Wanita paruh baya itu ikut duduk di samping anak perempuannya yang sejak tadi memperhatikan sekeliling kelas dengan raut muka takut, dan malu-malu. Suasana yang berbeda, dan baru membuatnya takut untuk duduk sendirian di dalam kelas.
Aisyah terus menggenggam lengan kanan putrinya dengan erat. Gadis kecil itu satu-satunya yang tidak bisa jauh darinya, dan satu-satunya anak perempuan Aisyah yang sangat pendiam.
Tidak suka dengan orang baru, tidak suka suasana baru, dan tidak suka dengan sesuatu yang menurutnya tidak menarik. Lebih memilih untuk tidur di dalam kamar yang nyaman, dan menghindari setiap tamu yang datang.
Wanita paruh baya itu menghela, memperhatikan jam tangannya yang menunjuk pada angka delapan. Sudah dua jam dia menunggu, dan tidak ada bell sejak tadi. Khawatir dengan Acha yang sejak tadi di rumah sendirian, entah dengan siapa dia sekarang, mungkin saja dengan istri Damar atau mungkin hanya duduk di depan tv.
"Hallo!"
Suara itu membuat Aisyah, dan Aura menoleh seketika. Menatap anak perempuan yang memiliki tinggi lumayan dengan kulit sawo matang tengah memberikan senyum.
"Hallo!" sahut Aisyah ramah, "Kamu anak kelas sini?"
"Iya, Tante aku tasya," sahut Tasya.
"Ini anak tante namanya Aura, dia pendiem banget. Tante minta tolong buat temenin ya!"
"Ah! Iya, aku temenin kok!" sahut Tasya dengan begitu semangat.
Perhatian Aisyah kembali beralih pada Aura, "Aura, mama harus pulang. Kasian acha di rumah sendirian, mama tinggal gapapa ya?"
Gadis kecil itu membisu sejenak, dan kemudian mengangguk kecil. Membuat Aisyah tersenyum, dan segera beranjak untuk pergi.
Tasya ikut duduk di sebelah Aura, senyumnya masih mengembang sejak tadi.
"Kamu kenapa diem aja?" tanya Tasya.
Aura hanya menggeleng sebagai jawabannya.
"Mau ke kantin, atau keliling sekolah? Nanti aku kenalin sama temen-temenku yang lain, aku punya banyak temen di sini. Mau?" tawarnya dengan penuh semangat.
"Jauh?" tanya Aura.
"Ha? Enggalah, sekolah kita kan gak gede. Kamu maunya ke mana? Perpustakaan aja, atau ke mana? Nanti aku ajak keliling, atau aku juga bisa ajak kamu keliling dari depan sampai belakang."
"Terserah kamu aja deh."
"Oke, yuk!" Tasya beranjak, memberikan uluran tangan, dan di sambut baik oleh Aura.
Kedua gadis kecil itu mulai berjalan pergi. Meninggalkan kelas yang ramai dengan anak laki-laki itu.
Suasana di luar lebih ramai dari yang di bayangkan Aura. Terlihat begitu penuh dengan anak-anak kecil, dan orang dewasa padahal masih kelas enam SD.
Tasya menggandeng lengan kecil itu dengan erat, mengajaknya untuk berkeliling melewati koridor yang lumayan sepi. Banyak tanaman yang biasa dia lihat di kuburan, ada beberapa juga bunga cantik, tapi lebih identik dengan tumbuhan tanpa bunga.
Aura hanya memperhatikan sekitarnya, sesekali membaca nama kelas yang terpampang di atas pintu. Terus mengikuti Tasya hingga akhirnya langkah mereka harus berhenti tepat di depan pintu masuk perpustakaan.
"Tasya!"
Panggilan itu membuat Tasya menoleh, memberikan lambaian tangan pada dua gadis yang sedang berlari menghampirinya.
"Eh! Aku cariin malah di sini," ucap gadis cantik berkulit putih dengan rambut keriting.
"Dia siapa?" imbuh gadis yang lumayan gendut itu.
"Ini Aura, temen baru kita yang pindahan dari kota itu loh," sahut Tasya, "Oh iya Aura, ini namanya Fitri, sama Ami."
Aura hanya memberikan anggukan, dan senyum canggung.
