Malam semakin larut, Nastya duduk di samping Hindra di depan api unggun. Ia memeluk kedua lututnya sambil membenamkan wajahnya di sana.
"Nastya, kau ngantuk, ya?" tanya Hindra dengan suara lembut. Ia menunduk, melihat Nastya dari dekat.
"Hemm!" Nastya mengiyakan, namun tidak mengangkat wajahnya. Matanya terpejam, dan setengah tertidur.
"Pindah ke tenda saja, di sini dingin," ucap Hindra sambil menarik pelan lengan Nastya, meminta wanita itu untuk bangun.
"Tidak!" tolaknya. "Di sini saja, lebih hangat. Kau duluan saja ke tenda, nanti aku menyusul."
"Baiklah! Aku duluan, ya!" Hindra segera bangkit berdiri, mengelus punggung Nastya sebentar, lalu pergi ke tenda.
Ia tidak kuat bergadang lagi, karena besok pagi, dirinya harus pulang. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan di rumah walau besok hari libur.
Nastya sendirian di depan api unggun yang masih menyala, tertidur dengan memeluk kedua lututnya.
Pukul lima pagi, hawa dingin semakin menusuk, api unggun di sana sudah mulai padam, hanya tinggal arang yang masih sedikit menyala, tidak bisa membuat orang merasa hangat.
Nastya meringkuk di atas tikar tipis hanya memakai jaket tebal dan celana panjang saja. Rasa dingin itu segera menusuk ke tulang belulang di tubuhnya.
Ketika sedang menggigil karena dingin, tiba-tiba tubuhnya terasa sangat, detik berikutnya ia melayang di udara. Ketika membuka mata, wajah Narendra sudah ada di hadapannya. Walau cahaya di sana sangat redup, namun masih bisa melihat wajah pria itu dengan sangat jelas.
"Apa yang sedang kau lakukan? Turunkan aku!" sergah Nastya tiba-tiba. Ia memberontak, berusaha untuk turun dari pangkuannya.
"Diamlah!" Pria itu tidak mendengar penolakan darinya. Terus berjalan sambil membawa Nastya pergi.
"Hey, kau mau membawa aku ke mana? Aku tidak ingin ikut denganmu!" tolak Nastya dengan tajam. Sama sekali tidak bersikap ramah pada pria ini.
Narendra masih berjalan, memeluk Nastya dengan erat. Tidak menjawab ucapannya.
Ternyata Narendra membawa wanita itu ke tempat parkir, lalu menghampiri mobilnya dan memasukkan Nastya ke dalam kursi depan samping pengemudi. Ia memakaikan Nastya sabuk pengaman, lalu menutup pintu mobil. Semua gerakan itu ia lakukan dengan cepat, tanpa berbicara sepatah kata pun.
Di dalam mobil, Nastya duduk dengan kesal. Ia enggan untuk berbicara dengan pria itu, apalagi duduk berdua di dalam mobil seperti ini. Tapi, ketika dirinya akan membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil itu, Narendra segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
Melihat mobil sudah mulai berjalan, Nastya hanya bisa duduk patuh sambil menatapnya dengan tajam.
"Apa kau tidak mendengarku? Aku tidak ingin pergi denganmu!" sergah Nastya dengan tatapan tidak suka.
"Kita akan pulang!" jawabnya dengan singkat. Tidak kesal ataupun marah.
"Hah, pulang?" cibir Nastya. "Jika kau ingin pulang, pulang saja sendiri. Mengapa harus mengajak aku?"
"Nastya!" Narendra menoleh ke arahnya. "Aku membawamu pulang agar kau bisa tidur nyenyak. Apa aku salah?"
"Ya, kau salah!" bentuknya. "Aku tadi sedang tidur nyenyak, kau malah menggangguku!"
"Nastya!" Narendra mengeratkan gigi. Menarik napas panjang lalu mencoba bersikap tenang.
Terus berdebat dengan wanita yang sedang marah ini, tidak akan ada akhirnya.
Narendra segera menutup mulutnya dengan rapat, duduk tenang sambil mengemudikan mobil menuju pusat kota. Menghiraukan tatapan tajam dari wanita di sampingnya.
