Chereads / LINDAP / Chapter 15 - LIMA BELAS

Chapter 15 - LIMA BELAS

"Mama?" panggil Alra sambil berjalan memasuki dapur.

Wanita paruh baya itu terlihat tengah berdiri di dekat pantry memunggungi Alra. Kedua tangannya sibuk mengaduk makanan yang sedang dia buat sekarang. Alra ikut mendekat, memperhatikan kegiatan yang di lakukan Aisyah dengan wajah datar yang terlihat tidak bersemangat.

Sudah satu bulan dia tinggal di rumah baru itu, tapi tak kunjung memberikan ekspresi ceria. Seakan-akan dia tidak mau membuat senyuman lagi pada wajah cantiknya itu. Alra selalu murung, dan pemarah, padahal peran menjadi tokoh jahat tak cocok untuknya saat ini.

Aisyah menoleh ke samping, memperhatikan anak perempuannya dengan senyum tipis sebelum akhirnya melenggang menuju meja makan dengan membawa dua piring makanan yang baru saja dia buat.

"Mama?" panggil Alra lagi sambil mengikuti arah yang di buat Aisyah.

"Kenapa Al?" sahut Aisyah dengan nada suara yang begitu lembut.

"Aku gak suka sama sekolahnya."

Wanita itu menghela gusar, putrinya yang satu masih saja rewel dengan sekolah barunya yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Terus mama harus gimana sih Al? Tolong ngertiin mama sama papa dong! Kita gak punya uang buat pindahan kamu lagi, betah-betahin ya!"

"Aku udah nyoba buat betah Mama, tapi mereka makin gak asik. Tadi aku pas kelas olahraga di biarin sendirian, mereka punya gandengan sementara aku tuh engga. Aku kesel Mama, mana lagi ada kakak kelas yang nyoba nempelin kertas di punggung aku, terus pas aku balik sambil kibasin tangan ke belakang kena mata salah satu dari mereka yang lagi luka," jelas Alra dengan nada suara uang begitu kesal.

"Yang lagi luka gimana Al?"

"Jadi tuh ada anak yang matanya luka gara-gara abisa jatoh kan Ma, terus gara-gara aku kibasin tangan tuh berdarah lagi matanya. Padahal aku gak ngerasa kalau pegang dia, orang rasanya di udara doang kok. Tapi mereka yang sok senioritas itu malah nyalahin aku, mana anak kelasku yang cowok pada belain dia, udah kaya primadona aja. Padahal cantikan juga aku."

Kening Aisyah bertaut dalam, kali ini dia setuju dengan posisi anaknya yang tidak bersalah. Bagian pelaku merasa seakan-akan mereka adalah korban, dan menyalahkan korban yang menjadi pelaku tindak kekerasan. Aisyah tidak habis pikir dengan cara berpikir anak SD jaman sekarang yang semakin menakutkan, senioritas membuat para adik kelas harus menerima penindasan dengan lapang dada karena tidak berani melawan, dan tidak ada juga yang membela korban.

"Ma, aku gak salah kan Ma?" tanya Alra.

"Engga, kamu gak salah. Yang salah tetep pelaku, mereka seharusnya tau diri, apa lagi temen-temen cowokmu itu yang seharusnya ngebela kamu malah ngebela pelaku," sahut Aisyah kesal.

"Tuh kan Ma, baru dua minggu sekolah di sana udah dapet perundungan aja, gimana kalau sampai tiga tahun? Astaga, aku gak bisa bayangin lagi!" ucap Alra dengan gelengan kepala.

"Mau gak mau kamu harus betah Alra, waktu tiga tahun itu gak banyak kok. Tenang aja, bentar lagi kamu pindah sekolah."

Jawaban itu membuat raut muka Alra berbinar, "Pindah beneran Ma?"

"Bukan, maksudnya jadi anak SMP."

"Ck! Mama ih, kan aku gak betah."

"Ya ampun! Betahin dong Alra, mama gak punya uang buat ngurus kepindahan kamu lagi. Kita juga belum punya listrik sama air, sabar ya!"

Alra menghela panjang, sejujurnya dia tidak mau seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Kondisi ekonominya sedang tidak baik.

"Makanannya udah siap dari tadi, sekarang kamu ganti seragam terus makan siang!"

"Iya."

***

Gadis itu mendengus kesal, angka-angka yang tertata rapi di atas kertas berwarna abu itu membuat kepalanya semakin sakit. Sesekali keningnya bertaut dalam, memikirkan jawaban soal matematika tak pernah membuat otaknya bahagia.

