Aisyah menggandeng lengan kecil Aura dengan erat, sementara anak perempuannya yang lebih besar dari Aura itu berjalan dengan malas, dan lamban. Suasana sekolah yang begitu sepi membuatnya menghela samar sambil membuntuti ibunya dari belakang.
Langkah wanita paruh baya itu berhenti tepat di depan kelas empat. Memutar badannya untuk menatap putri tertuanya dengan senyum yang begitu tipis, tapi terlihat hangat.
"Kamu masuk, mama nemenin Aura di kelasnya," ucap Aisyah.
"Tapi aku... aku kan masih gak kenal siapa-siapa," sahut Alra lirih.
"Kamu kan udah gede Al."
"Tapi kan asing Ma."
Aisyah menghela, melepas genggamannya pada Aura, seraya berkata, "Mama nganterin kakak dulu ya, kamu tunggu sini!"
Gadis kecil itu mengangguk mengerti.
Aisyah beralih menggandeng lengan kanan Alra, dan mengajaknya untuk masuk ke dalam kelas. Suasana yang berbeda di temukan dalam ruangan ini, begitu ricuh dengan siswa yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
Apa lagi ada satu siswi yang tidak mengikat rambutnya, dan siswi lainnya hanya mengucir kuda rambut mereka. Berbeda sekali dengan sekolah Alra yang dulu, wajib untuk setiap siswi mengucir dua atau mengepang dua rambut mereka dengan rapi, dan di tambahkan dengan pita yang sesuai dengan hari.
"Eh! Anak baru!"
"Cantik ih!"
Bisikan-bisikan yang terdengar begitu jelas itu membuat Alra terus memperhatikan sekitarnya dengan tangan yang erat menggenggam tali ranselnya.
"Mama tinggal ya Al!" ucap Aisyah tiba-tiba.
"Ha? Iya," sahut Alra terkaget.
Aisyah tersenyum tipis, menepuk bahu putrinya pelan sebelum akhirnya melenggang pergi.
Kepergian Aisyah membuat gadis dengan surai hitam legam yang terurai itu berjalan mendekat. Membersihkan dua jarinya dengan cara di hisap itu membuat Alra jijik.
"Hai!" sapanya ramah yang masih memakan lidi-lidian pedas itu.
"Hai!" sahut Alra canggung.
"Denis, kamu siapa?"
"Alra."
"Ah! Alra, aku ketua kelas di sini. Kamu bisa duduk di kursi bagian belakang sana, masih kosong. Mau aku anterin?" jelasnya sambil menunjuk meja paling belakang.
Alra terdiam, dan kemudian mengangguk canggung. Jawabannya itu membuat Denis ikut mengangguk sebelum akhirnya berjalan mendahului Alra menuju bangku yang dia maksud.
"Ini, di sini yang duduk namanya elna. Dia lagi di kantin, nanti pas bell masuk mungkin dia ke sini," ucap Denis.
Alra hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Oke, aku tinggal ya!"
"Makasih," sahut Alra lirih.
Denis mengangguk, dan segera melenggang meninggalkan Alra menuju teman-temannya yang tak jaub dari sana.
Sementara Alra lebih memilih untuk duduk, dan kembali memperhatikan sekitarnya dengan tenang. Suasana yang terlalu ricuh membuatnya tidak betah harus terus-menerus berada di tempat ini dengan durasi waktu yang lama.
Rasanya ingin tidur di atas kasur yang begitu menyanangkan dengan mendengarkan musik. Mungkin akan terasa lebih indah, dan menenangkan, ketimbang di kelas dengan suasana canggung. Membuatnya tak nyaman untuk melakukan sesuatu.
Gadis itu menghela samar, perhatiannya beralih pada beberapa anak laki-laki yang sedang bergurai di bangku paling ujung. Mereka nampak ceria, tapi penampilannya yang begitu lusuh membuat Alra menggelengkan kepalanya.
Sekolah ini tidak sesuai dengan ekspektasinya. Tinggal di desa tidak seindah, dan seenak yang dia lihat di dalam film, ataupun novel. Ini benar-benar tidak menyenangkan.
Beberapa anak laki-laki itu akhirnya beranjak, berjalan dengan perlahan menghampiri meja milik Alra dengan tampang tengil. Membuat Alra kembali menghela untuk yang kesekian kalinya.
"Heh! Anak baru, ngapain diem terus?" ucap salah satu anak laki-laki yang memiliki tubuh kecil, dengan kulit putih.
