Chereads / CEO Termiskin di Dunia / Chapter 10 - Melina Mulai Memainkan Aksinya

Chapter 10 - Melina Mulai Memainkan Aksinya

Melina dan Lucya saling lirik. Melina kembali memberi isyarat pada Lucya untuk berbicara. Kakaknya itu lebih tenang dan tidak emosian. Beda dengan dirinya yang mudah dan cepat sekali tersulut kemarahan.

"Ya semula begitu rencananya. Tapi notaris kami sekarang lagi tugas di Medan. Menjelang dia pulang bagaimana kalau dilihat dulu wasiat lain yang ada sama notaris Anda. Begitu maksudnya. Bagaimana?" sebut Lucya.

Melina mendukung alibi yang disampaikan kakaknya dengan anggukan. Ia berharap pria yang duduk sudut meja sebelah kanan itu percaya dengan yang diutarakan Lucya meski ia tahu itu hanyalah bualan kakaknya saja.

"Sepertinya akan lama dia di Medan," ulas Lucya menambah keyakinan pada Hanjo agar mau mengikuti keinginannya.

Hanjo bukannya tidak percaya dengan alasan yang disampaikan Lucya. Namun ia juga menyimpan kecurigaan ada maksud lain yang dituju kedua anak Mamoi itu. Makanya ia bertahan dengan komitmen awal saja. "Ya, kita tunggu saja sampai notaris itu pulang dari Medan," ujarnya tanpa beban.

"Bisa saja. Tapi tentu akan lama. Anda tentu juga ingin semua ini selesai secepatnya," sebut Lucya seraya memancing keinginan Hanjo.

"Tentu. Seperti kalian juga," ujar Hanjo.

"Itu makanya apa yang bisa diselesaikan dikerjakan terlebih dahulu," kata Melina pula. "Jumpa terlebih dahulu dengan notaris Anda."

"Lebih cepat tentu lebih baik," tambah Lucya menguatkan.

Hanjo mengangguk. Sepertinya ia percaya dengan omongan kedua wanita itu. Lucya dan Melina saling melirik. Keduanya sama-sama menyimpan senyum.

Hanjo meraih HP. Ia menghubungi seseorang. "Hallo, Bro. Di mana posisi? Bisa kita jumpa siang ni?"

Hanjo diam mendengarkan suara di HP-nya. Lucya dan Melina saling memasang telinga meski mata mereka tidak mengarah pada Hanjo.

"Aduh. Di Batam ya. Kapan baliknya?"

Hanjo mendengarkan lagi. "Oke, oke," ujarnya kemudian seraya menutup pembicaraan.

"Di luar kota pula dia," jelas Hanjo memandang Lucya dan Melina bergantian.

"Kapan baliknya?"

"Belum pasti pula. Ada agenda mereka di sana."

"Aduh. Siapa notarisnya?" tanya Lucya.

"Hardiman." Ops. Hanjo segera menutup mulut. Tersadar ia kelepasan bicara. Tetapi segera disambungnya, "Hardimanto. Ya, Hardimanto Sudibyo namanya," ujar Hanjo membelokkan penjelasannya.

Melina mencatat nama itu. Tidak hanya di kepala. Tapi juga di HP-nya. Hardiman dan Hardimanto Sudibyo. Dia tengah di Batam sekarang, ulangnya dalam hati. Di kepala Melina segera tersusun sebuah rencana.

"Oke kalau begitu. Sekarang kita sama-sama menunggu karena kedua orang yang diperlukan itu berada di luar kota. Bagaimana kalau kita sepakati saja siapa yang kembali duluan itu yang kita jumpai?" kata Lucya menyampaikan pikirannya.

"Oke." Hanjo setuju.

Selesai pertemuan siang itu. Hanjo menawari kedua wanita itu makan siang. Namun Melina menolak. Sakit matanya lama-lama memandang pria itu.

Namun kemudian ia mendekati Hanjo dengan senyuman. Ia duluan menyorongkan tangannya. Menyalami Hanjo. "Kita saling memberi kabar ya," ujarnya yang dianggukkan Hanjo.

Lucya heran melihat perubahan adiknya. Kenapa ia berubah menjadi baik dengan Hanjo? Suatu perubahan yang sangat mengejutkan. Apa yang terjadi?

"Pasti punya sebuah rencana. Habis jumpa si Blekok itu senyum-senyuma terus. Tidak biasanya baik-baik sama dia," tebak Lucya ketika mereka duduk di sebuah restoran untuk makan siang. Lucya paham sekali dengan adiknya itu. Ia pasti sudah merencanakan sesuatu.

"Wuih, kakak tahu saja." Melina tertawa membenarkan tebakan Lucya. Kakaknya itu tahu kelemahannya. "Aku merencanakan sesuatu. Mudah-mudahan hasilnya positif."

