Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 14 - Sejujurnya Hanjo Kecewa

Chapter 14 - Sejujurnya Hanjo Kecewa

Hanjo menahan bibir yang akan terbuka. Dengan cepat ditutupnya. Berganti dengan mengeraskan kedua rahangnya. Menegaskan sikapnya. Memantapkan hatinya. Bahwa ia akan melakukan sesuatu.

Sejujurnya Hanjo kecewa. Sangat kecewa dengan surat wasiat Mamoi, istrinya itu. Semula, dalam prediksinya, Mamoi akan memberikan rumah yang lebih besar dan bagus. Tidak mesti rumah yang ditempatinya sekarang. Sebab Mamoi punya banyak rumah mewah. Juga sejumlah apartemen.

Dalam bayangan Hanjo pula, ia akan diberikan sejumlah aset lainnya selain rumah. Tanah, ruko atau benda-benda berharga lainnya. Atau perusahaan. Tidakkah Mamoi mempunyai banyak perusahaan yang bergerak pada beragam usaha?

Tidak masalah baginya hanya dapat rumah kecil dan mobil tua. Tetapi mestinya tidak hanya itu. Ada barang atau surat-surat penting lainnya.

Hanjo kenal dengan rumah di Rawa Bening itu. Beberapa kali ia bersama Mamoi ke rumah itu ketika akan direhab sebelum dikontrakkan. Rumah berukuran 8 x 10 meter. Rumah beton dengan emapat kamar. Tidak bertingkat. Namun halamannnya cukup luas. Banyak bunga dan pohon buah-buahan di bagian depan.

Sementara untuk mobil, tentu dikenal Hanjo betul. Itu mobil pertama miliknya. Bukan milik dia sesungguhnya. Tapi dibelikan Mamoi untuknya. Mobil itu dibeli dua bulan setelah mereka menikah.

Mobil itulah yang selalu dibawanya. Pergi ke kantor. Atau kemana saja. Hanjo akrab betulnya dengan mobil itu.

Hanjo suka dengan mobil itu. Hanya saja, sudah tahun rendah. Mobil lama. Sudah tidak zamannya lagi. Ia saja hampir dua tahun selalu membawa mobil itu.

Baru setelah ia menjadi CEO mobilnya berganti. Karena mobilnya yang pertama dan punya banyak kenangan, Hanjo tidak mau menjualnnya. Mamoi tidak keberatan ketika dipastikannya ia tidak akan menjual mobil tersebut.

Sudah bertahun pula mobil Pajero putih itu terpaku dalam garase. Tidak pernah lagi dibawanya. Hanjo sendiri bahkan sering lupa memanaskan mesin mobil. Meski sudah kalah penampilan, namun dipastikannya kondisi mobil itu masih bisa pakai.

Dalam penilaian Hanjo, untuk seorang CEO mobil itu kurang layak. Di mana pun, seorang CEO adalah potret kekinian. Apa yang dipakai, apa yang dibawa, mestinya makin menguatkan karakter sebagai eksekutif tertinggi dalam perusahaan.

Hanjo tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah menerima dua barang yang diwasiatkan istrinya itu. Tentu ia harus meninggalkan rumah yang ditempati sekarang. Tentu ia harus meninggalkan perusahaan pula.

Bagaimana dengan pekerjaan di perusahaan? Bagaimana dengan jabatannya sebagai CEO?

"Lalu sekarang apa agenda kita lagi Bu Hera?" tanya Lucya.

Pertanyaan Lucya itu membuyarkan isi kepala Hanjo yang mulai berkecamuk. Namun Hanjo tidak ingin kelihatan tidak suka dengan wasiat Mamoi. Ia tidak mau dicap sebagai pria yang sangat berharap banyak dengan warisan yang ditinggalkan sang istri. Dipasangnya kembali wajah yang tenang.

"Untuk hari ini mungkin sudah cukup. Selanjutkan kita lakukan penyerahan barang-barang tersebut kepada Pak Hanjo. Untuk itu kami minta waktu. Perlu menyiapkan administrasi dan keperluan lainnya. Bila prosesnya sudah selesai kami akan hubungi Bapak dan Ibu," tutur Herawati pula.

Lucya mengangguk memberikan persetujuan.

Sementara Hanjo memandang seraya terseyum. "Baik, Bu Herawati. Saya tunggu konfirmasi dari kantor ini kapan penyerahan itu dilaksanakan. Mudah-mudahan bisa secepatnya," sebut Hanjo dengan menaikkan nada ucapan terakhir.

Hanjo dan Lucya kemudian pamit. Lucya berjalan duluan. Hanjo mengikuti di belakang. Diam-diam Hanjo menikmati goyangan indah dua bokong di depannya. Seperti silih berganti menyapanya. Tetapi tidak lama pemandangan itu tertayang.

Mereka sampai di ruang resepsionis. Hanjo menghampiri karyawati yang semula mengantar ke dalam. Ia menyampaikan terima kasih.

