Lucya menyambutnya dengan hangat. Gadis yang cantik, pujinya dalam hati.
"Sudah lama kuliah di sini?"
"Sudah jalan dua semester."
"Kakaknya masih di Surabaya?"
"Masih, Mbak."
"Udah lama juga kami tidak berjumpa."
Tak lama mereka berbasa-basi. Marten bersama gadisnya keluar super market. Sementara Lucya dan Melina melangkah mendekati rak-rak produk barang-barang kebutuhan harian.
"Siapa mereka?" tanya Melina.
"Yang pria itu adik teman aku. Tinggal di Surabaya juga. Katanya kuliah di sini."
"Yang gadis?"
"Pacarnyalah. Masak neneknya." Lucya terkekeh mengibaskan tangan. Melinda pun tertawa.
*
Hanjo menyeruput kopinya. Terasa kelat. Namun mantap. Sesuai dengan kesukaannya. Dibakarnya sebatang rokok. Baginya tidak lengkap sempurna minum kopi tanpa ditemani hisapan rokok. Tetapi saat merokok tak mesti ada kopinya.
Ia janjian dengan Hardiman. Sudah lewat 10 menit dari waktu janjian. Tak masalah bagi Hanjo. Mungkin saja kawannya itu terjebak kemacetan. Sesuatu yang sangat lumrah dan tidak menjadi masalah bagi warga kota metropolitan ini.
Ada kopi dan rokok sudah lebih dari cukup bagi Hanjo untuk tidak peduli dengan keterlambatan Hardiman.
Ketika Hardiman tiba setengah jam kemudian, Hanjo hanya tersenyum miring. Ia menunjuk kursi kosong di depannya.
"Sori. Banyak sori, Bro. Biasa Jakarta. Macet," alasan Hardiman yang merasa tidak enak dengan keterlambatannya.
Hanjo menggelengkan kepalanya. "Biasa itu, Bro. Banyak kerjaan di Batam. Lama juga di sana."
Hardiman menyandarkan punggungnya usai meletakkan cangkir di atas meja. "Biasalah, Bro. Mencari sesuap nasi."
"Bagaimana dengan Batam? Masih ramai?" tanya Hanjo. Sudah setahun lebih ia tidak ke kota yang berada dekat Singapura itu.
"Tidak seperti dulu lagi. Kian sepi. Banyak perusahaan hengkang dari sana."
Hanjo sudah mengetahui informasi itu. "Banyak yang pindah ke Vietnam dan Myanmar. Itu karena pemerintah kita setengah hati menjalan otonomi khusus itu. KEK itu hanya lips service saja."
"Kudengar begitu. Sepertiga dari perusahaan yang ada di Batam sudah hengkang. Banyak pula yang tutup karena kesulitan finansial," tambah Hardiman.
"Agenda Bro di sana berhubungan dengan perusahaan-perusahaan itu juga?"
Hardiman menggeleng. "Ada perusahaan yang memperkarakan Otorita yang sekarang namanya Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam berkaitan dengan kepemilikan lahan," jelasnya.
"Sudah sampai ke pengadilan?"
"Kemarin itu sidang perdananya." Hardiman menyeruput kopinya. "Nelpon aku kemarin itu, ada yang mustahak sepertinya?"
"Tidak urgen betul. Anak-anak Mamoi datang ke kantor. Mereka mau melihat surat wasiat itu."
"O itu. Kukira ada yang penting betul."
Hanjo mendekatkan wajahnya. "Tidak masalah mereka melihat yang ada sama kita duluan? Janji mereka semula melihat yang ada sama notaris mereka."
"Tidak masalah. Itu sudah barang jadi dan berkekuatan hukum. Tidak mungkin diubah lagi," ujar Hardiman meyakinkan kawannya. "Kapan mereka mau datang?"
"Tunggu mereka menghubungi aku saja."
Hardiman, kawan semenjak SMA Hanjo itu tidak hanya punya kantor pengacara. Kantor hukumnya juga menaungi kantor notaris. Surat wasiat Mamoi untuk Hanjo itu ditangani notaris di kantornya.
Hanjo menghembuskan asap rokoknya. "Aku sepertinya akan punya banyak kerjaan. Anak-anak Mamoi mendesak untuk segera melaksanakan semua wasiat Mamanya," tutur Hanjo.
"Bagus itu. Segera selesai masalahnya."
"Akan banyak kerjaan juga."
"Tidak banyak kerja juga. Tinggal melaksanakan apa yang ada dalam surat wasiat itu."
"Itulah masalahnya, Bro. Bagaimana kalau isi wasiat itu pengelolaan perusahaan diserahkan kepada anak-anaknya? Bisa habis aku," keluh Hanjo dengan suara bergetar.
