Gadis itu duduk di bangkunya sendirian. Semua siswa yang ada di dalam kelas itu memiliki pasangan masing-masing, tapi hanya dia yang duduk sendirian.
Alra menghela, perhatiannya berpusat pada Elga yang sedang duduk di ujung ruangan dengan temannya yang bernama Rika. Sejujurnya Alra merasa tidak suka, ini jelas seperti rasa cemburu.
Helaannya kembali keluar, Alra benci dengan situasi yang sangat tidak nyaman ini. Entah kenapa dia merasa jika semua orang yang ada di sini sangat membencinya, dan dia merasa di asingkan setiap kali bell masuk. Tidak memiliki teman dekat, dan tidak pula memiliki teman yang bisa di ajak untuk duduk bersama.
Suara langkah kaki terdengar masuk, Alra segera menoleh. Memperhatikan pria paruh baya yang memiliki kumis dengan tinggi sekitar 165cm itu tengah berdiri di depan kelas.
"Assalamu'alaikum!" sapanya.
"Wa'alaikumsallam Pak Mu'alim!" sahut seluruh siswa dengan semangat.
"Kita belajar bab yang kemarin ya, masih belum selesai buat bab satu, jadi kita selesain hari ini juga!"
"Siap Pak!"
"Buka halaman empat belas!" titahnya sebelum meletakkan barang bawaannya di meja guru.
Seluruh siswa mengeluarkan buku bersampul pink itu, dan membuka halaman yang telah Pak Mu'alim perintahkan. Namun, hanya Alra yang tidak melakukannya karena dia tidak memiliki bukunya.
Sebenarnya setiap meja di berikan satu buku paket untuk di gunakan dua orang yang duduk di meja itu, tapi Elga memilih untuk pergi. Duduk dengan Rika, dan membiarkan Alra duduk sendirian tanpa adanya buku.
Alra kembali menoleh ke arah Elga, dan berkata, "El, ayo dong duduk sama aku!"
Gadis berambut panjang itu memberikan tatapan kesal, dan berkata, "Apa sih Al? Temennya pengen duduk sama temen yang lain kenapa gak boleh? Kamu itu kenapa sih?!"
Alra membisu, bentakan itu membuatnya marah. Kedua tangannya mengepal, andaikan Pak Mu'alim tidak ada di sini, mungkin dia sudah memukul kepala Elga dengan kasar seperti yang biasa dia lakukan sewaktu di sekolahnya yang dulu.
Semua orang yang membentak, dan menidasnya akan Alra balas dengan perlakuan yang setimpal.
Gadis tak lagi menatap Elga, dia mulai memperhatikan Pak Mu'alim yang menjelaskan sambil menulis inti yang ada di dalam buku paket. Mencatat semua kalimat yang penting di dalam bukunya dengan cepat, dan kembali mendengarkan.
Tak masalah tidak memiliki buku atau teman, yang terpenting sekarang ini Alra tidak melakukan hal yang aneh untuk semua rasa kesal yang sedang menumpuk.
"Buku kamu di mana? Lupa bawa ya?"
Suara itu membuat Alra mendongak, menatap Pak Mu'alim dengan tatapan datar, dan terkejut yang bercampur menjadi satu. Senyum tipis dia keluarkan, dan berkata, "Saya gak punya Pak, kebetulan Elga yang bawa, terus sekarang dia lagi duduk sama Rika. Saya sendiri di sini, tapi meskipun gak punya buku paketnya, saya catat semua yang Bapak jelasin, dan Bapak tulis."
Pria paruh baya itu mengambil alih buku catatan Alra, keningnya bertaut sambil membaca semua tulisan muridnya.
"Hm, bagus, semuanya sesuai dengan yang saya jelasin. Tapi... kenapa kamu bisa catat apa yang saya jelasin? Padahal kan saya jelasinnya lumayan cepat," ucap Pak Mu'alim dengan kening yang masih bertaut.
"Kebiasaan Pak, saya suka mencatat bagian penting ketika guru menjelaskan. Itu lebih gampang di bandingkan sama menyalin, soalnya kalau salin dari buku paket itu banyak bagian yang gak penting jadi ikut," jelas Alra.
