Mata sipit itu terbuka dengan perlahan. Cahaya matahari telah masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Gadis itu segera duduk, menyentuh bagian dahinya yang terasa pening sambil memejamkan kedua netranya untuk beberapa saat.
Helaan napas keluar dari bibirnya, rasanya sangat malas untuk beranjak dari ranjang. Apa lagi harus pergi ke sekolah, tempat yang sangat gadis itu benci. Di tambah dengan orang-orang yang tidak menyenangkan. Alra merasa lelah, dia ingin kembali tidur, tapi teriakan Aisyah semakin membuat kepalanya pening.
Alra segera berlari memasuki toilet kamarnya. Mencuci wajahnya dengan waktu tiga puluh detik sebelum akhirnya dia benar-benar mandi pagi ini.
***
"Ayo, cepetan sarapan terus berangkat ke sekolah!" ucap Aisyah sambil meletakkan makanan yang baru matang di atas meja, "Yahya, kamu berangkat sama siapa pagi ini?"
Yahya mengurungkan niatnya untuk memasukkan satu suapan nasi goreng ke dalam mulutnya. Beralih menatap mamanya, dan berkata, "Sama rio, temenku yang satu kelas Ma. Kebetulan satu arah."
"Oke, cepetan di abisin sarapannya!" ucap Aisyah sebelum melenggang menuju kulkas, "Alra, ayo bangun!"
"Aku udah bangun Ma," sahut Alra yang kini berjalan menuruni anak tangga dengan santai.
Gadis itu ikut duduk di meja makan bersamaan dengan Aisyah. Menegak susu cokelatnya dengan pelan, dan beralih mengambil roti gandum dengan selai kacang.
"Hari ini kamu dapet kelas apa Al?" tanya Yahya.
"Ada kelas lulis hari ini, terus ada kelas IPS sama PKN," sahut Alra tanpa menatap lawan bicaranya.
"Buku gambarnya udah siap Kak?" tanya Acha.
"Pasti udah, kan Kak Alra punya banyak," sahut Aura dengan senyum lebarnya.
Alra ikut tersenyum kecil sebelum memasukkan roti isinya ke dalam mulut. Suasana hatinya mulai membaik, padahal hanya percakapan kecil di pagi hari sambil sarapan bersama.
"Mama, aku mau jus nanasnya!" ujar Acha dengan manja.
Wanita paruh baya itu segera menuangkan jus nanas ke dalam gelas kecil. Memberikannya kepada putri bungsunya dengan senyuman yang begitu manis.
Suara klakson motor tiba-tiba terdengar beberapa kali, Yahya segera beranjak, san menggendong tas ranselnya di satu sisi.
"Ma, itu temenku udah di luar, aku berangkat sekarang ya!" ucap Yahya, mencium punggung tangan Aisyah sebelum melenggang pergi.
"Hati-hati Kak Yahya!" timpal Aura setengah berteriak.
Yahya menjawabnya dengan lambaian tangan sebelum benar-benar meninggalkan rumah dengan teman kelasnya itu.
Makanannya telah habis, tapi jarum jam masih menunjuk pada angka setengah tujuh. Alra yang melihatnya hanya bisa menghela samar, masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah.
Lagi pula dia tidak memiliki teman untuk di ajak mengobrol nanti, dan pasti akan merasa bosan karena harus diam di bangku sambil menunggu bell masuk.
"Ma, papa kapan pulang?" tanya Acha.
"Masih belum tau, papa belum ngasih kabar, emangnya kenapa? Kamu udah kangen ya sama papa?" sahut Aisyah.
Acha mengangguk sambil tertawa kecil, "Iya, kangen banget! Pengen jalan-jalan lagi sama papa kaya dulu."
"Nanti mama kasih tau ya biar papa cepet pulang. Sekarang kamu mandi, biar keliatan cantik!"
"Oke!" Acha segera beranjak, dan pergi berlari meninggalkan ruang makan.
Aisyah ikut beranjak setelah kepergian putri bungsunya. Menumpuk piring, dan gelas kotor kemudian di letakkan ke tempat cuci piring. Ia kembali duduk di kursinya, menata kembali meja makan yang berantakan menjadi lebih rapi lagi.
"Alra, kamu kapan gak berangkat sekolah? Ini udah siang, kasian Aura nungguin kamu," ucap Aisyah.
"Kamu kalau udah pengen berangkat, berangkat sendiri aja Ra! Aku masih pengen di sini," sahut Alra pada Aura.
Aisyah menghela panjang, dan berkata, "Alra, adik kamu itu masih kecil, masa kamu tega biarin dia pergi sendirian?"
"Ma, sekolahnya cuman ngelewatin beberapa rumah doang kok. Gak jauh-jauh banget, lagian aku pengen berangkat jam tujuh biar langsung bell masuk."