"Bro kan punya surat wasiat juga."
"Tapi aku belum tahu apa isinya. Jangan-jangan sama isinya. Tidak ada untuk aku"
"Belum pasti juga. Sama-sama dilihat sekalian dengan mereka," kata Hardiman pula.
"Bro ini pertanyaan penting. Kalau semisal surat wasiat itu menyebutkan perusahaan harus diserahkan kepada anak-anaknya, ada peluang bagi kita untuk mempertahankannya?"
"Maksudnya?"
"Aku tetap di perusahaan dan menjadi CEO-nya."
Hardiman diam sesaat. Kemudian ia menggelengkan kepala. "Sangat sulit itu, Bro," ujarnya datar.
"Bagaimana caranya aku bisa bertahan?
Hardiman kembali menggeleng. "Tidak bisa kujawab sekarang itu, Bro. Kalau sudah melihat surat wasiatnya baru kita bisa mencari peluangnya. Tapi peluang itu sangat kecil sekali."
Terdengar Hanjo melepaskan nafas panjang. Hardiman pura-pura tidak mendengar. Ia buru-buru berdiri. "Aku ke toilet ntar."
Hanjo membakar rokoknya yang kesekian. Ia melihat asap yang keluar dari mulutnya tidak putih lagi. Sudah berubah agak kecoklatan. Hanjo heran juga. Rokoknya masih yang biasanya. Apa karena produk lama?
Pikirannya tentang asap rokok itu buyar pula ketika didengarnya derit kaki kursi yang dihela Hardiman setelah ia duduk.
"Bro bisa bantu aku kan?" Hanjo memandang mata Hardiman.
"Soal?"
"Melawan anak-anak Mamoi itu," sebut Hanjo dengan suara seperti terjepit.
"Bro ragu soal itu?"
Hanjo menggeleng. Kemudian menatap kedua mata pria Batak berwajah Jawa itu. "Terima kasih, Bro."
Kini, Hardiman yang menghela nafas panjang. Dan Hanjo mendengar dengan jelas helaan itu.
"Kita ikuti saja permainan mereka," ujar pria bertubuh gendut itu kemudian.
Hanjo mengibaskan tangannya. "Bukan diikuti, Bro. Tapi dilawan!" tegasnya.
"Tidak semuanya mesti dilawan. Ada yang mesti diikuti karena tidak mungkin melawannya."
Hanjo memandang Hardiman dengan kening berkerut. Ada yang berbeda dengan sohibnya. Tidak seperti biasanya. "Heh, berubah Bro itu?"
Hardiman tersenyum miring. "Yang bisa dilawan itu adalah yang bengkok. Yang lurus tak mungkin."
"Betul itu. Tapi yang lurus itu bisa dibengkokkan. Setelah bengkok itu baru dilawan," sebut Hanjo mengikuti kata bersayap yang diutarakan Hardiman.
"Membengkokkan yang lurus tidak semudah meluruskan yang bengkok," timpal Hardiman mempertahan argumennya.
Hanjo meluruskan badannya. "Memang tidak mudah berdebat dengan pengacara," akunya.
"Sama halnya tidak mudah berhitung dengan pengusaha."
*
Dua hari kemudian Hanjo menerima telpon dari Lucya. Ia menginformasikan bahwa notarisnya belum kembali ke Jakarta. Dan ia bertanya kemungkinan menjumpai notaris Hanjo. Dan sesuai dengan sarana Hardiman, Hanjo setuju saja mereka datang ke notarisnya.
Karena masih ada kerjaan di kantor, Hanjo janji jumpa di kantor notaris itu saja. Ia menyebutkan alamat kantor notaris itu dengan lengkap.
Sesuai kesepakatan, menjelang siang Hanjo tiba di kantor notaris itu. Sudah ada Lucya di sana. Ia tampak sendirian. Hanjo tidak bertanya tentang Melina. Namun Lucya yang menjelaskan. "Melina tidak bisa ikut. Ia ada urusan bisnis ke Singapura," jelas Lucya.
Tidak masalah bagi Hanjo. Datang atau tidak, toh sama saja. Sudah ada kakaknya juga.
Sebelum masuk ke kantor notaris, Hanjo menghubungi Hardiman.Ia merasa perlu ditemani kawannya itu. Kantornya di gedung ini. Hanya beda lantai dengan kantor notaris.
"Bro aku di bawah. Kita ke notaris itu sekarang. Aku tunggu," ujar Hanjo begitu HP-nya tersambung dengan nomor Hardiman.
Ia mendengarkan. Detik itu juga wajahnya berubah. Tampak kaget. "Jadi Bro tidak ada di Jakarta?" tanyanya dengan suara keras.