Ruangan lobi bandara yang luas memanjang tampak ramai. Berbaur antara penumpang yang akan berangkat dengan para pengantarnya. Juga berkumpul para penjemput dengan penumpang yang baru tiba.
Seorang wanita muda yang sampai di ruangan berdinding kaca menghentikan langkah. Ia mengedarkan pandangan. Ke kiri dan ke kanan. Tidak kelihatan orang yang dicarinya. Tidak tampak juga orang yang mengenalinya. Tak ada orang yang melambaikan tangan padanya.
Wanita muda dengan tubuh proporsional itu membuka kacamata. Diedarkannya kembali pandangan berkeliling. Masih belum kelihatan orang yang dicarinya.
Usai membuang keluhan dengan hembusan nafas, HP-nya berdering. Melina, wanita muda itu, tersenyum kesal begitu melihat nama yang tertera di layar HP. Orang yang dari tadi dicari-carinya ternyata masih ada di HP. Belum sampai di bandara.
Tanpa bertanya, ia sudah tahu akan yang akan terdengar di speaker HP. "Ya, kenapa?" tanyanya.
Ia mendengarkan beberapa detik, lalu kemudian berkata, "Ya, aku tunggu," ujarnya sambil mencari tempat duduk.
Tidak saja lobi yang ramai, tempat duduk di situ pun tidak ada yang lowong.
Berisi semua. Mencari-cari dengan mata yang kembali tertutup kacamata hitam, Melina mengarahkan langkahnya ke salah satu kopi corner bermerek internasional. Dalam perhitunganya, orang yang ditunggu itu paling cepat setengah jam lagi baru nyampai.
Tidak hanya white coffee, ia pun pesan sandwich.Terbang 1,5 jam lebih dengan hanya disuguhi secangkir teh dan sepotong roti, Melina seperti mendengar perutnya bernyanyi. Keroncongan.
Tak heran, saat beberapa menit kemudian pesanannya sampai, ia tampak segera menundukkan kepala. Meneguk minuman hangat itu beberapa kali tegukan. Lalu segera berlanjut dengan menyantap potongan roti berisikan daging, sayuran, keju, berbagai bumbu dan saus.
Usai menghabiskan makanan khas Benua Eropa itu, orang yang ditunggu Melina belum sampai juga. Lobi bandara sudah berangsur sepi. Mungkin sudah berlalu jam sibuknya.
Melina melirik pegelangan tangan. Pukul 10.35 WIB. Pantesan kelaparan, bathinnya.
Melina menjangkau HP dan menghubungi seseorang. Namun tidak tersambung. HP yang dihubunginya belum aktif. Tidak mungkin masih tidur. Tapi kenapa HP-nya belum aktif? Dihubunginya lagi, tetap dengan jawaban belum aktif.
Tak dihitungnya berapa lama ia menyentuh dan menggeser layar android guna membunuh waktu, melihat informasi bisnis, gosip dan berita politik ketika kemudian diketahui ada seseorang yang mendekat dari arah samping.
"Aduh, maaf, lama menunggu.Terhambat antrean panjang karena pekerjaan jembatan layang," ujar seorang pria yang berada di sebelah kiri.
Melina menanggapi dengan tolehan kepala seraya menarik bibir. Ia percaya saja dengan alasan itu. Meski ia tahu kemacetan seringkali menjadi kambing hitam.
Pria 25 tahun berpostur tegap itu menyandarkan pantat di ujung kursi tinggi. "Mau aku antar ke mana?" tanyanya.
"Mau jumpa seseorang di Senen," sebut Melinda.
Pria itu menekuk kepala, mengangguk takzim. "Siap, Nyonya."
"Huss! Nyonya..." Melina mendelik tajam. Randi, pria bertopi pet itu, cengengesan. Ia suka melihat Melina cemberut yang kian cantik.
Ransi mengiringi Melina ke kawasan parkiran. Dibukannya pintu mobil.
Randi adalah teman akrab Melinda saat SMA. Teman benaran. Bukan teman mesra. Sampai sekarang masih akrab. Melina seringkali menghubunginya bila ia ke Jakarta.
Tidak jelas kerja Randi apa sekarang. Setahunya Randi kuliah di Teknik Sipil. Tapi ia selalu bersedia setiap kali dimintai tolong oleh Melina untuk menjemputnya di bandara.
Semasa SMA, Randi tergolong siswa yang bandel. Seringkali berurusan dengan guru BP. Membuat keributan, bermasalah dengan guru atau karena rajin terlambat sampai di sekolah. Namun ia sangat baik dengan anak-anak cewek.Termasuk pada Melina.