Kemudian Melina menghubungi seseorang dengan HP-nya. "Beng, kamu cari tahu Hardiman atau Hardimanto Sudibyo, seorang pengacara Jakarta yang sekarang tengah berada di Batam. Cari di Kejaksaan, Pengadilan atau BPN. Pasti berada di sana dia," perintah wanita 25 tahun dengan penampilan jauh lebih muda itu.

"Segera kasih tahu segera hasilnya," tambah wanita itu sebelum mematikan HP.

Melina menaikkan kepala memandang kakaknya dengan mata cerah. "Tahu kan apa rencana aku? Oke kan?"

Lucya tersenyum menjawab dengan acungan jempol. Diakuinya kalau soal lobi-melobi, memanfaat koneksi, merangkul atau mematikan lawan, adiknya itu memang jempol. Lucya mengaku tidak bisa mengimbanginya.

Beberapa saat berikutnya, keduanya sibuk menyantap menu makan siang. Mungkin karena menu yang serasi dengan selera atau perut yang keroncongan, keduanya makan dengan lahap. Kata-kata mereka seperti ikut tertelan. Tidak ada yang bersuara.

Saat menikmati salad buah, HP Melina berdering lagi. Ia menyentuh layar HP dengan senyum tersungging begitu membaca nama yang tampil. "Ya, Beng," sambutnya dengan suara cerah.

Tak jelas apa pembicaraan mereka. Melina hanya hanya berkata "Ya", "Oke", "Tidak", "Cari tahu semua", "Penting sekali". Itu saja berulang-ulang.

Begitu selesai, Lucya tidak perlu bertanya apa pembicaraan adiknya itu. Ia hanya mengangkat dagu sedikit, lalu meluncur penjelasan lengkap dari Melina:

"Dapat sama Kobeng. Hardiman Pulungan namanya. Bukan Hardimanto Sudibyo. Dia pengacara yang tengah menangani kasus gugatan tanah terhadap Otorita Batam dari seorang pengusaha. Sekarang tengah sidang di Pengadilan Negeri Batam."

"Lalu?"

"Aku kenal dengan pengusaha yang ditangani Hardiman itu. Kita harus dapatkan informasi mengenai surat wasiat itu dari dia. Juga soal sepak terjang si Blekok itu. Kita harus rangkul Hardiman itu. Bagaimana pun caranya."

"Kamu yakin bisa dapat?" tanya Lucya.

Melina yakin sekali dengan rencananya akan memberikan hasil yang memuaskan. "Sangat yakin!" tegasnya.

HP Melina kembali berdering. "Ya, Beng," sapanya.

Ia kemudian diam mendengarkan.

"Bukan. Bukan. Bermain cantik saja. Service mereka. Besok aku balik ke Batam," tutur Melina. Ia kemudian menutup pembicaraan.

Lucya bertanya dengan gerakan kepalanya.

"Sudah dapat lengkap sama Kobeng. Semuanya. Aku suruh Kobeng untuk menservice Hardiman bersama dua orang asistennya. Kita bermain cantik saja. Tidak perlu dengan kekerasan."

"Sepertinya Hardiman itu kawan dekatnya."

"Tidak perlu khawatir. Hepeng do mangatur nagara on, begitu kata orang Batak. Kita harus bisa merangkulnya. Tentu dengan ini," ujar Melina seraya menggosokan jempol dan telunjuknya. Ia optimis sekali dengan aksinya akan memberikan hasil yang memuaskan.

"Harus hati-hati juga. Si Blekok itu mafia," ujar Lucya mengingatkan adiknya.

Melina setuju hal ini. "Siap, kak," ujarnya.

Mereka keluar restoran lalu berjalan ke salah satu super market. Banyak keperluan harian yang mesti mereka beli.

Begitu masuk dan melewati meja pintu kaca, Lucya disapa seorang anak muda. "Mbak Lucya kan?" tanya pria muda berambut gondrong itu. Ia mengandeng seorang gadis cantik bertubuh mungil.

Lucya terdiam. Langkahnya terhenti. Ia merasa sudah mengenal wajah pria itu. Namun lupa namanya. Dicobanya mengingat-ingat. Siapa ya?

"Aku Marten, Mbak. Adiknya Yunisa," tambah pria itu.

Lucya memukul dahinya. "Aduh, iya. Marten. Kapan dari Surabaya?"

"Aku kuliah di sini, Mbak."

"O pantesan tidak pernah jumpa lagi. Makanya lupa." Lucya tersenyum pada wanita muda di samping Marten. "Pacarnya ya?" tanyanya.

Marten dan wanita muda berambut sebahu itu tertawa. "Kenalkan Mbak, aku Sonia," ucap gadis berwajah manis itu mengulurkan tangan.