Melina memencet layar HP untuk kemudian mendekatkan android tipis itu ke telinganya. Ia berbicara dengan seseorang. Tidak jelas ia ngomong dengan siapa dan apa yang dibicarakan. Sebab yang terdengar hanya kata-kata: "Ya", "Oke", "Bukan", "Baik" itu saja.
Randi pun tidak terlalu peduli. Ia memusatkan perhatian pada mobilnya. Keluar dari kawasan parkir, lalulintas yang padat kembali menghadang. Mobil dan sepeda motor seakan berebutan mendapatkan jalan.
Randi sudah terbiasa dengan jalan yang ramai dan sumpek jalan Jakarta. Ketika ia mulai pandai membawa mobil, jalan-jalan di kota metropolitan ini sudah sesak oleh kendaraan dan orang. Macet bukan lagi masalah baginya. Sebab sudah terbiasa dan akrab.
Melina selesai dengan pembicaraan di HP-nya. Diliriknya Randi sekilas setelah menyimpan kembali HP ke dalam tas.
"Tadi itu tanya soal apa?" tanya Melina.
Semula Randi menduga Melina tidak ingat lagi soal pertanyaannya. Dan ia pun sudah lupa dengan rasa penasarannya. "Soal memperbanyak mata dan telinga," sebutnya menjelaskan kembali.
Melina tertawa tipis. "Dalam dunia sekarang ini kita tidak bisa hanya mengandalkan dua mata dan dua telinga saja," ujarnya.
Randi menoleh sekilas. Ia menunggu lanjutan perkataan wanita yang duduk di sebelah kirinya. Randi paham itu adalah kalimat pembuka yang mesti ada keterangan lanjutannya.
Tetapi Melina malah diam saja. Ia memandang ke arah jalan. Seakan tidak perlu melanjutkan ucapannya itu.
"Maksudnya?" tanya Randi kemudian setelah tidak ada tanda-tanda Melina akan buka suara.
"Ya begitu. Harus bisa mengetahui dan mendengar banyak hal. Makanya harus menyiapkan banyak mata dan telinga, Akan ketinggalan perkembangan informasi bila tidak memperluas pandangan serta mempertajam pendengaran" tambah Melina bak seorang dosen tengah memberi materi kuliah pada mahasiswa. Masih dengan kalimat yang susah dimaknai.
"Makin susah aku menangkap arahnya," aku Randi jujur.
Melinda seakan tidak peduli. "Apalagi dalam situasi sekarang dimana informasi dan perkembangan di update per detik. Terlebih lagi untuk memantau atau mengetahui sesuatu," sebutnya.
"Untuk seseorang yang akan dipantau itu?" potong Randi seakan mulai membaca arah pembicaraan Melina.
Melina membenarkan dengan anggukkan.
Ketertarikan Randi kembali muncul. Segera didesakan Melina. "Siapa orangnya?"
"Hanjo namanya," jelas Melina
"Hanjo. Hanjo," Randi mengulang-ulang nama itu.
"Ya."
"Hanjo. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu," ujar Randi seraya berupaya mengingat-ingat.
Namun tidak terbayang di kepalanya siapa orang bernama Hanjo itu. "Bukan kawan SMA kita dulu kan?"
Melina menggeleng.
"Bukan anak-anak gank yang kamu ikuti?"
Melina kembali menggeleng.
"Siapa dia?" tanya Randi.
"Seorang pria dewasa. Berwajah ganteng," sebut Melina seraya melirik Randi sekilas. "Lebih selevel kegantengan dia dibanding kamu."
Randi tertawa. "Aku kira kamu tidak mengakuinya."
"Mengakui apa?" lirik Melina heran.
"Kegantengan aku."
Melina merasa terbelit oleh perkataannya sendiri. Seperti koboi yang salah melempar tali laso yang kemudian malah membelit dirinya. Segera dibantahnya. "Mana ada pengakuan. Aku bilang dia selevel di atas kamu."
"Level apa?"
"Aku bilang tadi apa?" tanya Melina.
"Kegantengan."
"Ops. Salah omong aku itu. Maksud aku kejelekan. Kejelekkan dia lebih selevel di atas kamu," ucap Melina cepat menyampaikan ralat.
Randi tertawa lagi. "Kenapa mesti malu mengakui kenyataan."
"Kenyataan?"
"Ya, kenyataan bahkan kamu barusan mengakui kegantengan aku. Meski katanya di bawah level Hanjo. Begitu kan?" tutur Randi dengan tetap memandang ke depan. Ia tidak mau mengetahui adakah perubahan yang terjadi di wajah gadis itu.
"Mungkin begitu."