Dikejarnya Lucya dengan langkah panjang. "Heh, buku agenda aku ketinggalan. Aku ke dalam lagi," ucapnya seperti memberikan penjelasan pada Lucya.

Wanita bertubuh tinggi padat itu hanya menoleh sekilas. Tidak berkata apa-apa. Ia kembali melanjutkan langkah menuju pintu gedung.

Hanjo tertawa dalam hati. Tentu lebih baik tidak ada tanggapan. Hanjo segera memutar badan. Ia mengurai langkah dengan cepat. Sampai di depan pintu kaca ruangan Bu Herawati, Hanjo mengetuknya dan langsung masuk.

Betul. Hanjo tidak bohong. Buka agenda berwarna biru tua tertinggal. Terlihat buku itu berada di atas meja. "Maaf, Bu. Buku saya ketinggalan," ucapnya.

Bu Hera mengangguk membenarkan ketika dilihatnya memang ada buku itu di meja. "Oh ya. Silahkan, Pak," ulasnya memberi waktu pada Hanjo untuk mengambilnya.

Setelah buku agenda itu berada di tangan, Hanjo bukannya langsung ke luar. Ia malah mendekati meja Herawati. Duduk di kursi di depan wanita itu. "Maaf, Bu. Saya mau bertanya. Ada waktu kan?"

"Soal apa, Pak?" tanya Herawati yang merasa Hanjo pasti sengaja untuk kembali ke ruangannya. Sengaja meninggalkan buku untuk alasan itu kembali.

"Ibu tahu kalau istri saya itu meninggalkan dua surat wasiat. Satu di sini. Dan satunya lagi di kantor notaris lain," terang Hanjo.

Herawati menggeleng. "Tapi hal itu bisa saja. Tidak masalah. Kenapa?"

"Kalau dua surat wasiat saling tidak cocok atau malah bertentangan. Bagaimana? Surat mana yang mesti diikuti?" tanyanya.

"Biasanya tidak akan bertentangan. Sebab, saat membuatkan surat wasiat, yang bersangkutan menuliskannya sendiri. Dengan tulisan tangan. Tentu sudah dipikirkan yang bersangkutan matang-matang sebelum menuliskannya. Sangat tidak mungkin ada paksaan atau ancaman dari pihak lain," sebut Hera.

"Tapi kemungkinan bertentangan selalu ada. Nah kalau itu terjadi, bagaimana?"

"Surat terakhir yang menjadi patokan," kata Hera pula.

"Kalau ada pihak yang tidak setuju dengan surat wasiat itu?"

"Surat wasiat itu secara hukum diakui keberadaannya. Dengan demikian bisa dipermasalahkan secara hukum pula bila ada yang menyetujuinya," sebut Hera seraya menopangkan dagu di ujung kedua telapak tangannya yang mengepal.

Hanjo mau membuka mulut lagi. Mau bertanya. Namun Herawati sudah duluan menghentikannya. "Maaf, Pak Hanjo. Saya mau meeting," ujarnya mengusir Hanjo. "Mungkin bisa dilanjutkan lain waktu."

Tetapi Hanjo tidak merasa diusir. Ia maklum saja. "Terima kasih, Bu. Saya tunggu konfirmasi selanjutnya."

Dalam perjalanan ke kantor, Hanjo menghubungi Hardiman. Ia ingin segera berjumpa sohibnya itu. Ia mau merencanakan sesuatu. Tidak mungkin diam saja menerima apa adanya.

"Bro, aku sudah selesai jumpa notaris itu," teriaknya setelah HP mereka tersambung.

Hanjo terdiam. Mendengarkan perkataan Hardiman.

"Dikau tahu tidak? Aku hanya diberikan rumah kecil dan mobil tua. Sangat jauh sekali dari prediksi aku. Kita harus lakukan sesuatu. Aku tidak bisa menerima kalau hanya itu saja," ujar Hanjo.

Ia kembali terdiam mendengarkan.

"Kita harus bicarakan. Harus siapkan segera bagaimana caranya. Kapan dikau pulang?"

Hanjo menutup HP dengan hembusan nafas kuat.

"Jadi, Bapak hanya mendapatkan warisan rumah dan mobil saja?" tanya Karim yang dari awal mendengarkan saja.

Hanjo mengangguk tanpa semangat.

"Wah, tidak bisa itu. Bapak itu suami Ibu Moina yang sah. Harusnya warisan untuk Bapak tidak hanya itu," kata sopir Hanjo itu.

Hanjo menoleh. "Aku pun berpikir begitu. Kau saja sudah merasa warisan itu tidak sesuai. Aku tentu lebih dari itu. Kalau aku menolak warisan itu, bagaimana menurut kau?

"Setuju, Pak. Mesti bapak tolak. Harus lebih dari itu yang Bapak dapatkan," ujar Karim mengompori.