Chereads / LINDAP / Chapter 22 - DUA PULUH DUA

Chapter 22 - DUA PULUH DUA

"Ma, masa tadi guru matematikaku galak banget. Aku di pukul pakai penggaris kayu, kan sakit jadinya kakiku. Mana bagian betis lagi," ucap Alra dengan mimik wajah yang nampak jengkel.

Kedua kakinya dia angkat untuk duduk lebih nyaman pada gazebo, masih mengupas bawang merah, dan tetap mengomel selayaknya Alra yang cerewet. Aisyah yang duduk di depannya itu tersenyum dengan gelengan kepala, kedua tangannya sibuk mengupas kentang kemudian memotong menjadi dadu.

Katanya makan malam kali ini kentang balado dengan telur dadar. Padahal Alra tak begitu suka dengan kentang yang bercampur nasi, tapi Aisyah tetap memasak makanan itu dan menyuruh anak-anaknya makan dengan nasi. Terkecuali ketika Alra jengkel, wanita itu akan diam, dan membiarkan putri tertuanya untuk makan kentang balado dengan lauk lainnya tanpa nasi.

Ia tahu jika kentang adalah karbohidrat yang sudah cukup untuk mengisi kosongnya perut, tapi menurutnya tidak cukup untuk membuat perut kenyang. Di tambah dengan krisis ekonomi yang menimpa keluarganya membuat Aisyah tak bisa memberikan uang jajan lebih seperti waktu dulu. Dia hanya memberikan uang dua ribu rupiah untuk anaknya, kadang malah tidak memberikan uang saku karena memang tidak punya.

Untungnya ketiga anaknya tidak banyak menuntut. Mereka semua diam, dan paham dengan krisis keuangan yang sedang melanda. Apa lagi dengan Yahya, cowok itu memilih untuk berjualan atau membantu temannya untuk menjual sesuatu agar bisa mendapatkan uang jajan tambahan.

"Mama, sama papa gak pernah pukul aku pakai penggaris kaya bapak itu. Tapi kenapa dia berani coba Ma? Kesel banget aku Ma, harusnya kalau murid gak bisa tuh di kasih tau, bukan malah di marahin terus di pukul. Aku gak suka dia, aku pengen gak sekolah waktu ada kelasnya Ma," ucap Alra, kali ini menatap manik mata Aisyah penuh amarah.

"Bukan hal buruk kalau kamu gak suka sama matematika, bukan masalah besar buat papa sama mama Alra, tapi akan jadi masalah kalau sampai papa tau kamu bolos sekolah. Gimana perasaan papa kalau tau kamu bolos cuman karena matematika?" Aisyah menunda untuk memotong kentang itu, beralih menatap putrinya dengan tatapan penuh pengertian, "Cari uang itu susah Alra, gak segampang yang kamu pikirkan. Kalau kamu gak bisa kan bisa cerita sama papa, nanti papa ajarin. Matematika papamu itu bagus."

"Mama, meskipun papa itu seorang kontraktor, dan emang punya daya ingat yang tinggi sama cara menghitung yang sangat bagus ketimbang guruku, tapi papa gak bisa ngerjain rumus-rumus yang di kasih." Alra menghela untuk yang kedua kalinya, "Waktu itu papa sempet ngajarin aku matematika, bisa di jawab sama papa, tapi jawabannya gak bener Ma. Salah, aku dapet nilai nol."

"Jadi mau kamu apa?"

"Bolos kaya biasanya. Minggu lalu aku bolos di rumah Mama gak marah, gak nanya juga kenapa aku bolos. Sekarang aku kasih tau alasannya karena bapak itu, bapak itu jahat Ma. Aku gak mau masuk kelasnya lagi, trauma."

Aisyah terkekeh kecil dengan gelengan kepala, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, dan berkata, "Terserah kamu deh Al, mama gak tau lagi, tapi saran mama coba kamu belajar sama yahya! Mama yakin kalau kamu dapet cara yang lebih gampang, kamu pasti suka sama matematika."

