"Al, mau ikut gak?" Yahya membuka pintu kamar adiknya dengan cepat, memberikan tatapan datar pada Alra yang juga menatapnya datar dengan kedipan beberapa kali.
Gadis itu tengah berpikir dengan keras, banyak lukisan yang ingin dia kerjakan sekarang, tapi dia juga butuh udara segar dengan pemandangan indah yang menyejukkan mata. Di dalam kamarnya tidak ada yang menyenangkan dengan kata khusus. Semuanya nampak biasa saja dengan suasana yang sama.
Akhirnya Alra berdiri, mengambil hoodienya yang tergeletak di atas meja belajar, dan mengenakannya di depan Yahya tanpa membuka kaos berwarna putih yang dia kenakan.
"Ayo!" ucap Alra sebelum keluar dari dalam kamarnya.
Mereka berdua berjalan dengan sejajar menuruni anak tangga. Keluar dari rumah yang besar itu, Yahya membonceng Alra. Kecepatan motornya terbilang lumayan ngebut, tapi Alra menikmati setiap perjalanan dengan angin yang membawa rambutnya terbang di udara.
"Kita mau ke mana?" tanyanya setengah berteriak.
"Jalan-jalan aja naik motor, bosen di rumah gak ngapa-ngapain," sahut Yahya yang ikut berteriak.
Alra hanya tertawa, mengeratkan pelukannya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Yahya dengan senyum tipis. Dia merasa bahagia saat ini, ada yang tahu bagaimana perasaannya saja sudah cukup baginya.
Yahya terlalu sibuk untuk semua tugas yang dia miliki, berakhir semua waktu yang dia punya tersita, membuat Alra jarang bertemu dengannya meskipun mereka tinggal satu atap. Yahya selalu mengerjakan tugas, makan di dalam kamarnya, dan berangkat sekolah lebih awal dari biasanya.
Jaraknya tidak jauh, dan temannya itu selalu memberikan tumpangan gratis. Kehidupan cowok itu begitu mengasyikan ketimbang kehidupan Alra yang begitu datar dengan warna hitam tanpa ada pelangi. Dia juga ingin hidup seperti yang dia rasakan kebanyakan orang, memiliki banyak warna, dan bahan untuk tertawa setiap saat.
Sayangnya waktu belum menunjukkan dirinya untuk menyapa Alra. Masih bersembunyi di dalam goa, dan menunggu sampai waktu yang sudah di tentukan. Meskipun begitu Alra bersyukur dengan semua yang dia miliki. Dia memiliki keluarga yang bahagia, saudara yang selalu mendukung, dan orang tua yang selalu percaya dengan kemampuannya.
Alra bahagia memiliki mereka semua.
Kendaraan beroda dua itu berhenti di dekat pohon cemara. Alra segera turun, sementara Yahya sibuk memarkirkan motornya, dan mengeluarkan berbagai cemilan yang dia simpan di dalam jok motor.
Tidak peduli dengan apa yang di bawa Yahya, Alra memilih untuk berlari. Mendekati tepi tebing, dan duduk di sana. Pemandangan pantai yang indah dari atas sana dengan senja membuat pemandangan semakin sempurna.
Hembusan angin membuatnya tersenyum, kedua matanya mulai terpejam. Merasakan betapa sejuknya angin yang laut hasilkan sore ini.
"Bagus ya."
Alra menoleh, menganggukkan kepalanya sebagai jawaban akhir.
"Aku gak ngerti kamu sebenernya kenapa, tapi ini bukan kamu." Yahya membuka kacang telurnya, dan mulai memakannya satu per satu.
"Aku gak suka pindah rumah," sahut Alra, kembali menatap langit dengan kedua tangan yang dia jadikan sebagai penyangga.
"Semuanya gak suka pindah, gak suka sama sekolahnya Al, gak cuman kamu aja. Aku, aura, bahkan acha sekali pun. Jangan egois Al, mama pusing mikirin kamu! Tiap hari mama mikir gimana caranya buat kamu bisa kaya dulu lagi."
"Mungkin nanti."
Kening Yahya bertaut dalam, dia semakin bingung dengan keputusan, dan perubahan sikap adik perempuannya yang satu ini.
"Alra, mama sayang sama kamu, mama juga khawatir sama kamu. Jangan egois cuman karena ngerasa hidup kamu yang paling gak adil!"