"Bagaimana bisnisnya di Batam? Lancar kan?" tanya Randi setelah mereka berada di mobil.
Melina menoleh sekilas. "Ya, begitulah. Kamu?"
"Ya, beginilah."
"Beginilah, bagiamana?" Melina menahan senyum.
"Ya, begini. Siap sedia mengantar kamu. Ke mana saja," kilah Randi.
"Maksud aku, kerjaan kamu?"
"Inilah kerjaan aku."
Melina melepaskan tawanya yang tertahan. "Selain ini?"
Randi menggeleng. Namun Melina tidak percaya dengan gelengan kepala itu.
Meski tidak masuk kategori mewah, mobil yang dipakai Rendi bukan pula kelas city car. Penampilannya juga mentereng dengan jeans dan kemeja lengan panjang bermerek. Melina tidak percaya Randi tidak punya pekerjaan.
Tiba-tiba saja muncul dalam kepalanya sebuah ide. "Kalau aku kasih kerjaan. Mau?"
Randi menoleh cepat. "Sangat mau. Kerjaan apa?"
"Memantau."
"Memantau? Kerja apaan?"
"Memantau seseorang. Mencari tahu apa aktifitasnya. Apa kegiatannya," jelas Melina pula.
"Wah, kerjaan oke itu." Randi tertawa senang.
Melina makin mantap dengan idenya. Segera tergambar dalam kepalanya apa yang dilakukan dan apa yang akan didapatkan bila semuanya berjalan dengan baik.
"Memantau siapa?" tanya Randi melihat Melina masih diam.
"Seseorang."
"Siapa?" tanya Randi lagi. "Pejabat? Pengusaha? Atau siapa?" desaknya yang makin tertarik dengan pekerjaan yang ditawarkan.
"Ntar kukasih tahu," ujar Melina.
"Kasih tahu sekarang kenapa?" Randi mulai penasaran. "Tak ada juga yang dengar."
"Belum saatnya." Melina sengaja menahan. Memperpanjang rasa penasaran Randi.
Randi menoleh seraya menelan desakan keingintahuannya. "Oke," ujar menahan diri.
Mobil mereka sampai di Pasar Senen. "Ke mana kita?" tanya Randi menjelang sampai di perempatan.
Melina menyebutkan kawasan ruko bertingkat empat. Randi kenal tempat itu. Ia berbelok ke kiri. Tidak sampai setengah kilometer, mereka sampai. Randi meneruskan mobil di tempat parkir begitu Melina menunjuk nama perusahaan yang akan didatanginya.
"Aku tunggu di sini ya," kata Randi yang tahu diri tidak mesti ikut menemani.
Melina tersenyum singkat. Ia menyisir rambut dan merapikan dandanan.
Randi ikut turun mobil. Ia tidak tahan berada dalam mobil yang berhenti namun mesin dan AC masih menyala.
Ia mengacungkan jempol saat Melina pamitan. Dipandanginya saja lenggok gadis itu berjalan hingga menghilang dibalik pintu kaca berwarna putih berkabut.
Randi tidak tahu Melina mau jumpa siapa. Juga tidak tahu untuk urusan apa. Yang dia tahu teman SMA-nya itu punya banyak bisnis di Batam dan Singapura.
Randi menunggu di samping pos satpam. Ditawarinya dua petugas itu sebelum membakar rokok dan duduk pada bangku kayu.
Tidak habis dua batang rokok, terlihat lagi olehnya Melina keluar dari pintu kaca. Dinikmatinya lagi lenggok pinggul Melina yang tidak jauh berbeda dengan jalan peragawati di atas catwalk.
Dimatikannya rokok dan melambai pada petugas, Randi bergegas menuju mobil. Melina sampai duluan. Begitu Randi tiba, Melinda sudah berada di sisi pintu mobil.
Randi menahan senyum. Tidak mungkin lagi ia membukakan pintu mobil dengan tangan untuk Melina. Dipencetnya saja remote.
"Cepat selesai urusan?" tanya Randi setelah Melina memasang seatbelt.
"Tidak perlu berlama-lama."
"Jumpa rekan bisnis?" Randi seakan tidak bisa menahan tanya
Melina menggelengkan kepala. "Hanya memperbanyak mata dan telinga."
Randi melirik cepat. "Memperbanyak mata dan telinga," ulangnya heran dengan perkataan Melina.
Randi tampak bengong mendengarkan perkataan bersayap itu. Diliriknya lagi Melina. Minta penjelasan apa maksud ucapan tersebut.
Namun Melina seperti tidak paham. Ia malah mengeluarkan HP dari tas.