Alra kembali mendengus, memukul meja belajarnya dengan kesal, dan berkata, "Stres gue lama-lama kalau kaya gini!"

Alra menatap lurus ke depan, langit malam dengan bulan sabit, dan beberapa bintang itu terlihat sangat damai. Mereka memiliki kehidupan yang sangat terlihat sangat menyenangkan, hanya memiliki satu tugas untuk menemani malam.

Alra ingin menjadi bulan, sayangnya Tuhan memberikan takdir yang berbeda. Jika bisa memilih dia pasti akan memilih menjadi bulan, atau salah satu bintang. Bukan manusia yang seperti sekarang ini. Rasanya tidak menyenangkan menjadi makhluk sosisal yang selalu membutuhkan bantuan orang lain, menjadi makhluk yang katanya paling sempurna, tapi memiliki banyak kekurangan.

Genggaman tangannya pada buku LKS semakin mengerat, membuat kertas berwarna abu-abu itu tak berbentuk sempurna lagi.

"Alra?"

Panggilan dengan suara khas pintu yang terbuka membuat Alra menoleh cepat. Raut mukanya berubah menjadi datar dengan cepat.

"Kenapa Kak?" tanya Alra.

"Katamu mau belajar KPK sama FPB malem ini?" sahut Yahya sambil mendekati Alra.

"Oh, iya aku lupa."

Cowok itu duduk di samping Alra, membuka buku LKS Alra lembar demi lembar. Sesekali keningnya bertaut, dan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Alra yang sejak tadi memperhatikan Yahya merasa was-was, dia mencoba untuk membuat tebing tinggi agar tahan banting.

"Kamu gini doang gak bisa? Dapet lima puluh? Astaga! Kok bisa sih? Jangan bego-bego dong Al!"

Duar!!

Belum juga selesai membuat tebing, kalimat menyakitkan itu sudah datang.

"Aku kan gak bisa, udah di terangin juga sama sekolah yang dulu tetep gak paham. Pas pindah ke sini malah gak di ajarin lagi dari awal, kesel aku tuh!" sahut Alra dengan memajukan bibirnya sedikit.

"Oke, sekarang kita mulai dari awal ya Al!" ucap Yahya, membuka halaman awal buku LKS Alra, "KPK itu kan kelipatan terkecil, jadi kita pake pohon faktor aja. Di bagian pembagian sebelah kiri ini kamu ambil semuanya, soalnya KPK ini semuanya ngikut. Yang angka kembar di pangkatin sesuai banyaknya dia."

"Ah! Oke, aku paham sekarang."

"Terus kalau PBF ini yang paling besar. Kita pakai pohon faktor lagi, cari yang pembagiannya tuh kembar di dua bilangan yang kita cari. Jadi FPBnya itu dua pangkat dua," jelas Yahya yang masih mencoret-coret kertas kosong, "Udah paham belum?"

"Udah," sahut Alra dengan dua jempol yang dia keluarkan.

"Sekarang jawab tuh soal-soal yang jadi PR kamu sekarang!"

Alra mengangguk dengan senyuman yang merekah, "Nanti aku kerjain, nanti juga aku kasih setor ke Kakak buat di koreksi."

"Terus sekarang mau ngapain sih? Nunda-nunda pekerjaan itu gak bagus!"

"Pengen cerita tau sama  Kakak," sahut Alra dengan kekehannya.

Yahya menghela samar, mencoba bersabar untuk adik perempuan tertuanya, "Kenapa lagi? Ada masalah apa?"

"Kakak tau gak sih, beberapa kali kan aku jawab soal IPA bener, terus bahasa Inggris juga bener. Kemarin nih kelas gambar kan, aku juga yang paling jago, tiba-tiba mereka dateng terus nyuru aku gambarin sama ajarin mereka," jelas Alra dengan nada ketus.

"Terus?"

"Terus aku tolak, mereka cuman pengen otakku doang. Minta di gambarin, di translate soal bahasa Inggris, terus minta jawaban IPA. Aku tuh kesel tau, mereka kaya benalu, udah gitu aku selalu di kacangin kalau ngedeket buat nyoba akrab."

"Terus aku harus gimana Al? Aku gak ngerti, tugasku ada banyak, aku pergi ke kamar ya bye!" ucap Yahya sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alra yang sekarang menatap kepergian Yahya dengan tatapan datar, dan kesal.

"Punya kakak gak punya simpatinya sama sekali!"