Kalimat itu terlalu menusuk bagi Alra, membuatnya tertegun dengan tatapan datar. Yahya benar dengan semua yang dia katakan, tak seharusnya dia egois, dan memikirkan dirinya sendiri. Membuat Aisyah khawatir, dan berpikir tentang putri tertua yang tidak tahu diri itu.
Alra mengerti, bahkan dia sangat mengerti sekarang. Tidak seharusnya dia meminta sesuatu yang lebih, dan selalu lebih pada orang tuanya. Tidak memikirkan tentang kemampuan orang tua adalah kesalahan terbesarnya sekarang.
"Jangan egois Al! Kasian mama, aku gak mau mama sakit cuman karena kamu," ucap Yahya lagi.
Alra menghembuskan napas panjang, menganggukkan kepalanya sebelum menatap Yahya, "Maaf."
"Ke mama Alra!"
"Hm, nanti aku minta maaf ke mama."
"Jangan pernah jadi orang lain ya Al!"
Gadis itu tersenyum tipis, mengangguk dengan senyuman lebar, dan berkata, "Gak akan!"
Yahya tertawa, mengacak rambut Alra dengan gemas sebelum akhirnya mencubit pipi yang begitu tirus itu. Alra memekik kesakitan, tapi Yahya malah memeluk adik perempuannya dengan erat dengan tawa yang masih saja keluar.
Rasanya lega dengan semua yang telah di bicarakan, ketegangan, dan perasaan bersalah dengan tambahan perasaan aneh itu menghilang seketika. Alra baru sadar jika sosialisasi antara anggota keluarga itu sangat penting.
***
"Enak?"
Alra mengangguk, menjilat kembali corneto cokelatnya dengan pelan untuk merasakan semua kenikmatan yang dia dapat. Yahya hanya tertawa, mengacak rambut Alra dengan gemas, dan kembali memakan corneto silverqueen miliknya.
Orang-orang berlalu lalang memasuki alfamart, sesekali mereka melihat Alra, dan Yahya yang duduk di bawah dengan tatapan heran, dan bingung. Namun, mereka tetap berjalan lurus tanpa ada niatan untuk bertanya.
"Udah jam setengah tujuh, masih belum pulang?" tanya Alra.
"Belum, nanti aja!"
"Kenapa? Tumben banget Kakak keluar rumah lama kaya gini? Ini juga kenapa gak ada yang telepon? Padahal kan kita keluar pas sebelum maghrib, terus belum pulang juga sampai mau isya," ucap Alra dengan kening bertaut.
Yahya mengangkat kedua bahunya acuh, "Mungkin mama tau kalau kita bosen di rumah."
"Masa sih? Kita masih di bawah umur, gak mungkin mama ngebuarin kita keluar lama."
Kedua orang tuanya terlalu protektif untuk segala hal. Bahkan Alra tidak pernah di bolehkan untuk menginap, padahal di rumah saudara sendiri. Itu terkesan aneh, dan menyebalkan, tapi dia tahu orang tuanya melakukan itu semua karena mereka sangat menyayangi Alra.
Alra tertawa mengingat semua kenangan aneh itu, dia tidak bisa main terlalu jauh. Bahkan hingga detik ini pun Aisyah masih memantau pergaulannya, tidak boleh begini, dan tidak boleh begitu. Semuanya harus sesuai peraturan rumah yang lumayan ketat.
Helaan napas kembali keluar setelah Alra membuang sampah es krimnya ke dalam tong sampah. Menatap langit gelap dengan datar, dan kemudian menatap Yahya. Cowok itu masih menikmati es krimnya, terlalu lama untuk makan, dan menjilat membuat Alra kesal.
"Dua panggilan gak kejawab dari mama." Alra memperlihatkan log panggilan tak terjawabnya, kedua netra Yahya membulat.
"Telelon balik!"
Gadis itu mengangguk, segera menelepon kembali, dan menempelkan benda pipih itu pada telinganya.
"Alra, kamu di mana? Kenapa gak pulang sampai sekarang?! Yahya mana? Kenapa ngajak adeknya keluar lama banget? Ini udah malem!" ucap Aisyah dengan berteriak.
"Ini lagi di jalan, mau pulang. Mama tunggu aja ya, kita pulang sekarang."