***
Matahari sudah mulai muncul, wanita yang duduk di samping pengemudi sudah tertidur cukup pulas. Walau tadi menolak untuk ikut dengan Narendra, tapi lama kelamaan dia tertidur juga karena masih sangat ngantuk.
Tiba di rumah, Narendra segera membawa Nastya masuk ke dalam tanpa membangunkannya. Ia menidurkan Nastya di kamar milik Hindra, dan segera memberitahu ayahnya bahwa dirinya dan Nastya sudah pulang.
Narendra tahu, saat ini, wanita yang sedang tidur ini marah pada dirinya. Tapi, ia tidak bisa menjelaskan apapun pada Nastya, karena wanita ini pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia katakan. Walau mengatakan "Tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Ralin." Nastya tetap tidak akan percaya.
Pukul sebelas siang, Nastya terbangun karena suara pintu kamar yang terbuka. Hindra masuk dan melihat Nastya masih berbaring di tempat tidur.
"Tadi, kau pulang bersama Narendra?" tanya Hindra sambil berjalan masuk ke dalam kamar dan menghampiri Nastya.
"Hemmh!" Wanita itu mengangguk. Ia mengucek matanya sebentar, lalu bangkit dan duduk di atas tempat tidur.
"Nastya!" Tiba-tiba Hindra mulai serius. Ia duduk di sampingnya, lalu berkata, "Apa kau dan Narendra sebelumnya sudah saling mengenal?"
"Hah?" Nastya terkejut mendengar Hindra bertanya tentang hal itu. "A-aku ... aku ti-tidak mengenal Narendra."
"Mengapa Tu-Tuan bertanya tentang hal itu?" tanya Nastya dengan ragu.
"Aku hanya penasaran saja," jawabnya dengan pelan. "Kalian terlihat sangat akrab. Bahkan, Narendra yang selalu menjaga jarak dengan setiap wanita, tetapi tidak menjaga jarak denganmu. Aku kira kalian sudah saling kenal sebelumnya."
"Oh!" Nastya menunduk, menyibak rambutnya yang berantakan, lalu berkata, "Mungkin ... itu karena kami ibu tiri dan anak tiri, jadi Narendra tidak menjaga jarak denganku."
"Nastya!" lirih Hindra lagi dengan pelan. "Bisakah mulai sekarang kau dan Narendra sedikit menjaga jarak di depan orang lain?" Ia menggenggam kedua tangan Nastya, menatapnya penuh dengan kelembutan.
"Bukan aku tidak suka kalian ibu dan anak saling akrab dan dekat. Aku hanya tidak enak mendengar omongan rekan-rekanku tentang kedekatan kalian berdua," ucap Hindra masih dengan lembut. Berusaha menjaga perasaan Nastya agar tidak tersinggung.
"Kalau di dalam rumah, aku tidak masalah kalian sedekat apapun. Toh kita berdua pun bukan menikah sungguhan. Tapi di depan orang lain, melihat kalian sangat akrab sampai Narendra menggendongmu dan membawamu pergi, itu menimbulkan isu yang tidak enak, baik untukku, untukmu juga untuk Narendra. Kau mengerti, kan, dengan maksudku?" tambah Hindra lagi dengan pelan.
Itu membuat Nastya semakin terkejut.
'Apa tadi ketika kami pergi, ada orang lain yang melihatku dan Narendra?' Jika itu benar, sungguh gawat. Hindra akan menerima cibiran dan anggapan tidak enak dari rekan-rekannya. Nastya tidak ingin itu terjadi.
"Baik!" Nastya menjawab dengan lantang, "Aku berjanji, mulai sekarang, kami tidak akan menunjukkan keakraban kami di depan orang lain."
"Bagus!" jawab Hindra dengan puas. "Ini demi nama baik kita semua. Bukan hanya demi nama baikku saja, tapi juga demi nama baikmu!"
"Ya, aku mengerti." Nastya kembali mengangguk, sangat mengerti dengan permintaan Hindra agar menjauhi Narendra di depan orang lain.
"Baiklah!" Pria itu mulai melepaskan tangan Nastya. Ia bangkit dan berdiri di sampingnya. "Sekarang ... pergilah ke bawah. Pelayanan sudah menyiapkan makanan untukmu. Aku mau mandi dulu, kau makanlah duluan!"
"Baik!" Nastya menyibak selimut, turun dari tempat tidur.