"Terima kasih. Kemungkinan biasanya mendekati kenyataan," ucap Randi yang tiba-tiba mendapatkan kata-kata bermakna mengimbangi perkataan Melina.
Randi melirik ke kiri dengan senyuman. Melina malah melirik pula ke kiri. Melarikan wajah ke sisi kaca mobil.
Randi menahan diri. "Selain ganteng. Bagaimana lagi dia?" tanyanya melanjutkan penyelidikan.
"Pebisnis sukses."
"Trus.."
"Dia CEO."
"Kaya dan tajir tentunya?" tebak Randi pula.
"Iya."
Randi mengerem mobil. Bukan terkejut dengan tebakannya. Di depan ada traffic light. Mobil mesti berhenti menunggu lampu hijau menyala.
"Jadi aku disuruh memantau seorang pria ganteng, tajir, seorang CEO, yang menjadi incaran kamu?" tanya Randi seakan mulai paham dengan maksud Melia yang sesungguhnya. Melina tengah menyelidiki orang yang tengah mendekati dirinya.
Melina tersentak. Dipandanginya Randi dengan mata membulat. "Kenapa kamu berpikiran begitu?" terdengar suaranya dengan nada kaget.
Randi tidak langsung menjawab. Ia sibuk dengan kemudi mobil. Setelah mobil melaju dengan lancar, ia pun berkata: "Tentu dengan mudah bisa disimpulkan. Terlebih antusiasnya kamu berbicara mengenai dia. Pasti dia orang penting bagi kamu," tebak Randi lagi.
"Kesimpulan yang keliru!" tandas Melina cepat.
Randi menoleh sesaat. "Keliru?"
"Keliru! Dan sangat keliru. Salah besar!" tegas Melina lagi.
Mendengarkan nada bicaranya itu, Randi tahu Melina terkejut dan marah. Namun ia tidak segera percaya. "Kesimpulan mana yang salah?"
"Semuanya!"
"Soal kaya, tajir dan ganteng itu?" tanya Randi berlagak tidak mengerti.
"Soal incaran itu. Salah besar!" tegas Melina lagi.
Dengan sudut mata, Randi melihat rona kejengkelan di wajah Melina. Ia tidak ingin membuat masalah. Melihat sikap dengan ketegasan nada suara Melina, Randi yakin ia tidak main-main.
"Oke. Sori. Sori kalau kesimpulan aku salah,"
Melina tidak menanggapi. Ia diam saja.
"Aku minta maaf ya," ulas Randi lagi. "Lalu bagaimana yang sebenarnya?"
Melina menggeleng berulang. "Udah! Udah! Aku tidak mau ngomong soal itu!" tegasnya.
Melina menggeleng mengibaskan wajah Hanjo yang tiba-tiba seperti mengelayut di depan matanya. Entah kenapa. Ia seakan melihat Hanjo tersenyum. Tersenyum kepadanya. Pria itu memperlihatkan sebentuk senyum kemenangan.
Melina memejamkan mata. Berusaha menutupi bayangan di depan matanya. Tetapi tidak lenyap juga. Ditutupinya mata dengan kedua telapak tangan.
Melihat Melina berubah begitu, Randi merasa bersalah. Sangkaannya, Melina tidak suka atau marah dengan ucapannya.
"Maaf ya. Itu hanya main-mian," ucap Randi seraya menyentuh bahu Melina.
Melina tidak menanggapi. Namun ia menurunkan tangan dari wajahnya. Ia tidak bersuara. Diam mematung. Randi tidak mengusik. Dia juga diam.
"Kita cari kopi dulu ya," ujar Randi seperempat jam kemudian mendapat ide guna memecah suasana suram yang melingkupi mereka.
Dan Randi segera menepikan mobil ketika dilihatnya persetujuan dari Melina meski belum dilihatnya cafe atau restoran di sisi kiri jalan. Randi menjalankan mobil dengan pelan.
"Tuh di sana," tunjuk Melina pada deretan ruko yang ada restorannya.
Turun dari mobil, Randi segera mengajak Melina ke salah satu restoran. Tidak begitu jelek. Mereka duduk di meja pinggir dekat dinding kaca. Randi sesungguhnya hanya untuk mencairkan suasana saja.
"Mau kopi atau juice?" tanyanya.
"White coffee."
Usai mencicipi kop hitam klasik yang dipesannya, Randi seperti melihat dunia makin terang. Dan Melina di depannya bahkan tampak bertambah cantik. Gadis itu sangat menikmati white coffee-nya.
Tidak cukup satu cangkir bagi mereka. Ketika Randi memberi kode pada pelayan agar menambah secangkir lagi, Melina buka suara. "Aku nambah juga," ujarnya.
"Setelah ini ke mana?" tanya Randi.