Pak Mu'alim mengangguk mengerti, meletakkan kembali buku catatan Alra, dan berkata, "Selain cantik, kamu juga pintar ya."
Alra menatap pria itu dengan tatapan tak mengerti, dia terkejut karena kalimat yang baru saja keluar dari bibir guru barunya ini. Alra merasa sedang di puji, tapi dia juga merasa aneh dengan pujian ini. Bukan rasa senang yang dia dapat, tapi perasaan aneh yang tidak bisa di deskripsikan.
"Saya bilang kamu cantik," ucapnya lagi sebelum melenggang pergi.
Kening Alra bertaut, dia terus memperhatikan guru agamanya itu. Ini kali pertamanya mendapatkan pujian dari seorang guru, dan dia adalah pria yang berumur tiga puluh enam atau mungkin tiga puluh delapan.
"Gue harus jawab apa tadi?" gumam Alra keheranan.
***
"Hai, Alra!" Hendrik memberikan senyum yang sangat lebar sebelum duduk di depan Alra.
Cowok itu menyodorkan cokelat silverqueen yang dia beli di toko seberang sekolah tadi pagi. Senyum yang tulus masih mengembang di tempatnya, padahal Alra menatapnya datar, dan tidak ada niatan untuk mengambil cokelat yang Hendrik berikan.
"Kenapa kamu sendirian terus sih? Yang lain ke mana? Kenapa gak ada yang jadi temen kamu sampai sekarang?" tanya Hendrik bingung.
"Gak tau, aku juga gak berharap mereka jadi temanku. Lagian aku bisa sendiri, gak punya temen juga gak ngebuat aku pusing," sahut Alra datar.
"Kalau ada tugas kelompok gimana?"
"Itu beda lagi."
"Kalau harus pilih sendiri kelompoknya?"
Alra terdiam, apa yang di ucapkan Hendrik membuatnya berpikir. Sudah di pastikan dia akan mendapatkan kelompok terakhir yang berisi anak-anak payah. Apa lagi anak di kelasnya juga sudah memiliki kelompok sendiri untuk orang-orang pintar, dan jika guru meminta untuk mencari kelompok, pasti mereka menjadi satu kelompok yang bisa di bilang kelompok paling pintar di kelas.
Gadis itu menghela, tidak suka dengan sistem sekolahnya yang aneh, dan murid yang memilih untuk berteman dengan otak ketimbang dengan hati.
"Ini cokelat di makan biar mood balik normal lagi!" Hendrik mendekatkan cekelat itu pada Alra, tapi gadis itu hanya meliriknya sekilas.
"Kenapa kamu beli cokelat kalau gak mau kamu makan?"
"Ha? Aku beli bukan buat aku, tapi buat kamu."
"Kenapa kamu ngabisin uang buat aku? Kenapa kamu ngabisin uang orang tua kamu?" tanya Alra dengan mata yang memicing.
Hendrik terkekeh kecil, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dan berkata, "Al, bisa gak sih gak banyak nanya kaya gini? Jujur aku ngerasa gak enak. Aku beli pakai uang sakuku, dan aku juga beli karena aku ngerasa suka."
"Maksud dari kata suka?"
"Aku suka ngasih sesuatu buat kamu," sahut Hendrik.
"Kenapa? Aku gak suka dapet hadiah dari orang yang baru aku kenal, aku juga gak suka nerima bantuan dari orang yang baru aku kenal. Kenapa kamu mau ngeluarin uang buat aku? Seharuanya ada alasan yang sesuai, supaya aku bisa percaya sama kamu."
Cowok itu menghela panjang, Alra membuatnya gila karena terlalu banyak kalimat pedas yang dia keluarkan. Apa lagi semua kalimat yang keluar selalu benar, dan tidak bisa di bantah.
"Alra, emang harus banget ngasih alasan yang jelas?"
Alra mengangguk.
"Oke, aku suka sama kamu."
Kening Alra bertaut, raut muka terkejut tercetak jelas, dan hal itu membuat Hendrik tersenyum kecil.
"Kamu kaget?" tanya Hendrik.
"Kamu punya otak kan? Seharusnya kamu udah tau aku ini lagi kaget atau engga."