"Diem mulu, kaya orang bisu," timpal anak laki-laki berbadan gempal itu dengan kekehan.
Alra hanya memutar bola matanya malas seraya menggeser kursinya untuk menjauh.
"Anak kota emang gitu, sombong!" ucap anak laki-laki tinggi berambut gondrong.
Teman-temannya kembali tertawa renyah.
"Apaan sih? Kalau gak tau itu mendingan diem!" sahut Alra ketus.
"Apa sih? Apa sih? Ahaha!" ucap anak laki-laki pendek itu dengan gaya mengejek.
Teman-temannya kembali ikut tertawa, sementara Alra memilih untuk menatap anak-anak itu dengan tatapan datar. Detik berikutnya mereka pergi, keluar entah ke mana. Alra tak ingin tahu banyak, dia bersyukur mereka pergi dengan cepat.
Lebih baik pergi ketimbang bertingkah dengan lagak sombong, dan tengil.
"Anak baru yang dari kota ya? Nama kamu siapa? Aku tina."
Suara itu membuat Alra menoleh, memberikan senyum tipis, dan menjawab jabatan tangan dari gadis yang lumayan berisi dengan rambut pendek bak anak laki-laki.
Gadis itu tersenyum begitu manis, memperlihatkan deretan giginya yang rapi sebelum akhirnya ikut duduk di sebelah Alra.
"Suasananya beda ya? Di sini lebih rame, beda banget pasti sama sekolah kamu yang dulu. Di sini peraturannya gak seketat itu, boleh aja mau pake dandanan kaya gimana, intinya rapi," ucap Tina sambil memperhatikan sekelilingnya yang di ikuti Alra.
"Tapi... rambut yang gak di ikat bukannya keliatan gak rapi ya Tin?"
"Iya sebenernya, tapi gak ada yang ngelarang sih. Lagian denis juga pinter, ketua kelas, selalu rengking satu, siapa yang mau ngelarang? Kepala sekolah aja diem, guru lain apa lagi."
"Emang gak ada guru BK ya di sini?"
Tina menggeleng, perhatiannya beralih pada Alra, "Gak ada, makanya biasa aja sih peraturannya, lagian ini juga SD. Beda lagi kalau SMP, pake pita kaya kamu sekarang gini."
"Ah! Gitu."
"Kamu kenapa pindah ke sini sih? Kenapa gak netep di kota aja? Kebanyakan orang desa pergi ke kota, malah kamu yang dari kota pindah ke desa."
"Ibu sama bapak yang pengen pindah, katanya rumah masa depan buat pensiun. Aku sebenernya gak pengen, tapi namanya juga anak yang masih kecil, masa iya sih mau hidup sendirian kalau nentang orang tua?"
Tina tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang di katakan teman barunya ini. Anak kecil tidak memiliki kekuasaan yang kuat untuk menentang permintaan orang tua, apa lagi ingin tinggal sendirian di kota yang sangat besar.
"Rumah kamu di mana Tin?"
"Ada di deket sungai sana, deket sama jalan raya."
"Di deket sungai?" tanya Alra tak percaya.
"Iya, di sungai deket sini itu pinggirannya kalau buka sawah sama kebun ya rumah warga."
"Kalau banjir gimana?"
"Gak gimana-gimana, ya sesuai sama yang kamu pikir sih kayanya," sahut Tina dengan kekehannya.
Alra hanya tersenyum tipis, dan kembali menatap lurus ke depan, "Kamu asli orang sini Tin?"
"Iya."
"Oh iya, kenapa rambut kamu pendek?" kali ini Alra menatap Tina dengan kening bertaut dalam. Penasaran dengan tatanan rambut gadis itu yang begitu berbeda, tapi masih mendapatkan kesan feminin, dan aura kecantikannya tidak menghilang sedikit pun.
"Aku gak suka panjang, dari kecil selalu di potong pendek gini. Tahun lalu pas awal-awal kelas tiga malah aku potong pendek kaya anak cowok yang di sisi kiri sama kanan tipis banget itu, kamu tau gak?"
Alra menggeleng.
"Itu yang kanan kirinya tipis banget hampir botak, terus tuh bagian atasnya lumayan tebel."
"Ah! Aku tau, yang anak cowok sini pake itu ya? Kemarin aku ada liat sih beberapa lewat pas mau pergi ke rumah sodara."