"Kalian mau ke mana?" tanya Fitri penasaran - pemilik rambut keriting.
"Ngajak Aura keliling, dia keliatan gak seneng diem di kelas terus," sahut Tasya.
"Ikut dong!" sahut Ami begitu bersemangat, "Biar kita makin akrab sama Aura, terus nanti kita main juga ke rumahnya Aura!"
"Setuju!"
"Boleh Ra?" tanya Tasya yang tak enak.
Aura memberikan anggukan dengan semangat. Banyak teman baru yang begitu ramah membuat rasa canggungnya pergi entah ke mana.
"Boleh, nanti kita main ke rumahku ya!"
***
"Acha?"
Aisyah terus memanggil putri bungsunya sambil menata makanan di atas meja makan beserta dengan dua piring kosong, dan gelas.
Suara derap kaki terdengar jelas sekarang, membuat Aisyah tersenyum tipis sebelum akhirnya duduk, dan mengambil nasi.
Gadis kecil itu berlari menghampiri Aisyah, dan ikut duduk di samping wanita paruh baya yang tengah sibuk menuangkan air ke dalam gelas.
"Kamu ke mana aja? Mama cariin kok gak ada di rumah tadi," ucap Aisyah yang masih fokus dengan pekerjaannya sekarang.
"Di rumahnya om damar, lagi main sama rakel. Rakel sama ibunya dateng tadi, lagian Mama lama banget," sahut Acha sebelum menegak sedikit susu UHT miliknya.
"Kak aura gak bisa di tinggal tadi, jadi mama harus di sana. Sampe tadi ada yang dateng, mau nemenin kakakmu, baru mama berani pulang. Kamu kan tau sendiri kak aura kaya gimana? Terlalu pendiam, gak berani, malu-malu," jelas Aisyah, kali ini menatap putrinya dengan tatapan yang sedikit sedih.
"Iya sih Ma, terus nanti kalau aku sekolah masa Mama tungguin juga sih?"
"Emang kenapa?"
"Jangan ih! Aku malu, aku itu mandiri, bisa ngelakuin semuanya sendirian. Jadi nanti aku pengen kaya kak alra, Mama gak perlu nungguin lama-lama atau sebentar, aku ini pemberani kaya kak alra," sahut Acha.
Aisyah hanya tertawa kecil sambil mengelus puncak kepala gadis itu sambil berkata, "Iya-iya kamu yang paling berani."
"Ahaha! Aku laper, makan dulu ya Ma!" ucap Acha sebelum akhirnya menuangkan sedikit nasi, dan beberapa lauk ke dalam piringnya.
Menyantap makanannya dengan penuh semangat. Aisyah yang melihat anak perempuannya begitu senang pagi ini ikut tersenyum tipis, dan ikut menyantap makanan seadanya ini.
Menu hidangan yang menurutnya pas-pasan dengan uang yang begitu sedikit membuatnya sedih. Tidak ada cukup uang untuk memberikan protein lebih, hanya bisa memasak sayuran, dan tempe goreng. Namun, dia bersyukur karena tak ada protes yang di berikan oleh anak-anaknya yang selalu pengertian.
Hidup bergelimang harta, dan kembali merosot menjadi miskin kembali tidak membuatnya bersedih karena sudah terbiasa. Namun, Aisyah hanya memikirkan anak-anaknya yang seharusnya tidak merasakan kesengsaraan ini. Seharusnya semua anak-anaknya hidup dengan tenang, dan bahagia tanpa menopang beban.
"Oh iya Ma, tadi papa telepon loh. Cuman gak keangkat, aku kan lagi main tadi," ucap Acha tiba-tiba.
"Terus kamu telepon lagi gak?"
"Engga, pulsanya gak cukup buat telepon balik, kalau cukup mah udah aku telepon."
Lagi-lagi uang menjadi masalah utamanya. Aisyah tidak tahu lagi harus melakukan apa, semuanya nampam begitu menyakitkan karena keterbatasan.
Wanita itu menghela samar, menegak air mineralnya hingga habis, dan berkata, "Acha, kita lagi gak punya uang, susah buat dapetin uang, dan kita cuman bisa nunggu kabar dari papa."
"Iya terus?" sahut Acha tak mengerti.
"Nanti kamu langsung SD aja ya, gak usah TK dulu, gimana?"