Alra tak menjawab, menatap Aisyah dengan tatapan datar sekaligus kesal. Dia segera menyelesaikan pekerjaan dapurnya sebelum beranjak masuk ke dalam kamar. Merebahkan tubuh mungilnya di atas kasur sambil memperhatikan langit-langit kamar.

Tak ada yang paham dengan perasaannya. Tak ada yang paham dengan rasa takut yang dia miliki. Alra tak suka dengan teman-teman sekelasnya yang selalu memandang dia sebagai siswi yang bodoh pada pelajaran matematika, tapi pintar dalam bidang seni. Alra juga tak suka menatap Hendrik yang selalu ikut campur, dan sekarang dia tak suka dengan reaksi Aisyah yang tak sesuai dengan keinginannya.

Seharusnya Aisyah bisa paham dengan apa yang dia rasakan. Bisa mengerti dengan bagaimana perasaan Alra sekarang, tapi malah memandang remeh trauma. Untung saja perintah dengan ceramah tak dia dengarkan. Mungkin jika tidak cepat-cepat pergi Aisyah akan ceramah, dan menyuruh Alra untuk salat dan meminta kepada Allah agar tidak memiliki trauma.

Gadis itu menghela samar, menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul tiga sore, Dian belum pulang dari tempat kerjanya, dan Yahya pun belum juga pulang dari tempat bermainnya. Rasanya iri dengan Yahya yang bisa beradaptasi dengan lingkungan baru dengan cepat.

Iri karena cowok itu selalu bisa memiliki teman. Teman bermain, teman belajar, teman mencari uang, dan teman lainnya yang bisa membuatnya tertawa. Melupakan pahitnya hidup, dan tak nyamannya tinggal di dalam rumah sebesar ini. Alra juga ingin seperti Yahya, sayangnya mereka semua tak menyukai Alra.

Jika memiliki teman baru pasti ada saja orang yang membencinya. Menatap jengkel, dan merasa Alra adalah ancaman bagi mereka yang padahal tidak. Tiba-tiba membenci tanpa sebab, merasa jengkel dan ingin mengusir padahal tak ada kesalahan yang di buat gadis cantik itu.

Alra mendengus jengkel, mengubah posisinya menjadi duduk. Kemudian meraih buku gambar beserta alat tulisnya di atas nakas. Gadis itu mulai membuat sketsa dengan pensil 2B, membuat sebuah garis yang akan menyatu dengan garis lain kemudian kembali membuat sebuah pohon kelapa bersama pantai yang sudah jelas bisa di tebak.

Beberapa manusia dia buat di bibir pantai, beberapa bermain bola pantai, dan beberapa bermain pasir. Matahari nampak akan tenggelam dengan cahaya berwarna kuning bercampur merah dan jingga. Masih belum sempurna untuk lukisan yang dia buat, tapi kegiatan ini mampu membuatnya lupa dengan rasa kesal pada orang-orang itu.

Suara ketukan pintu membuat Alra menoleh, menatap gadis kecil yang sedang berdiri di ambang pintu, tatapan mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya Alra memilih untuk merebahkan tubuhnya, dan kembali mewarnai lukisan yang belum selesai itu.

"Mama nyuruh makan," ucap Acha dengan datar.

"Lagi sibuk."

"Mama bilang jangan ngambek, nanti cepet tua! Kalau tua nanti gak cantik lagi, terus kalau gak cantik lagi bisa gak punya pacar!"

Kening Alra bertaut, kembali menatap adiknya dengan kedua mata yang menyipit, "Tau apa soal pacaran? Masih kecil juga, pasti gara-gara kebanyakan nonton sinetron nih! Udah tau alurnya jelek, masih aja di liat."

"Ih! Bagus tau Kak, Kakak aja yang gak pernah nonton. Kerjaannya di kamar mulu, gambar ini gambar itu," cibir Acha tak mau kalah.

"Dih! Suka-suka dong, itu skill yang aku punya kok kamu yang sewot?"

"Ngamuk terus!" teriak Acha sebelum berlari.

"Acha tutup pintunya!!!"