"Yaudah, deh terserah kamu!"
***
Jarum jam menunjuk pada angka sepuluh pagi. Jam istirahat telah usai beberapa menit yang lalu, dan sampai sekarang guru seni tak kunjung datang. Alra hanya bisa menghela panjang, menopang dagunya pada tangan kiri sambil memperhatikan jendela kelas. Dia merasa bosan, tidak ada satu orang pun yang mengajaknya berbicara, apa lagi teman sebangkunya.
Elga memilih pergi, dan berbicara dengan teman yang lain. Namun, itu bukan masalah besar bagi Alra, dia merasa lebih senang untuk duduk sendirian tanpa harus berbicara dengan anak-anak desa di sini. Lagian kalau mereka mulai mengobrol, pasti obrolannya selalu tidak sejalan, sangat berbeda.
"Al, kamu ngapain sih diem aja?" tanya Tina yang mulai ikut duduk di bangku sebelah Alra.
Gadis itu menggeleng kecil dengan senyum tipis, "Kalau aku ngobrol sendirian di kira gila."
"Eh! Gak gitu, maksudnya ikutan ngobrol sama yang lain gitu."
"Udah pernah, gak sesuai. Malah di ketawain, sama di diemin. Males aku ikut nimbrung, mendingan diem aja di sini," sahut Alra, "Eh, iya! Kita gak pindah kelas nih?"
Kening Tina bertaut dalam, "Maksudnya?"
"Sekarang jam pelajaran seni kan?"
Tina mengangguk.
"Kita gak pindah kelas buat pelajarannya?"
"Buat apa?"
"Gini-gini, pelajaran seninya di kelas ini?" Alra mengganti pertanyaannya menjadi lebih simple.
"Iya, di sini. Menurut kamu di mana?"
"Aku pikir pindah kelas, soalnya di sekolahku yang dulu tuh ada kelasnya sendiri. Di sana juga udah di siapin semua alat-alatnya, jadi gak perlu beli lagi," jelas Alra.
"Ah! Engga Al, beda. Kita beli sendiri alatnya, ini mah desa bukan kota jangan di samain!" ucap Tina dengan kekehannya, "Oh iya, mulai besok kamu piket ya!"
"Piket? Bukannya tukang kebun ya?" kening Alra semakin bertaut dalam.
"Piket ya setiap anak di kelas dong Alra, tukang kebun cuman piket di luar sama bagian kebun aja. Jangan berharap jadi ratu di sini!"
Gadis itu menghela untuk yang ke sekian kalinya. Sekolahnya ini tidak menyenangkan.
"Woy! Pak narto gak dateng hari ini, tapi di suruh gambar tema pemandangan!" teriak Daffa sambil menulis tema tugas dari Pak Narto di papan.
"Kamu bawa buku gambar?" tanya Tina.
Alra mengangguk, dan mengeluarkan buku gambar A3 yang dia lipat di dalam ranselnya.
Kening Tina semakin bertaut dengan bibir yang terbuka sedikit, "Gede banget!"
"Emang punyamu gak segede ini?"
"Aku A4, mana mungkin beli segede ini. Ini itu mahal, yang A4 aja aku gak bisa gambar penuh apa lagi ini!" sahut Tina sambil membuka buku gambar Alra dengan takjub, "Wow! Keren banget lukisannya, kamu pelukis ya? Ajarin aku dong!"
Suara Tina yang lumayan keras itu membuat beberapa anak perempuan, dan laki-laki mendekat. Mereka melihat karya Alra, dan memujinya karena sangat indah. Lukisan Elga yang katanya jago menggambar pun kalah bagusnya. Mereka saling membandingkan, dan memberikan tepuk tangan untuk karya gadis kota itu.
"Alra, ajarin ngelukis dong!" minta Ucha.
"Alra, lukisin pemandangan dong Al!" timpal Lia dengan wajah yang memohon.
Mereka semua meminta untuk di gambarkan, padahal menggambar itu butuh waktu, dan butuh ketenangan.
"Ayo, dong Al!"
"Aduh! Bayar deh kalau pengen, di dunia ini gak ada yang gratis!" sahut Alra kesal.
Raut muka teman-temannya berubah seketika, tatapan tak bersahabat mereka lontarkan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alra satu per satu.
Alra tertawa kecil, kemudian tersenyum sinis. Mereka semua hanya ingin gratis, dan membuat orang menjadi budak agar mereka mendapatkan nilai yang terbaik.
"Tina, kamu mau di ajarin gambar apa?" bisik Alra, "Tapi jangan bilang mereka semua!"
"Kenapa?"
"Aku gak suka sama orang yang suka pilih-pilih teman."