kepalanya, menatap ibunya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia sendiri tahu, ibunya tidak akan bisa merubah kenyataan. Menggunakan punggung tangan, Rio mengusap air mata yang lolos begitu saja membasahi pipinya. Ya, Rio menangis, tapi bukan karena ia lemah. Tapi ia benar-benar frustasi dan lelah.
Anak cowok mana sih? yang bisa mau terima, langsung bahagia, kalau tiba-tiba mendadak bisa hamil?
Jadi jangan salahkan Rio, kalau ia harus mengeluarkan air mata dalam menghadapi ujian yang tengah ia alami.
"Iya, ibu tau. Tapi nggak ada gunanya menolak kenyataan yang ada." Dengan lembut telapak tangan ibu Hartati mengusap perut anaknya yang masih rata. "Kasihan dia, jangan ngomong kayak gitu. Bagaimanapun dia berhak untuk ada di dunia ini. Kita harus bisa ikhlas nerima kehadiran dia."
"Tapi kan bu__"
"Husst...!" Ibu Hartati memotong kalimat Rio. Menggunakan telapak tangan wanita lembut tapi kuat itu, menutup mulut anaknya supaya tidak banyak bicara. "Udah ibu bilang, kalo kamu masih belum terima, kasihan calon bayi kamu."
Kedua telapak tangan ibu Hartati memegang erat kedua pundak Rio, memutarnya supaya berhadapan dengan dirinya. Sorot matanya menatap lurus mata Rio.
"Sekarang, coba kasih tau ibu? siapa yang udah bikin kamu hamil. Soalnya kata dokter Mirna pasti ada laki-laki yang__" ibu Hartati menggantungkan kalimatnya. Ia terlihat ragu atau sungkan untuk melanjutkan. "-yang udah memberikan seperma nya di rahim kamu, lewat jalur belakang."
Pertanyaan ibu Hartati tentu saja membuat Rio teringat kembali akan satu nama yang sangat ia benci 'jamal'. Hal itu membuat napas Rio menjadi memburu, rahang tegasnya mengeras akibat emosi yang tidak bisa ia bendung.
"-Ayo, kasih tau sama ibu. Apa kamu pernah pacaran sama cowok. Trus siapa ayah dalam kandungan kamu itu?" Lanjut ibu Hartati.
Rio memalingkan tubuhnya dari hadapan ibu Hartati, ia merunduk tatapan matanya penuh dengan dendam.
"Aku benci ama dia bu?"
"Benci kok bisa sampe jadi anak?" sorot mata ibu Hartati menatap selidik ke arah Rio. "Maaf, maksud ibu, kalo benci kok bisa sampe seperti ini?" ralat ibu Hartati, walaupun inti kalimatnya masih sama.
"Terus, kalo aku udah kasih tau siapa dia, kita musti ngapain bu? Suruh dia tanggung jawab supaya nikahin aku, gitu?" Rio terdiam, dadanya bergerak naik turun, emosi masih tergambar jelas di wajahnya. "Aku bukan perempuan bu, aku nggak mau. Aku masih normal." Ucap Rio tegas.
"Tapi kenapa kamu bisa sampe hubungan sama dia?" tanya ibu Hartati. "Bahkan sampe kamu hamil, Ri."
"S-sebenarnya..." gugup Rio. Entahlah ia merasa berat untuk menyampaikannya. Ia ingin menyimpan sendiri tentang pelecehan itu.
Dengan lembut telapak tangan ibu Hartati mengusap puncak kepala anaknya. "Ayo cerita sama ibu gimana kronologi nya. Kali aja ibu bisa kasih solusi buat kamu, Ri."
"Dia musuh ku di sekolah. Dia jebak aku. Trus... trus dia udah melakukan pelecehan sama aku," jelas Rio. Akhirnya dengan terpakasa Rio menceritakan semuanya kepada ibu Hartati.
"Maksudnya, dia maksa kamu terus, perkosa kamu gitu?" tegas ibu Hartati.
Rio hanya menganggukan kepalanya, sebagai jawaban atas pertanyaan ibunya. Hal itu sukses membuat ibu Hartati tersentak hingga menutup mulutnya.
"Astaga...!" Ucap ibu Hartati. Kemudian ia meraih tubu Rio, lalu memeluknya erat. "Pokonya dia harus tanggung jawab."
~☆~
Ibu Marta meletakan tumpukan beberapa foto di atas meja, di depan Jamal. Membuat Jamal menghentikan aktifitasnya yang sedang menyantap makan malam.
"Ini apa, ma?" heran Jamal.
"Itu foto-foto perempuan pilihan mama. Kamu suka yang mana?" jawab ibu Marta. "Ada yang anaknya temen mama, dan model brand produk mama."
"Trus maksudnya apa ma? Kenapa aku disuruh milih?"
"Mama pingin kamu nikah sama salah satu dari mereka."
"Apa?!" jawaban ibu Marta membuat Jamal tersentak. Ia benar-benar terkejut dibuatnya. "Mama ini apa-apaan? aku nggak mau. Aku belum pingin nikah mah..."
"Mama ini serius?" tanya pak Tama.
"Sangat serius. Mama udah capek sama Jamal pa. Mama pikir kalo dia nikah dia bisa lebih tanggung jawab. Biar hidupnya berubah."
"Tapi ma__"
"Nggak ada tapi-tapian. Mama capek sama kelakuan kamu Jamal__"
"Maaf nyonya... tuan..."
Seorang asisten rumah tangga mengehntikan perdebatan yang sedang terjadi antara Jamal dan kedua orang tuanya. Ketiganya menatap heran ke arah pembantunya.
"Ada apa bi?" tanya ibu Marta.
"Anu nya, ada tamu nyari tuan muda Jems."
Jawaban pembantunya membuat ibu Marta memutar bola matanya malas. Tanpa menunggu lama, ia langsung berdiri dari duduknya seraya berkata, "udah mama tebak, pasti ada yang minta pertanggung jawaban Jamal lagi."
Setelah menyampaikan itu, ibu Marta berjalan kesal ke arah ruang tamu. Di susul suami dan juga anaknya.
Sementara pembantunya masih berdiri mematung, sambil merundukkan kepalanya.
"Maaf ada perlu apa ya?" tanya ibu Marta setelah ia berada di depan pintu. Manik matanya menatap heran kepada beberapa orang sedang berdiri di hadapannya.
"Maaf, apa ini rumahnya Jamal?" tanya seorang wanita yang memakai baju seperti dokter.
"Iya bener," jawab ibu Marta.
Beberapa saat kemudian terlihat Jamal dan ayahnya sudah berdiri di belakang ibu Marta.
Terlihat Jamal mengerutkan kening, menatap heran kepada wanita yang berpenampilan seperti dokter. Lalu ada seorang wanita dengan pakaian sangat sederhana sedang merundukkan kepala. Selain itu ada dua anak kecil berdiri paling depan diantara mereka.
Bola mata Jamal melebar, saat bola matanya menatap seorang remaja yang juga sedang menatapnya tajam.
"Rio...? Ngapaain dia ke sini?" Tanya Jamal di hatinya